Mohon tunggu...
Fahmi Nouval Dzulfikri
Fahmi Nouval Dzulfikri Mohon Tunggu... Musisi - Musisi

Seorang penikmat dan pencipta musik yang memiliki ketertarikan dibidang kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangkrutnya Realitas di Dunia Hyper Realitas

28 September 2023   12:32 Diperbarui: 1 Oktober 2023   11:11 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: fahmi nouval

Suatu hari gue memenuhi undangan kumpul bersama dengan teman-teman semaasa sekolah yang dimana rata-rata dari teman-teman gue ini sudah menjalani kehidupan berumah tangga. Singkatnya, kita semua ketemu disebuah cafe dibilangan kota Jakarta dan mulailah kita saling menumpahkan kerinduan karena sudah puluhan taun kami tidak bertemu dan jarang juga melakukan kontak.

Kita saling mengenang masa-masa sekolah, dimana ada masanya kita nakal, ada masanya kita menjadi siswa yang baik dan tak lupa juga, kita mengenang akan sosok guru-guru yang baik dan yang killer-nya. Diantara cerita romantisme itu, seorang teman melemparkan keresahannya tentang anaknya yang lebih menghabiskan waktu dengan HPnya ketimbang dengan temannya.

Hal tersebut di-amini  sama temen gue yang lainnya karena keresahannya hampir sama. Kita yang ada dicafe tersebut mulai membandingkan kehidupan ketika kita bersekolah dengan anak-anak sekarang yang bersekolah, dimana ketika kita sekolah dahulu untuk mencari hiburan bahkan mencari pengetahuan pun pastinya harus keluar dari rumah.

Hal ini sangat kontras sekali perbedaannya dengan anak-anak dizaman sekarang, yang mana kalo kita lihat disekita komplek rumah saja, jarang sekali bahkan tidak ada riuh tawa dari anak-anak kecil yang sedang bermain dan sekalinya mereka bermain, ya bukan main kejar-kejaran atau main bola dengan gawang dari sandal lagi, tetapi lebih memilih bermain gadget saja ditempat yang tersedia hotspot gratis.

Ini pun tak berbeda jauh dengan orang dewasa yang sering kita jumpai, bahkan yang kita lihat dicafe ini, jarang sekali riuh dari setiap sudut meja yang berdiskusi mengenai hal-hal yang receh sampai hal-hal yang substansial. Apakah mereka lelah karena bekerja seharian ? gue rasa nggak sih. Karena bagi gue dengan berdiskusi hal receh, itu bisa menaikan mood dan mengusri lelahnya bekerja seharian. Lalu, kenapa orang-orang begitu larut di dunia digital ?.

Ini karena, dunia digital menyediakan hal-hal yang tidak disediakan didunia nyata, dalam dunia digital orang-orang ini bisa memilih mana yang mereka sukai dan mana yang mereka tidak suka, yang akhirnya tanpa disadari algoritma dunia digital sudah mengikat serotonin mereka, membuat mereka merasa kalo dunia digital adalah dunia mereka, padahal semua itu hanya fana semata.

Dunia hyper realitas adalah realitas yang bersifat artifisial atau superfisial, hal ini tercipta melalui bantuan teknologi simulasi dan rekayasa citra yang mana hal tersebut telah mengambil alih dunia realita. Inilah akibat dari kemajuan teknologi informasi, yang mana sistem kompterisasi bisa menciptakan dan merekayasa dunia artifisial, menjadi dunia yang seolah-olah dunia nyata (relaita).

Hyper realitas atau ketidakmampuan seseorang untuk membedakan kenyataan dan khayalan (fantasi), ini merupakan istilah yang dibuat oleh Jean Baudrillard yang merupakan salah satu dari tiga tatanan simulakra yang mana dalam tatanan ini menandakan dimana kode, model  dan tanda merupakan bentuk pengaturan tatana sosial yang diatur simulasi.

Dengan kata lain, orang-orang yang telah kecanduan dunia digital sudah hidup didunia yang terbalik, menganggap dunia yang layak dan benar adalah dunia fana sedangkan yang tidak layak adalah dunia realita begitupun sebaliknya, mengapa demikian ?, karena dunia hyper realita ini dapat dikatan kabur karena yang fana bercampur dan tumpang tindih dengan yang realita.

Sebagai contoh, jika melihat sebuah acara reality show dimana drama yang tersaji didalamnya merupakan alur yang diciptakan oleh rumah produksi. Hal ini tidak beda jauh dengan dunia hyper reality yang mana sudah tidak ada lagi realita dalam alur dramanya, namun hyper realita yang mengambil alih alur drama nya, yang dampaknya masyarakat menjadi percaya bahwa drama yang tersaji adalah realita sebenarnya.

Alur seperti inilah yang terjadi dimasyarakat pada akhirnya, dimana hal tersebut mengkonstruksi pemikiran masyarakat, dimana masyarkat ini ingin serba instant atau segala sesuatunya ingin siap dan cepat tersaji dan jarang yang mau berproses karena apa yang dilihatnya dimedia-media terjadi seperti itu yang mereka anggap adalah kenyataan (realita).

Akhirnya orang-orang yang berada didunia hyper realita ini menjadi tidak mandiri dan ingin segalanya siap dan cepat tersaji (instant), ini karena media yang dalam hal ini digital memiliki pengaruh yang amat sangat dalam bagi orang-orang ini dan hal ini memunculkan pola budaya imitasi atau meniru, meniru apa yang mereka lihat dimedia yang sebenarnya hanya sebuah alur settingan saja.

Orang-orang yang sudah terlalu dalam masuk kedunia hyper realita kebanyakan menjadikan influencer sebagai pedoman hidupnya yang akhirnya sebagian influencer ini memanfaatkan orang-orang didunia hyper realita sebagai mesin penghasil uang yang instant bagi mereka. Maka dari itu, brand-brand lebih memilih influencer sebagai perantara mereka menganalkan produk atau jasanya.

Kelihatannya memang seperti simbiosis mutualisme, namun tidak sadari oleh orang-orang ini, secara didunia yang sebenarnya (realita) hajat hidup mereka sudah diatur sehingga apapun yang mereka lakukan sampai apapun yang ingin mereka makan, semua tergantung dari referal influencernya atau tergantung pada apa saja yang mereka lihat dimedia.

Ironi namun fakta memang, akhirnya orang-orang ini kurang memiliki kemandirian hidup mereka, mereka tidak mau berproses dan akhirnya jatuh kedalam pola hidup yang konsumtif ketimbang menjadi produktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun