Mohon tunggu...
Fahmi Ramadan
Fahmi Ramadan Mohon Tunggu... Petani - Petani (Penyangga Tatanan Negara Indonesia)

Hobi membuat hobi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Antara Bit dan Bom: Cyber Diplomacy dalam Menjaga Stabilitas Keamanan di Tengah Pusaran Krisis Nuklir Semenanjung Korea

15 September 2024   19:34 Diperbarui: 15 September 2024   19:45 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : diolah oleh Penulis)

Pendahuluan

Terdapat sebuah pribahasa latin yang berbunyi “Si vis pacem, para bellum”, yang artinya jika kau mendamkan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang. Pribahasa itulah kira-kira yang mengambarkan situasi saat ini, dimana negara-negara berkompetisi membuat senjata nuklir dengan dalih perdamaian. Salah satu yang menjadi konsen dunia saat ini adalah kontestasi nuklir di semenanjung korea. Semenanjung Korea telah lama menjadi salah satu wilayah paling dinamis dalam politik global. Konflik yang berkepanjangan antara Korea Selatan dan Korea Utara, serta keterlibatan aktor besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang, menjadikan kawasan ini pusat perhatian strategis dunia. Di tengah ketegangan geopolitik yang berlanjut, ancaman nuklir dari Korea Utara semakin memperkeruh situasi. Pengembangan program senjata nuklir oleh Korea Utara bukan hanya menimbulkan ancaman langsung bagi stabilitas regional, tetapi juga memiliki potensi menciptakan dilema global yang lebih luas.

Di tengah pusaran ketegangan militer dan ancaman nuklir yang terus membayangi, sebuah domain baru telah muncul yakni cyber diplomacy. Cyber Diplomacy, yang dulunya dianggap sebagai alat pendukung, kini menjadi alat utama dalam pertarungan memperebutkan pengaruh dan keamanan regional. Dalam "perang bit dan bom" ini, setiap kata yang diketik, setiap kode yang dijalankan, memiliki potensi untuk memicu konflik berskala besar atau membuka jalan menuju perdamaian.

Dalam beberapa dekade terakhir, serangan siber menjadi alat yang efektif untuk mengganggu infrastruktur kritis, mencuri data intelijen, dan merusak stabilitas politik negara-negara. Di Semenanjung Korea, ancaman ini semakin relevan karena berbagai insiden serangan siber yang melibatkan Korea Utara. Misalnya, serangan terkenal terhadap Sony Pictures pada 2014, yang diyakini dilakukan oleh aktor siber dari Korea Utara, menunjukkan betapa kompleks dan berbahayanya ancaman ini bagi keamanan nasional negara-negara di sekitar Semenanjung Korea.

Dalam menghadapi ancaman ganda ini nuklir dan siber, strategi diplomasi konvensional menjadi semakin tidak memadai. Oleh karena itu, munculnya cyber diplomacy sebagai salah satu instrumen diplomatik modern memberikan peluang baru dalam mengatasi eskalasi konflik. Cyber diplomacy memungkinkan negara-negara untuk mengatasi konflik yang berkaitan dengan keamanan siber dan nuklir melalui dialog diplomatik yang lebih terarah, dengan memanfaatkan teknologi sebagai alat komunikasi dan negosiasi. Melalui pendekatan ini, negara-negara dapat bekerja sama untuk mengurangi ketegangan, membangun kepercayaan, serta memperkuat keamanan nasional di tengah tantangan global yang semakin kompleks.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana cyber diplomacy dapat berperan dalam menjaga stabilitas keamanan di Semenanjung Korea di tengah ancaman siber terhadap senjata nuklir. Melalui kajian ini, akan dieksplorasi bagaimana teknologi dapat digunakan sebagai alat diplomasi inovatif untuk mengurangi eskalasi konflik dan memperkuat keamanan nasional di kawasan yang sarat dengan ketidakpastian.

Eskalasi Konflik di Semenajung Korea

Ancaman nuklir dari Korea Utara telah menjadi bayang-bayang kelam di semenanjung Korea dan kawasan Asia Timur selama beberapa dekade. Program nuklir Korea Utara memiliki pangkal sejarah yang panjang, dimulai sejak tahun 1952 dengan pendirian Institut Riset Atom di bawah pemerintahan DPRK (Democratic People's Republic of Korea). Menariknya, fondasi teknologi yang mendukung program ini telah mulai terbentuk selama masa penjajahan Jepang di Korea, khususnya di dekat kota Heungnam (sekarang Hamhung), di mana uranium ditambang serta diproses. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Korea Utara berhasil mewarisi sumber daya dan pengetahuan teknis yang didapat dari proyek Jepang tersebut. 

