Mohon tunggu...
Fahmi Kompas
Fahmi Kompas Mohon Tunggu... Staff Gudang di ITC Mangga Dua, Penulis Lepas, Bisnis Online -

Menyukai Selera Humor, Penggemar Photoshop, Funny Experiences, Suka dinasehatin dan paling senang mendengar ucapan motivasi yang menginspirasi :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Skenario Tak Terbatas

10 Februari 2016   08:45 Diperbarui: 10 Februari 2016   09:22 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum kembali membahas artikel ini, izinkan Saya untuk memberitahu semua bahwa artikel kali ini hasil diskusi dari beberapa bulan yang lalu dan masih terpatri dalam otak Saya. Seorang sahabat bernama Arman, teman berambut kribo ini bisa dibilang “Si Pembuat Perbedaan”. Julukan yang berasal dari komunitas pena yang diikutinya yang selalu menuliskan gagasan demi suatu hal yang diyakininya sebuah kebenaran telak. 

Hal pertama yang Saya ajukan dalam obrolan di beranda rumahnya adalah:

“Siapakah Novelis paling jenius di dunia?” waktu itu kami sedang mencoba berpendapat tentang Novelis mana yang mampu mengeksplorasi seluruh elemen kepenulisan dalam suatu karya yang fenomenal dan tampak Anti-Mainstream. Dan juga saling memantau sejauh mana dari diri kita yang masih jatuh bangun dalam meraih impian menjadi Novelis. Bukankah itu pertanyaan yang rumit untuk dijelaskan? Memang benar, dan Saya sengaja menanyakannya.

“Apa setiap orang ada yang menyukai cerita fiksi?” tanya Arman, Saya hanya mengangguk menunggu kalimat selanjutnya. “Apakah ada pembaca yang sangat mencintai dunia fiksi dan mampu membuat cerita fiksi yang popular?” Saya menjawab tentang seorang penulis idola Saya, “Ya, ada. Contohnya adalah Dewi Lestari, Penulis Supernova!”

“Apakah dia jenius? Menurutmu?” Arman kembali bertanya balik. Dan Saya jawab sesuai apa yang Saya ketahui tentang hal jenius dari Dewi Lestari, “Dia mampu membuat cerita yang sesuai dengan apa yang dipikirkannya, mengalir dan lugas dibaca, misteri yang menarik pembaca, memiliki sudut pandang unik di setiap tokoh ciptaannya, dia seperti menunjukkan bahwa dia bisa berada dalam cerita yang dibuatnya, dan itu bahkan dijadikan film layar lebar.” Arman hanya bergumam sesaat sembari menyeruput cangkir kopinya.

“Jadi, apakah kau bisa dengan hal yang seperti Dewi Lestari?” Saya menimang-nimang kembali pertanyaannya yang cukup menguras daya pikiran, hingga Saya jawab, “Itu sungguh rumit, tapi tidak sulit jika kita mau belajar teliti dalam gaya bercerita. Aku mungkin perlu waktu untuk menandingi imajinasinya itu.”

“Menurutku itu hal biasa untuk penulis sekelas Dewi Lestari, tapi itu tetap belum jenius bagiku, fiksi itu tak terbatas, ia selalu terampung di imajinasi membiarkan waktu untuk menenggelamkan ribuan ide ke dalam pikiran kita. Karya Dewi Lestari itu ada batasnya. Bukan berada di cetakan akhir. Tapi cerita setiap penulis memang ada batas untuk memberi jeda akhir. Tapi fiksi yang luar biasa itu tidak ada akhir, ia tak terbatas dalam hal apapun, ia Infinity.” terang Arman, rambut Kribonya berkibaran tertiup kipas angin.

“Jika ada karya yang seperti itu, bukankah akan jadi bosan bagi pembaca. Dan pasti jenuh untuk membaca cerita yang tak pernah habis.” tanya Saya yang mulai heran dengan karya apa yang luar biasa tapi tak terbatas untuk kualitas dalamnya.

