Tiap bangsa besar dan maju di seluruh dunia melalui proses pematangan dengan berbagai dinamikanya. Amerika serikat  meraih kemerdekaannya di kongres kontinental ke-dua 4 Juli 1776 justru setelah keluar dari konflik kolonialisme Prancis dan Inggris.Â
Amerika kemudian bertansformasi dan menemukan momentum serta basis ideologi negaranya pada perang dunia ke-dua sehingga mereka menjadi mapan dan berpengaruh seperti hari ini.
Maka, tiap negara maju membutuhkan persiapan, konflik menuju persatuan dan momentum untuk take off! Bagaimana dengan Indonesia?
Beberapa hari belakangan media menampilkan fenomena aksi "saling lapor" antar sesama anak bangsa, dari seluruh aksi tersebut ada satu laporan yang menarik perhatian karena isunya kian bias dan kian liar di media sosial dan seakan membentuk dua kutub pancasila pada satu kutub dan Islam di kutub lainnya, bagaimana kita harus bersikap?
Adalah Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, seorang ulama yang pernah di dapuk menjadi ketua MUI pernah memberikan nasihat tentang pancasila dalam Khutbah Idul Fitri 1 syawal 1387 H bertepatan dengan 1 Januari 1968 Â di Istana negara.
Buya Hamka memberikan pandangannya:
Buya mengomentari sila Ketuhanan Maha Esa. Menurut Buya Hamka esensi dari sila pertama adalah Tauhid, Laa ilaa ha illallah. Ketuhanan yang Maha Esa adalah Tauhid. Sila inilah yang menjadi sumber empat sila lainnya.
Indonesia adalah negeri berketuhanan maka tidak ada tempat bagi mereka yang berupaya menjadikan negeri ini negeri sekuler yang jauh dari nilai-nilai keagamaan.
Manusia Indonesia diharapkan dengan semangat keagamaan yang dianutnya menghargai  sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.
Nilai-nilai ketuhanan yang dianut oleh bangsa Indonesia akan turut pula menstimulus munculnya rasa kebangsaan.
Rasa kebangsaan itu adalah rasa mencintai tanah air (hubbul wathon) sebagaimana dicontohkan oleh para pejuang bangsa sejak zaman dahulu.