Program nuklir Pyongyang yang terus berkembang, ditandai dengan serangkaian uji coba senjata nuklir dan rudal balistik, beberapa di antaranya memiliki jangkauan yang dapat mencapai AS. Sejak tahun 2022 Korea Utara terus mengembangkan rudal jelajah yang diluncurkan dari kapal, sementara Amerika telah berulang kali unjuk kekuatan termasuk latihan militer menggunakan pesawat berkemampuan nuklir dan kunjungan kapal selam bersenjata nuklir ke Korea Selatan. 

ICAN (International Campaign to Abolish Nuclear Weapon) melaporkan bahwa Amerika Serikat dan Korea Selatan sepakat untuk memperkuat kerja sama dalam perencanaan penggunaan senjata nuklir, setelah Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, sebelumnya memberikan isyarat bahwa Seoul mungkin akan mempertimbangkan pengembangan senjata nuklir sendiri. Dalam pengumuman kesepakatan tersebut, Presiden AS Joe Biden memperingatkan bahwa jika Korea Utara menggunakan senjata nuklir, maka rezimnya akan berakhir. Selain itu, pada tahun 2023 terdapat sebuah latihan militer gabungan terbesar antara AS dan Korea Selatan, melibatkan pesawat berkemampuan nuklir, di tengah retorika nuklir yang semakin memanas dari Pyongyang. Korea Utara berulang kali menuduh Washington dan Seoul mendorong kawasan tersebut ke ambang perang nuklir. Selain meluncurkan lebih dari 40 uji coba rudal pada tahun sebelumnya, Korea Utara juga mengesahkan undang-undang baru pada 2022 yang menetapkan status senjata nuklirnya sebagai "irreversible" atau tidak dapat diubah, menolak segala negosiasi terkait denuklirisasi, dan yang paling mengkhawatirkan, memungkinkan penggunaan senjata nuklir sebagai tindakan pencegahan.

Selain ancaman dan implikasi nuklir yang telah dijabarkan diatas, domain keamanan siber menjadi faktor kritis dalam menjaga stabilitas. Sistem komando dan kontrol nuklir sangat bergantung pada jaringan komputer yang apabila diserang atau diretas, dapat memicu konsekuensi bencana. Ingatlah Stuxnet?, salah satu kejadian keamanan siber yang menyerang reaktor nuklir Iran dan aktornya tak lain dilakukan oleh Amerika-Israel. Seperti virus yang menginfeksi sel hidup, Stuxnet menyebar melalui jaringan komputer reaktor nuklir Iran (dalam bahasa teknis disebut SCADA: Supervisory Control and Data Acquisition System), secara perlahan melumpuhkan objek vital dan mengganggu operasi fasilitas, sehingga menghambat program nuklir negara tersebut. Oleh karena itu perlu kita ketahui bersama bahwa serangan siber dapat menargetkan infrastruktur penting yang mengendalikan senjata nuklir, memanipulasi informasi, atau bahkan mengambil alih kendali sistem, sehingga meningkatkan risiko eskalasi yang tidak disengaja. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, ancaman siber terhadap sistem nuklir menjadi salah satu ancaman paling serius yang harus dihadapi oleh negara-negara di kawasan Semenanjung Korea dan dunia internasional.

Diantara Bit dan Bom: Ancaman Siber terhadap Senjata Nuklir

Setiap kalimat yang diketikan dan kode yang dijalankan akan menghasilkan dua implikasi nyata, yakni anugrah atau wabah.  Perang nuklir dan perang siber, meski berbeda dalam cara pelaksanaannya, sama-sama menghadirkan ancaman eksistensial. Jika perang nuklir memicu kehancuran fisik yang masif, perang siber dapat melumpuhkan sistem vital negara, termasuk sistem pengendalian senjata nuklir, dengan potensi memicu konflik berskala lebih besar.

Gambar 1. Siklus hidup senjata (Sumber: Cyber warfare: Issues and challenges)
Gambar 1. Siklus hidup senjata (Sumber: Cyber warfare: Issues and challenges)

Gambar 1 di atas membandingkan siklus hidup senjata kinetik (seperti rudal) dengan senjata siber (seperti Stuxnet). Senjata kinetik memiliki siklus yang lebih sederhana dan dapat diprediksi, mulai dari pengembangan, produksi, penggunaan, hingga pembuangan. Sebaliknya, senjata siber memiliki siklus yang dinamis dan terus berkembang. Setelah sebuah serangan siber terjadi, target umumnya akan meningkatkan sistem keamanannya, memaksa para penyerang untuk terus mengembangkan teknik dan alat baru. Hal ini menciptakan semacam perlombaan senjata di dunia maya, di mana pertahanan dan serangan terus berevolusi. Dengan demikian, kompleksitas dan dinamika yang melekat pada senjata siber membuat tantangan dalam mengamankan sistem digital menjadi jauh lebih besar dibandingkan dengan mengamankan aset fisik.