“Karya itu tak perlu dalam bentuk karya yang nyata, ia bisa berbentuk kesadaran yang akan memengaruhi jiwa kita untuk selalu memuji karyanya itu. Dan, bahkan sampai akhir hayat kita. Karya itu akan abadi sebagai Mahakarya. Kau tahu siapa pembuatnya?” Arman berhasil membuat Saya penasaran setengah mati dengan keterangan kalimatnya yang melebihi batas logika.

“Karya itu. Novelis Jenius itu. Adalah Tuhan. Ia menjadikan Bumi yang kita pijak sebagai lembaran untuk menuliskan kisah yang akan Dia tulis, Dia juga menciptakan deskripsi yang sangat detail beserta sejarah dari seluruh tempat di muka Bumi ini, Dia juga mampu mengendalikan tempo cerita dengan Kuasa-Nya, Dia mampu menciptakan milyaran tokoh utama yang terdiri dari kisah-kisahnya hanya  dalam satu lingkup di Bumi ini, Dia sudah mengetahui akhir cerita seluruh tokoh ciptaannya sejak Ia menciptakan tokoh tersebut, Dia juga menceritakan dengan seluruh elemen kepenulisan, genre cerita dicampurnya dan diolah sedemikian unik dan indahnya tanpa cela kekurangan sedikit pun. Dia-lah Maha Jenius!” Arman mulai berapi-api, sorot matanya menandakan bahwa tingkat imajinasinya memang tak pernah luput dari inspirasi yang diterimanya dari Sang Khalik. 

Saya terpengarah mendengar penjelasan fiksi yang belum pernah terdengar di kuping ini. Sungguh unik dan ada benarnya jika dipandang dari sisi imajinasi batiniah. Tuhan memang sangat jenius, kehebatan ilmu-Nya tak tertandingi oleh siapa pun itu, Dia mampu menciptakan milyaran tokoh utama beserta ragam, budaya, bahasa, waktu yang berbeda-beda tapi di lembaran yang sama, Bumi. Dia mampu mengubah cerita hanya dengan Kuasa-Nya dan dalam sekejap cerita yang dibuat semakin lebih struktural dan unik. Luar biasa!

“Dan yang terakhir, setiap Novelis punya sifat arogan untuk bagian ending dalam cerita yang akan diakhiri. Skenario bisa berakhir tanpa memperdulikan apakah tokoh utama bisa menerima atau tidak pada tindakan si Penulis. Tapi, Tuhan tidak seperti itu. Dia memang yang menentukan skenario tokoh ciptaannya, tapi Dia juga memiliki kasih sayang dan menghormati pilihan di dalam perasaan tokoh-Nya, hingga skenario yang dibuat-Nya lebih dari satu! Dan akan berkembang sesuai Kuasa-Nya! Luar Biasa!” Arman bangkit dari kursi, memandang ke seluruh. Suaranya mulai serak, Saya tahu kenapa julukan “Si Pembuat Perbedaan” sangat cocok untuknya. Karena dia mencoba menyadarkan pikiran manusia melalui imajinasinya. Saya menjadi kagum karena berhasil mengubah pemikiran sempit saya tentang “Siapa yang paling jenius di dunia.” 

Saat mendongak ke wajahnya, Arman bertanya lagi. “Adakah, Novelis yang bisa membuat skenario seperti itu?” Saya menjawabnya, “Tidak ada, sungguh tidak akan pernah ada.” Arman tersenyum dan memandang ke arah Saya.

“Tapi kenapa, banyak diantara kita menganggap remeh semua hal yang diciptakan-Nya?” Saya membalas dengan cepat, “Mungkin karena sebagian dari kita merasa lebih hebat dari-Nya.” dan Arman menjawab dengan suara datar. “Lantas kenapa sebagian dari kita merasa lebih hebat daripada Sang Kuasa yang memiliki kekuasaan seluruh alam semesta? Ingat, Dia mengetahui identitas kita, Dia mengetahui dosa-dosa kita.”

 

Sore itu, Saya hanya termenung dan merenung lebih dalam lagi di sepanjang perjalanan pulang ke kost-an. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun