Daerah Jabung merupakan salah satu dari kecamatan di Kabupaten malang. Daerah itu merupakan salah satu dari 33 kecamatan yang ada di kabupaten Malang. Â Daerah tersebut memiliki luas 135,89 km (4,56% luas Kabupaten Malang). Ketinggian di Kecamatan Jabung 450 -- 700 mdpl.
Hampir setengah dari wilayah Jabung merupakan hutan milik Perhutani. Oleh karena itu, banyak wisata alami yang dapat dinikmati di wilayah kecamatan Jabung. Salah satunya adalah Coban Jahe yang terletak di Desa Pandansari Lor, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Â
Coban Jahe berjarak sekitar 23 km dari Kota Malang ke arah tenggara  atau sekitar 1 jam perjalanan.  Sekitar 50 meter sebelum  pintu masuk menuju lokasi Coban Jahe, terdapat Taman Makam Pahlawan (TMP) Kali Jahe.Â
Tempat ini didirikan sebagai makam sekaligus monumen untuk memperingati pahlawan yang gugur pada masa revolusi. Nama coban Jahe itu sendiri tidak berasal dari tanaman herbal jahe, melainkan berasal dari kata pejahe yang dalam bahasa Jawa berarti meninggalnya. Nama itu diberikan oleh penduduk setempat yang menjadi saksi gugurnya para pejuan dalam pertempuran di sekitar wilayah coban itu.
Coban Jahe menjadi saksi bagaimana para perjuang mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Di kawasan hutan yang dinamakan Kalijahe inilah pejuang gerilyawan berusaha menghadapi serangan dari Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia. Dimana saat itu dari sekitar 150-an pasukan yang disebut Kompi Gagak Lodra dibawah pimpinan Kapten Sabar Sutopo.Â
Kompi Gagak Lodra yang dipimpin Sabar Sutopo berperan penting sebagai pembuka jalan untuk pasukan lain yang melakoni Wingate Action. Di dalam buku Perjuangan Total Brigade IV, disebutkan bahwa Kompi Gagal Lodra memiliki misi khusus dalam membuka jalan untuk aksi wingate atau hijrah dari daerah yang diduduki penjajah Belanda ke daerah Republik Indonesia yang dilakukan Batalyon Samsul Islam dan Batalyon Abdul Syarif.Â
Kedua batalyon tersebut akan bergerilya di daerah Pasuruan dan Probolinggo, yang letaknya di sebelah timur Malang. Namun, misi Kompi Gagal Lodra ini menjadi tantangan tersendiri karena hampir bersamaan dengan Agresi Militer II yang dilakukan Belanda pada 19 Desember 1948. Pada saat itu, seksi-seksi yang mengadakan pertahanan sepanjang Wajak-Bululawang diserang secara besar-besaran oleh Belanda.Â
Di saat yang bersamaan, Komando kompi dan pasukan cadangan yang berada di Garotan telah bersiap-siap untuk gerilya. Para pasukan ini harus mencapai mencapai sasaran dalam waktu singkat dan cepat dengan menduduki daerah dekat perbatasan (status quo) sebelum pasukan Belanda dapat melakukan konsolidasi.Â
Kompi Gagak Lodra termasuk dalam komando ini. Â Kompi Gagak Lodra segera bergerak untuk bergerilya ke jurusan Desa Bambang, Kecamatan Wajak, pada 20 Desember 1948.Â
Mereka melanjutkan perjalanan ke Desa Garotan setelah menugaskan Seksi Soeseno untuk bertahan di Wajak utara untuk menghadang dan menghambat musuh yang mungkin bergerak ke selatan memasuki daerah Garotan dan sekitarnya. Setelah menuntaskan misi penghambatan, Seksi Soetomo harus segera kembali ke induk pasukan di Bambang.Â
Menurut penuturan dari Sunari HS, salah satu anggota pasukan Kompi Gagak Lodra yang selamat dari pertempuran Kalijahe, perjalanan mereka bergerilya mulai tanggal 19 Desember 1948 dan mulai melakukan penyerangan ke selatan pada pukul 05.00 WIB. Kemudian terjadi pertempuran di daerah Wajak dan Turen dengan menjaga sepanjang garis pertahanan untuk menghambat gerakan pasukan Belanda.Â
Tujuannya untuk memberikan waktu bagi pasukan lain di garis belakang memindahkan amunisi dan perbekalan untuk dibawa masuk ke daerah gerilya dan hutan-hutan.Â
Setelah tujuan tersebut dicapai, pasukan Seksi Soeseno mendatangi induk pasukan Kompi pada siang harinya dan melaporkan bahwa pasukan Belanda mulai masuk ke wilayah RI. Pasukan kompi kemudian meninggalkan Wajak karena dinilai sulit dipertahankan dan bergegas menuju dan masuk ke daerah perbatasan garis status quo di hutan Wonosari dengan cara membuka jalan dari Garotan menuju Bambang terlebih dahulu.