Dalam sejarahnya beberapa serangan siber yang pernah terjadi dan menjadi atensi global karena menargetkan infrastruktur kritis di semenanjung korea. Pertama adalah “Ten Days of Rain” pada tahun 2011. Serangan pertama menargetkan Kantor Presiden Korea Selatan, Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen Nasional, dan beberapa lembaga keuangan utama Korea Selatan. Para penyerang menginjeksikan malware ke dalam dua situs web. Salah satu serangan terbesar terjadi pada NongHyup Bank, di mana Korea Utara diduga menargetkan sistem keuangan untuk mencuri dana dan menciptakan ketidakstabilan. Kedua, serangan terhadap Sony Pictures pada 2014. Serangan ini memiliki dampak signifikan pada hubungan di kawasan tersebut. Serangan ini terjadi setelah Sony memproduksi film The Interview, yang menggambarkan rencana pembunuhan terhadap pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Peretas yang diduga berasal dari Korea Utara membobol sistem Sony, mencuri data perusahaan, dan merilis email serta dokumen sensitif. Serangan ini menunjukkan kemampuan Korea Utara dalam melancarkan serangan siber terhadap target internasional. Ketiga, adalah serangan Dark Seoul. Pada tahun 2013, serangkaian serangan siber besar yang dikenal sebagai "Dark Seoul" menyerang infrastruktur Korea Selatan, termasuk bank, stasiun televisi, dan situs web pemerintah. Serangan ini melumpuhkan lebih dari 32.000 komputer dan mengakibatkan gangguan layanan perbankan dan penyiaran selama beberapa hari.

Dari perbandingan siklus hidup senjata kinetik dan beberapa contoh kasus serangan siber, kita dapat menyimpulkan bahwa senjata siber menghadirkan ancaman yang jauh lebih kompleks dan dinamis terhadap keamanan global, termasuk terhadap sistem senjata strategis seperti nuklir. Sementara senjata konvensional memiliki siklus hidup yang lebih linier dan mudah diprediksi, senjata siber terus berevolusi seiring dengan perkembangan teknologi. Hal ini menjadikan sistem kontrol dan keamanan senjata nuklir, yang semakin bergantung pada teknologi digital, rentan terhadap serangan siber. Potensi disabilitas atau manipulasi sistem kontrol nuklir akibat serangan siber dapat memicu eskalasi konflik yang tidak diinginkan dan mengancam stabilitas internasional. Intinya, perlombaan senjata siber tidak hanya berdampak pada sektor sipil, tetapi juga pada keamanan militer dan strategis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya global yang lebih besar untuk mengembangkan pertahanan siber yang kuat dan mengatur penggunaan teknologi yang berpotensi merusak.

Cyber Diplomacy sebagai Solusi Inovatif

Dalam sebuah penelitian, diplomasi siber diartikan sebagai upaya global untuk menciptakan tatanan dunia maya yang damai dan saling percaya. Diplomasi siber ini muncul sebagai respons terhadap semakin pentingnya ruang siber dalam kehidupan kita, dan bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan nasional suatu negara dengan kepentingan bersama seluruh dunia di ranah digital. Dengan kata lain, diplomasi siber ini ingin menerapkan prinsip-prinsip diplomasi tradisional, seperti perdamaian dan kerja sama, dalam konteks interaksi manusia di dunia maya.

Sebelum membahas lebih jauh terkait dengan diplomasi siber, kita bahas terlebih dahulu beberapa kebuntuan denuklirisasi di semenanjung korea.

Tabel 1. Denuklirisasi menurut Korea Utara

(Diolah oleh Penulis)
(Diolah oleh Penulis)

Tabel 1 menjelaskan pandangan Korea Utara tentang denuklirisasi yang mengharuskan Amerika Serikat untuk membuka senjata nuklirnya di Korea Selatan kepada publik, menghentikan segala bentuk intimidasi nuklir, dan menarik pasukan AS yang memiliki hak untuk menggunakan senjata nuklir di wilayah tersebut. Sebagai tanggapan, DPRK menyatakan akan mengambil langkah-langkah sesuai dengan tindakan AS dan meyakini hal tersebut dapat menjadi terobosan penting dalam mewujudkan denuklirisasi di Semenanjung Korea.

