Alur seperti inilah yang terjadi dimasyarakat pada akhirnya, dimana hal tersebut mengkonstruksi pemikiran masyarakat, dimana masyarkat ini ingin serba instant atau segala sesuatunya ingin siap dan cepat tersaji dan jarang yang mau berproses karena apa yang dilihatnya dimedia-media terjadi seperti itu yang mereka anggap adalah kenyataan (realita).
Akhirnya orang-orang yang berada didunia hyper realita ini menjadi tidak mandiri dan ingin segalanya siap dan cepat tersaji (instant), ini karena media yang dalam hal ini digital memiliki pengaruh yang amat sangat dalam bagi orang-orang ini dan hal ini memunculkan pola budaya imitasi atau meniru, meniru apa yang mereka lihat dimedia yang sebenarnya hanya sebuah alur settingan saja.
Orang-orang yang sudah terlalu dalam masuk kedunia hyper realita kebanyakan menjadikan influencer sebagai pedoman hidupnya yang akhirnya sebagian influencer ini memanfaatkan orang-orang didunia hyper realita sebagai mesin penghasil uang yang instant bagi mereka. Maka dari itu, brand-brand lebih memilih influencer sebagai perantara mereka menganalkan produk atau jasanya.
Kelihatannya memang seperti simbiosis mutualisme, namun tidak sadari oleh orang-orang ini, secara didunia yang sebenarnya (realita) hajat hidup mereka sudah diatur sehingga apapun yang mereka lakukan sampai apapun yang ingin mereka makan, semua tergantung dari referal influencernya atau tergantung pada apa saja yang mereka lihat dimedia.
Ironi namun fakta memang, akhirnya orang-orang ini kurang memiliki kemandirian hidup mereka, mereka tidak mau berproses dan akhirnya jatuh kedalam pola hidup yang konsumtif ketimbang menjadi produktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H