Setelah sampai di hutan Wonosari, pasukan Kompi berkumpul di Jajang dan hendak membuka jalan ke Pasuruan dan Probolinggo. Sebagai langkah awal, seluruh kekuatan pasukan menuju ke Desa Pandansari, Kecamatan Jabung. Pada sekitar pukul 07.00 WIB di tanggal yang sama, pasukan kawal depan, yaitu Seksi Sarim bertemu dengan pasukan patroli Belanda yang diperkirakan berkekuatan dua regu yang datang dari pos Poncokusumo. Kontak senjata terjadi dengan sengit dan diakhiri dengan kemenangan Seksi Sarim.Â
Setelah pertempuran di Pandansari, pasukan Kompi Gagal Lodra membuka jalan dengan bergerak menuju Gubugklakah dan tiba saat malam hari. Di desa tersebut, mereka mendapatkan informasi bahwa Belanda telah mendirikan pos pengawasan di Dukuh Tosari. Kompi ini kemudian menyerang pos tersebut pada keesokan harinya dan berhasi merampas sepucuk pistol dan beberapa pucuk senapan.Â
Tndakan tersebut dibalas Belanda dalam serangan balasan terhadap pasukan Kompi Gagak Lodra pada 22 Desember 1948, sekitar pukul 05.00 WIB dengan mengarahkan kekuatan sekitar dua kompi bersenjata lengkap, dibantu pesawat udara dan mobil lapis baja. Dalam pertempuran itu, banyak anggota pasukan Kompi Sabar Sutopo gugur dan luka berat, serta kehilangan senapan mesin 7.7 mm.
Setelah kekalahan dalam pertempuran itu, pasukan diperintahkan bergerak ke timur menuju Jabung. Namun, dalam perjalanan ke Pasuruan terhalang oleh pertahanan yang kuat dari belanda. Pasukan memutuskan untuk kembali dan sampai di Kalijahe yang masuk daerah Tumpang pada masa itu.Â
Mereka berencana akan mengadakan konsolidasi dan memasuki Kota Malang. Selama 2 hari pertempuran, perut dari pasukan dalam keadaan kosong.Â
Oleh sebab itu, Pasukan diperintahkan mencari makanan di sekitar desa terdekat. Pada pukul 12.00, berturut-turut pasukan masuk ke hutan Kalijahe dengan berjalan kaki di sepanjang lembah-lembah agar terlindung dari intaian pesawat udara.Â
Ternyata pasukan Belanda telah menduduki buki-bukit yang berada di atas lembah. Pertempuran akhirnya terjadi antara kedua pasukan. Pertempuran tersebut berlangsung secara sengit namun berat sebelah karena perbedaan posisi. Hal ini diperparah dengan cuaca hujan lebat dan kabut selama pertempuran berlangsung tidak menguntungkan Pasukan Gagak Lodra.Â
Pasukan Belanda dengan leluasa menembaki pasukan Kompi Sabar Sutopo yang berjalan di lembah dengan senapan otomatis dan granat sementara pasukan Kompi Gagak Lodra kesulitan melihat posisi pasukan Belanda. Banyak pasukan indonesia yang gugur dan luka-luka dalam pertempuran ini.
Sebagian pasukan berhasil meloloskan diri melalui sungai menuju perkampungan penduduk dengan kekuatan yang tersisa sekitar 75-100 orang. Sebagian ditugaskan ke Probolinggo dan sebagian lagi ke detasemen Pasuruan.Â
Prajurit Kompi Gagak Lodra yang gugur kemudian dimakamkan oleh penduduk Penduduk di lereng-lereng gunung di Kalijahe. Sementara, yang terluka sebagian dirawat penduduk dan sebagian lagi ada yang ditawan Belanda. Prajurit yang masih hidup dan luka ringan saling mencari teman-temannya agar berkumpul kembali.
Meskipun kalah dan banyak anggotanya yang gugur dalam Pertempuran Kalijahe, Kompi Gagak Lodra ternyata berhasil melaksanakan misi yang diberikan yakni untuk memandu Wingate Action ke arah timur. Karena pasukan Belanda terfokus pada pertempuran tersebut, sehingga pasukan Batalyon Abdul Syarif dan pasukan Batalyon Samsul Islam dari Jajang berhasil melewati Tosari dan berhasil menuju ke Probolinggo dan Pasuruan tanpa hambatan.Â
Pasukan yang tersisa dari pertempuran besar itu berkumpul kembali di Garotan. Seusai melakukan konsolidasi secara terus-menerus selama tiga bulan, ditambah dengan kedatangan pasukan Letnan Soemodiharjo yang terkenal sebagai pasukan penangkis serangan udara, Kompi Sabar Sutopo kembali bangkit dengan jumlah pasukan yang lebih banyak dan juga lebih banyak senjata .Â
Dengan kekuatan itu, Kompi Gagak Lodra mampu mempertahankan daerah Garotan dan sekitarnya. Bahkan, mereka juga terlibat dalam serangan ke pos-pos Belanda di Wajak, Codo, dan Turen.Â
Pasukan Belanda beberapa kali sempat mencoba menyusup ke daerah basis gerilya, tetapi berhasil digagalkan. Keberhasilan itu berkat adanya kerjasama yang baik antara tentara dan rakyat, sehingga pergerakan Belanda selalu diawasi dan dilaporkan ke markas gerilya.
Untuk mengenang pertempuran Kalijahe, maka dibangun Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalijahe sebagai tempat peristirahatan terakhir pejuang yang gugur. Terdapat monumen di dalam Taman Makam yang bertuliskan nama prajurit yang gugur selama pertempuran utu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H