Tabel 2. Denuklirisasi bersyarat, timbal balik, dan bertahap

(Diolah oleh Penulis)
(Diolah oleh Penulis)

Tabel 2 menggambarkan pendekatan denuklirisasi bertahap dan timbal balik antara DPRK dan Amerika Serikat, di mana Korea Utara bersedia menghentikan produksi senjata nuklir serta menutup fasilitas nuklir, sementara AS diharapkan memberikan pelonggaran sanksi secara bertahap dan menyatakan niat untuk mengakhiri Perang Korea. Tindakan ini didesain untuk menciptakan proses denuklirisasi yang seimbang, dengan setiap langkah dari DPRK direspons dengan tindakan serupa dari AS untuk membangun kepercayaan dan mencapai perdamaian permanen.

Dari kedua tabel tersebut, terlihat bahwa proses denuklirisasi di Semenanjung Korea menghadapi tantangan yang kompleks dan memerlukan pendekatan yang sangat terukur dan timbal balik. DPRK menuntut langkah-langkah signifikan dari Amerika Serikat, termasuk keterbukaan tentang senjata nuklir di Korea Selatan dan jaminan untuk tidak menggunakan nuklir terhadap Korea Utara, serta penarikan pasukan AS. Di sisi lain, Amerika Serikat menginginkan komitmen yang jelas dari DPRK terkait penghentian produksi senjata nuklir dan penutupan fasilitas uji coba nuklir, diikuti dengan pelonggaran sanksi secara bertahap. Namun, diplomasi konvensional selama ini telah menemui kebuntuan, mengindikasikan perlunya pendekatan lain yang lebih inovatif. Salah satu alternatifnya adalah diplomasi siber, yang memungkinkan penggunaan teknologi digital untuk membangun kepercayaan, memperkuat komunikasi antarnegara, dan menciptakan ruang dialog yang lebih efektif dalam menyelesaikan konflik. Akhirnya, denuklirisasi ini tidak hanya melibatkan langkah-langkah teknis dan militer, tetapi juga menuntut kepercayaan dan diplomasi yang lebih kreatif antara kedua belah pihak, dengan penekanan pada tindakan bertahap dan kesepakatan yang saling menguntungkan.

Gambar 2. Dimensi Diplomasi Siber
Gambar 2. Dimensi Diplomasi Siber

Gambar 2 di atas menampilkan dimensi-dimensi dalam diplomasi siber, yang menggambarkan berbagai pendekatan dan strategi dalam menerapkan diplomasi di era digital dan konflik siber. Dalam konteks ini, diplomasi siber bertujuan untuk menjembatani perbedaan antarnegara dan aktor-aktor internasional dengan memanfaatkan kekuatan teknologi dan diplomasi tradisional.

Dari sepuluh dimensi Diplomasi Siber diatas, beberapa strategi yang bisa dilakukan dalam memecah riak ketegangan ancaman nuklir di semenanjung korea adalah sebagai berikut:

1. Strategi Pemanfaatan ISAC (Information Sharing and Analysis Center)

ISAC, sebagai pusat berbagi informasi dan analisis dengan menggabungkan dua dimensi yakni pengumpulan informasi dan fasilitas pengamatan. Strategi ini memiliki peran krusial dalam meningkatkan keamanan siber dan mengurangi risiko konflik. Dalam konteks Semenanjung Korea, ISAC dapat dimanfaatkan untuk beberapa strategi berikut:

  • Pembentukan ISAC Regional: Membentuk ISAC regional yang melibatkan negara-negara di kawasan Asia Timur, termasuk Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara ASEAN. Hal ini memungkinkan berbagi informasi intelijen siber secara lebih cepat dan efektif, meningkatkan kesadaran akan ancaman siber yang terkait dengan program nuklir Korea Utara, serta membangun kepercayaan di antara negara-negara anggota.
  • Peningkatan Kapasitas Analisis: Meningkatkan kemampuan ISAC dalam menganalisis data yang terkait dengan aktivitas siber. Memungkinkan deteksi dini terhadap aktivitas siber yang mencurigakan, seperti peretasan infrastruktur kritis atau penyebaran malware.
  • Diplomasi Siber Preventif: Mencegah terjadinya serangan siber yang dapat memicu eskalasi konflik. Dengan berbagi informasi tentang ancaman siber, ISAC dapat membantu negara-negara anggota untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang diperlukan.

2. Diplomasi Publik Digital

Strategi ini adalah menggabungkan dimensi Hubungan antar Negara dengan Diplomasi Publik. Tujuannya adalah mengubah persepsi publik di Korea Utara dan internasional mengenai bahaya senjata nuklir. Diplomasi publik digital dapat diimplementasikan dalam beberapa strategi:

  • Kampanye Media Sosial: Meluncurkan kampanye media sosial yang kreatif dan menarik untuk menjangkau generasi muda di Korea Utara dan internasional.
  • Influencer: Memanfaatkan influencer media sosial yang populer untuk menyebarkan pesan perdamaian dan non-proliferasi.
  • Konten Digital: Mengembangkan konten digital yang informatif dan menghibur, seperti video animasi, infografis, dan game, untuk menjelaskan dampak negatif senjata nuklir.

3. Diplomasi Siber Track-Two

Diplomasi Siber Track-Two menggabungkan dua dimensi diplomasi siber, yakni Diplomasi Negara dan Kekuatan Lunak. Tujuannya adalah Memfasilitasi dialog antara para ahli dan pembuat kebijakan dari kedua Korea secara tidak resmi, dengan fokus pada isu denuklirisasi dan keamanan siber. Beberapa implementasi strategi yang bisa diterapkan adalah sebagai berikut:

  • Membangun Platform dialog: Untuk memfasilitasi dialog dalam diplomasi siber track-two, dapat dilakukan melalui platform online yang aman dan terenkripsi untuk diskusi yang fleksibel dan efisien. Selain itu, pertemuan tatap muka di lokasi netral seperti negara ketiga atau zona demiliterisasi juga dapat menjadi opsi yang efektif untuk membangun hubungan personal dan memperkuat kepercayaan.
  • Mekanisme Trust-Building: Untuk memastikan keberhasilan diplomasi siber track-two, perlu adanya protokol komunikasi yang jelas untuk menghindari miskomunikasi. Kerahasiaan informasi yang dibagikan juga sangat penting untuk membangun kepercayaan di antara para pihak yang terlibat. Selain itu, platform dialog harus bersifat netral dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik pihak manapun, sehingga semua peserta merasa aman dan bebas untuk bertukar pikiran.
  • Membangun Jaringan Personal: Salah satu kunci keberhasilan diplomasi siber track-two adalah pembentukan hubungan pribadi yang kuat antar para peserta. Hubungan interpersonal yang baik dapat menjadi fondasi bagi terciptanya kepercayaan dan membuka ruang untuk dialog yang lebih mendalam. Dengan memanfaatkan soft power yang melekat dalam hubungan pribadi, para peserta dapat membangun ikatan emosional yang melampaui perbedaan ideologi dan kepentingan nasional. Hubungan pribadi ini tidak hanya memperkaya dinamika diskusi, tetapi juga membuka peluang untuk kolaborasi yang lebih luas di masa depan.

Penutup

Diplomasi siber, dengan segala potensinya, tidak dapat dianggap sebagai solusi tunggal untuk mengakhiri secara instan ancaman nuklir di Semenanjung Korea. Masalah nuklir ini merupakan persoalan kompleks yang melibatkan berbagai faktor politik, ekonomi, dan keamanan. Namun, diplomasi siber dapat menjadi alat yang efektif untuk memecah riak-riak ketegangan yang ada. Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, diplomasi siber dapat membuka saluran komunikasi baru, meningkatkan transparansi, dan membangun kepercayaan antara para pihak yang bertikai. Meskipun demikian, keberhasilan diplomasi siber sangat bergantung pada komitmen politik dari semua pihak yang terlibat, serta dukungan dari komunitas internasional.

Sebagai negara dengan prinsip non-blok, Indonesia memiliki posisi yang strategis untuk berperan sebagai mediator dalam upaya perdamaian di Semenanjung Korea. Dengan memanfaatkan keahlian di bidang diplomasi dan pengalaman dalam membangun konsensus, Indonesia dapat menjadi aktor kunci dalam mendorong dialog dan kerjasama di bidang siber. BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), sebagai lembaga siber nasional, memiliki peran krusial dalam membangun strategi-strategi kolaboratif dengan memanfaatkan pendekatan teknologi. Melalui kerjasama dengan negara-negara mitra, BSSN dapat berkontribusi dalam pengembangan infrastruktur siber yang aman dan terpercaya, serta berbagi informasi intelijen untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik. Dengan demikian, diplomasi siber yang didukung oleh komitmen politik yang kuat dan peran aktif dari negara-negara seperti Indonesia, serta dukungan teknis dari lembaga seperti BSSN, dapat menjadi salah satu pilar penting dalam upaya mewujudkan perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun