Mohon tunggu...
Fahlevi Vici Febriyani
Fahlevi Vici Febriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Public Relations - Universitas Mercu Buana

Nama : Fahlevi Vici Febriyani NIM : 44223010169 Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak , M. Si. Universitas Mercu Buana Meruya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 2_Diskursi Gaya Kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram dalam Upaya Pencegahan Korupsi_Fahlevi Vici Febriyani

12 November 2023   14:04 Diperbarui: 12 November 2023   14:05 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Canva design by Fahlevi Vici F

Canva design by Fahlevi Vici F
Canva design by Fahlevi Vici F

Canva design by Fahlevi Vici F
Canva design by Fahlevi Vici F

Canva design by Fahlevi Vici F
Canva design by Fahlevi Vici F

Canva design by Fahlevi Vici F
Canva design by Fahlevi Vici F

Nama: Fahlevi Vici Febriyani

NIM: 44223010169

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Dosen : Prof.Dr. Apollo , Ak , M. Si. 

Sejarah Ki Ageng Suryomentram

Tanah Jawa telah menjadi tempat lahir bagi para ahli filsafat, salah satunya adalah Ki Ageng Suryomentaram, yang memiliki nama kecil Bendoro Raden Mas (BRM) Kudiarmaji. Ki Ageng Suryomentaram dilahirkan di Kraton Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1892. Ia adalah anak ke-55 dari Sultan Hamengku Buwono VII, yang juga merupakan paman dari Sri Sultan HB IX. Sultan Hamengku Buwono VII memiliki total 79 anak, dan Ki Ageng Suryomentaram adalah salah satu dari mereka. Ibunya adalah BRA Retnomandoyo, putri dari patih Danurcia VI, yang memberikan kontribusi penting dalam kehidupan Ki Ageng Suryomentaram.

Dengan latar belakang keluarga yang terkait erat dengan kesultanan, Ki Ageng Suryomentaram tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal. Warisan keluarganya memberikan fondasi kuat bagi pemikiran dan kepribadian Ki Ageng Suryomentaram, juga ia disediakan fasilitas pendidikan yang terjamin dibandingkan masyarakat umum. Beliau merupakan sosok yang senang mempelajari hal baru untuk menambah pengetahuannya.

Hingga suatu ketika ia merasa ada yang kurang dalam jiwanya, beliau merasa belum bertemu "orang". Ia merasa bosan dan beranggapan bahwa mungkin penyebab tidak bahagianya adalah harta benda, akhirnya ia menjual semua barang miliknya. Beliau meninggalkan istana dan melepas gelarnya sebagai pangeran segala hal ia lakukan untuk mengisi batinnya yang merasa kurang namun ia tak kunjung menemukannya. 

Tahun 1927 akhirnya apa yang ia cari ketemu, yaitu dirinya sendiri. Ia selalu merasa bingung selalu tidak puas dengan semua yang ia lakukan, ia berkata pada istrinya 

"Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah Si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya adalah Si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi."

"orang" yang ia cari adalah dirinya sendiri, ia tidak pernah bertemu dengan orang yang selalu merasa tidak puas dan kecewa dengan apa yang ia lakukan. Setelah menemukan jati dirinya Ki Ageng Suryomentaram sering berpergian, bukan untuk merenung atau tirakat melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri.

Hasil renungan dan menjajagi diri sendiri itu ia tulis dan di bukukan pada tahun 1928 dan mulai melakukan ceramah di tahun 1929 hingga ceramah terakhirnya di Desa Sajen Salatiga. Sebelum meninggal ia sempat ceramah tentang puncak belajar Kawruh Jiwa adalah mengetahui gagasannya sendiri. Beliau meninggal pada tanggal 18 Maret 1962 dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Desa Kanggotan.

Kawruh Jiwa

Ki Ageng Suryomentaram, seorang pangeran Jawa, mencapai ketenaran karena keberhasilannya menghidupkan kembali ajaran adi luhung nenek moyangnya. Ajarannya yang dikenal sebagai Kawruh Jiwa, atau ilmu kebahagiaan hidup, menitikberatkan pada esensi kehidupan manusia. Ia menekankan bahwa sebelum berinteraksi dengan sesama, manusia perlu memahami dan merasakan perasaan dalam dirinya sendiri untuk menghindari potensi melukai orang lain.

Bagi Ki Ageng Suryomentaram, rasa manusia adalah penjelmaan dari perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain. Pentingnya memahami dan merasakan rasa ini menjadi dasar untuk menjalani interaksi sosial yang bermakna. Menurutnya, mempelajari rasa manusia tidak hanya sebatas pengenalan terhadap diri sendiri, melainkan juga sebagai sarana untuk memahami hakikat manusia secara lebih luas.

Dalam pandangannya, proses mempelajari rasa menjadi sebuah jendela untuk menggali lebih dalam esensi manusia. Dengan memahami rasa, seseorang dapat mengembangkan empati, kepekaan, dan kesadaran terhadap keberadaan orang lain. Oleh karena itu, belajar tentang rasa tidak hanya merupakan sebuah keterampilan interpersonal, tetapi juga merupakan kunci untuk memahami dan memperkaya diri sendiri.

Ki Ageng Suryomentaram melihat studi tentang rasa sebagai suatu bentuk penelitian tentang manusia secara menyeluruh. Memahami rasa tidak hanya sebatas memahami bagaimana diri sendiri merespons situasi, tetapi juga mencakup pengertian terhadap beragam reaksi emosional dan psikologis manusia dalam berbagai konteks sosial.

Dengan demikian, bagi Ki Ageng Suryomentaram, mempelajari manusia tidak hanya sekadar mengejar pengetahuan akademis, melainkan perjalanan mendalam ke dalam diri dan pemahaman yang lebih dalam tentang kemanusiaan.

Maka ia mengembangkan suatu konsep yang dikenal sebagai "Kawruh Jiwa". Konsep ini mencakup pemahaman mendalam mengenai hakikat jiwa dan perasaan manusia. Menurut Ki Ageng, "Kawruh Jiwa" tidak dapat disamakan dengan agama yang memberikan pedoman mengenai benar dan salah atau aturan yang harus diikuti. Konsep ini bukanlah tentang kewajiban atau larangan. Sebaliknya, "Kawruh Jiwa" adalah suatu bentuk pengetahuan yang bertujuan memahami jiwa dan aspek-aspek yang terkait dengannya. 

Konsep ini tumbuh dari pengalaman hidup Ki Ageng dan merupakan hasil dari penyatuan berbagai pengetahuan yang berusaha memahami jiwa dan segala yang terkait dengannya. Ki Ageng juga dikenal dengan ajarannya tentang "kawruh jiwa" atau "science of the psyche". Dalam konteks ini, prinsip dasar yang dipegang teguh adalah "ngudari reribet" atau "menghindari kerumitan".

Dalam penerapannya, konsep "Kawruh Jiwa" melibatkan proses "mawas diri" atau introspeksi diri melalui "kandha-takon" (bertanya-tanya), "nyawang karep" (melihat keinginan), untuk "nyocokaken raos" (menyelaraskan perasaan) dalam upaya "ngudari reribet" (menghindari kerumitan). Dengan demikian, "Kawruh Jiwa" dapat berperan sebagai suatu alat untuk menganalisis dan mengatasi permasalahan sehari-hari dalam kehidupan.

Rumusan Enam ''SA" Versi Ki Ageng Suryomentaram: Kunci Hidup Bahagia

Canva
Canva

 "Enam Sa" merupakan suatu konsep yang dikembangkan dan diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram dengan tujuan untuk mencapai keadaan hidup yang damai dan bahagia. Metode ini memberikan panduan dalam memahami diri sendiri, yang pada gilirannya dapat membantu menghindari gangguan mental. Dengan terus-menerus meningkatkan pemahaman terhadap diri sendiri, seseorang dapat dengan lebih mudah memahami orang lain dan memahami lingkungan sekitarnya.

Keistimewaan "Enam Sa" terletak pada kemampuannya untuk diaplikasikan oleh setiap individu tanpa tekanan, karena masing-masing orang dapat menyesuaikan metodenya sesuai dengan kebutuhan dan preferensinya. Filosofi ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk menentukan skala atau ukuran yang sesuai dengan karakteristik pribadinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulistiani dan rekan-rekannya pada tahun 2020 menegaskan bahwa penerapan konsep "Enam Sa" dapat menjadi panduan yang efektif dalam menjalani kehidupan. Dengan mengadopsi konsep ini, diharapkan manusia dapat menjalani kehidupan dengan keseimbangan yang tepat, menghindari sikap berlebihan, dan senantiasa menghadapi setiap aspek hidup dengan proporsional.

Filosofi hidup  yang ia ajarkan berfokus pada keseimbangan dan moderasi dalam semua aspek kehidupa yaitu  konsep tentang hidup bahagia yang dikenal sebagai "Enam SA". Enam Sa adalah kunci untuk mengendalikan keingininan agar kita dapat hidup bahagia dan penting untuk kita terapkan agar menjadi individu yang baik. Enam SA adalah: 

1. Sa-Butuhne (Sebutuhnya): Hal ini bermakna melaksanakan tindakan hanya untuk memenuhi keperluan dasar, tanpa berlebihan. Prinsip ini berkaitan dengan kesadaran akan apa yang kita butuhkan agar dapat hidup dan berkembang, serta menjauhi keinginan yang tidak perlu atau berlebihan. Intinya, kita fokus pada hal-hal yang benar-benar diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, tanpa terjebak dalam keinginan yang berlebihan. Cara menerapkannya yaitu cobalah untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Misalnya, makan adalah kebutuhan, tetapi makan makanan mahal setiap hari mungkin lebih merupakan keinginan daripada kebutuhan. 

2. Sa-Perlune (Seperlunya): Artinya, melakukan sesuatu sesuai dengan kebutuhan tanpa kelebihan atau kekurangan. Ini merupakan  melibatkan pemahaman tentang hal-hal yang benar-benar penting dan yang tidak, dan bertindak sesuai dengan pemahaman tersebut. Jadi, intinya adalah melakukan hal-hal yang perlu dilakukan dengan tepat, tidak lebih dan tidak kurang dari yang diperlukan. Cara menerapkannya adalah dengan cara menggunakan apapun sesuai kebutuhannya saja,  contohnya jika anda membutuhkan baju, maka belilah baju tersebut tapi jangan membeli barang lain yang tidak sesuai dengn apa yang diperlukan saat itu.

3. Sa-Cukupe (Secukupnya): Artinya, kita perlu melakukan segala sesuatu dengan seimbang, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak. Ide ini berkaitan dengan menemukan titik tengah antara kekurangan dan kelebihan, serta menjaga keseimbangan tersebut dalam berbagai hal dalam hidup kita. Ini mencakup berbagai aspek kehidupan, dan penting untuk menjaga agar tidak ada yang berlebihan atau kurang dalam tindakan dan keputusan kita sehari-hari. Dengan cara ini, kita dapat mencapai harmoni dan kesejahteraan dalam kehidupan sehari-hari kita. Cara menerapkannya adalah dengan jangan berlebihan dalam apa pun. Misalnya, tidur adalah penting, tetapi tidur terlalu banyak bisa membuat orang merasa lesu dan tidak produktif. 

4. Sa-Benere (Sebenarnya): Melakukan sesuatu sesuai dengan kebenaran berarti mencari dan selalu berusaha hidup sesuai dengan yang benar. Maksudnya, melakukan usaha untuk memahami kebenaran dalam segala hal. Dengan kata lain, kita berkomitmen untuk bertindak dengan jujur dan sesuai dengan nilai-nilai yang benar, sehingga hidup kita mencerminkan kebenaran tersebut. Cara menerapkannya adalah dengan Selalu berusaha untuk mencari kebenaran dan bertindak sesuai dengan itu. Misalnya, jika mendengar rumor tentang seseorang, jangan langsung percaya. Cari tahu kebenarannya terlebih dahulu. 

5. Sa-Mestine (Semestinya): Melaksanakan tugas atau kewajiban sesuai dengan norma atau aturan yang berlaku. Hal ini melibatkan pemahaman terhadap apa yang benar dan apa yang salah, serta upaya terus-menerus untuk bertindak sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang baik. Dengan kata lain, seseorang seharusnya berkomitmen untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan selalu berusaha untuk membuat keputusan yang tepat. Cara penerapannya adalah dengan melakukan apa yang seharusnya diakukan. Misalnya, jika Anda seorang pelajar, Anda seharusnya belajar dan menyelesaikan tugas Anda tepat waktu.

6. Sak-Penake (Seenaknya): Makna dari konsep ini adalah melakukan sesuatu dengan senyaman mungkin. Namun tidak bermakna mencari kenyamanan melalui keengganan untuk bekerja keras atau malas, tetapi mencari solusi untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab dengan cara yang paling efisien dan efektif. Cara penerapannya dalam kehidupan sehari hari adalah cari cara untuk membuat tugas dan tanggung jawab yang lebih nyaman. Misalnya, jika Anda merasa tidak nyaman saat bekerja di meja yang berantakan, luangkan waktu untuk membersihkan dan mengatur meja Anda sebelum memulai pekerjaan. 

Konsep ini menekankan pentingnya keseimbangan dalam hidup dan menghindari ekstremisme dalam mengejar atau menolak sesuatu. Filosofi ini sangat relevan dan bermanfaat dalam konteks kehidupan modern saat ini.

Pengawikan Diri.

Ki Ageng Suryomentaram menyampaikan bahwa mencari atau menolak dengan keras semat, derajat, dan keramat tidaklah bermakna. Bagi manusia, yang patut dikejar hanyalah hakikat kebahagiaan yang tidak tergantung pada keinginan materi. Kebahagiaan sejati diperoleh dengan menjadi pengawas terhadap keinginan diri sendiri.

Dalam ajarannya yang mendasar yang tercantum dalam karya "Aku Iki Wong Apa?", Ki Ageng Suryomentaram tidak menyarankan agar manusia menghindari mencari semat, derajat, atau keramat. Sebaliknya, ia lebih menekankan pada upaya memahami hakikat diri. Dengan mengenali hakikat diri, manusia dapat mencapai kesadaran bahwa tidak ada perbedaan esensial antara satu sama lain. Pandangan ini mencakup penolakan untuk membedakan manusia berdasarkan strata sosial, serta menolak orientasi pada semat, derajat, dan keramat. Kesadaran ini muncul dari keyakinan bahwa di mata Tuhan, semua manusia memiliki derajat yang sama.

Untuk menghindari kesombongan terhadap semat, derajat, dan keramat yang dimilikinya, manusia perlu memahami rasanya sendiri. Ajaran Ki Ageng Suryomentaram mengenai pemahaman diri ini tertuang dalam "Pangawikan Pribadi". Untuk mengamalkan ajaran ini, manusia harus mengusung prinsip toleransi terhadap sesama.

Ajaran Ki Ageng Suryomentaram tentang memahami diri dalam "Pangawikan Pribadi" sesuai dengan konsep-konsep yang terdapat dalam "Kawruh Rasa" dan "Kawruh Jiwa". Semua ini melibatkan dimensi spiritualitas manusia, di mana pemahaman diri menjadi fondasi yang erat untuk mencapai keselarasan dengan lingkungan dan pencapaian makna hidup.

Beliau mengemukakan pandangannya mengenai akar penyebab ketidakbahagiaan yang menarik. Menurut beliau, sumber ketidakbahagiaan berasal dari keinginan-keinginan manusia. Point utamanya adalah mengendalikan semat, drajat, dan kramat. Di bawah ini adalah penjelasan rinci dari masing-masing konsep tersebut:

1. Semat: Semat mengacu pada hasrat terhadap kekayaan, kesenangan, kecantikan, dan kegantengan, yang umumnya memiliki dimensi fisik. Berarti ini adalah keinginan untuk memperoleh atau mencapai sesuatu yang dapat dilihat atau dirasakan secara jasmaniah.

2. Derajat: Drajat bisa mencakup keluhuran, kemuliaan, keutamaan, dan status sosial. Artinya keinginan untuk mencapai posisi atau status tertentu dalam masyarakat atau kelompok.

3. Kramat: Kramat melibatkan keinginan terhadap kekuasaan, kedudukan, dan pangkat. Maksudnya adalah keinginan untuk memiliki kontrol atau pengaruh terhadap orang lain.

Ki Ageng meyakini bahwa jika keinginan-keinginan ini tidak dikendalikan dengan bijaksana, mereka dapat menjadi penyebab utama ketidakbahagiaan. Oleh karena itu, sangat penting bagi manusia untuk memahami dan mengendalikan dorongan-dorongan ini agar dapat mencapai kebahagiaan sejati.

Ki Ageng Suryomentaram memberikan pesan yang mendalam bahwa memahami dan mengendalikan keinginan adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Dengan menyadari bahwa kepuasan sejati tidak terletak pada pemenuhan keinginan materi atau status sosial semata, manusia dapat memandang hidup dengan lebih bijak dan mencapai kedamaian batin yang sejati.

Menurut Ki Ageng Suryomentaram, seseorang yang selalu mengikuti keinginan pribadinya, terutama terkait dengan semat (kekayaan), derajat (kehormatan), dan keramat (kekuasaan), dapat dikategorikan sebagai karmadangsa yang belum mencapai kesehatan jiwa. Bagi Ki Ageng Suryomentaram, kontrol terhadap semat, keramat, dan derajat dapat diwujudkan melalui suatu metode yang disebut "mawas diri", suatu bentuk latihan yang melibatkan pengamatan mendalam terhadap perasaan dan keinginan pribadi. Dengan mengamalkan mawas diri, seseorang dapat secara terus-menerus memantau dan membimbing keinginan mereka, sehingga tetap berada dalam jalur alami dan bertindak dengan integritas.

Lebih lanjut, mengendalikan semat, keramat, dan derajat, menurut Ki Ageng Suryomentaram, bukanlah tentang menekan atau mengabaikan keinginan pribadi. Sebaliknya, ini melibatkan pemahaman mendalam terhadap keinginan tersebut dan kemampuan untuk mengarahkannya dengan cara yang sehat dan produktif. Proses ini menuntut tingkat kesadaran diri yang mendalam, yang dapat ditingkatkan melalui praktik-praktik seperti meditasi atau latihan pernapasan.

Dengan demikian, kontrol terhadap semat, keramat, dan derajat adalah suatu bentuk penguasaan diri yang melibatkan pemahaman mendalam terhadap keinginan pribadi dan kemampuan untuk membimbingnya menuju arah yang positif. Melalui praktik mawas diri, seseorang dapat mencapai keseimbangan antara keinginan pribadi dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang lebih tinggi, membentuk landasan untuk pertumbuhan jiwa yang sehat dan positif.

Mulur-Mungret

Konsep "Mulur-Mungkret" merupakan bagian penting dari ajaran "Kawruh Jiwa" yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Konsep ini memiliki fokus utama pada pemahaman dan pengelolaan keinginan manusia, mencerminkan dinamika yang terkandung di dalamnya.

Dalam bahasa Jawa, "Mulur" menggambarkan perpanjangan atau pemenuhan keinginan, sementara "Mungkret" merujuk pada penyusutan atau pemendekan keinginan. Dalam konteks ini, "Mulur-Mungkret" mengacu pada dinamika kompleks keinginan manusia.

Keinginan manusia cenderung "mulur" atau memanjang ketika sudah berhasil memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti sandang, pangan, dan papan. Sebaliknya, keinginan manusia terhadap hal-hal yang besar atau luhur dapat "mungkret" atau menyusut jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar tersebut.

Ki Ageng Suryomentaram mengidentifikasi tiga kategori keinginan manusia dalam skala besar, yaitu Semat (kekayaan), Drajat (keluhuran atau kemuliaan), dan Kramat (kekuasaan). Menurutnya, jika keinginan-keinginan ini tidak dikelola dengan bijak, mereka dapat menjadi sumber ketidakbahagiaan.

Dalam pandangan Ki Ageng, kontrol terhadap keinginan-keinginan besar ini sangat penting untuk mencapai kebahagiaan sejati. Keberhasilan dalam mengendalikan keinginan akan mencegahnya "mungkret" atau menyusut, sehingga manusia dapat mencapai keselarasan dan kepuasan dalam hidupnya. Maka, ajaran "Mulur-Mungkret" tidak hanya mengajarkan pengenalan terhadap dinamika keinginan, tetapi juga memberikan panduan untuk mengelolanya dengan bijak guna mencapai kehidupan yang lebih bermakna.

Ki Ageng Suryomentaram, dalam ajarannya yang terdapat dalam bab ketiga Kawruh Jiwa (ilmu hidup bahagia), menjelaskan secara rinci tentang pengertian kehidupan dan memberikan petunjuk-petunjuk yang sebenarnya mengenai kehidupan. Pengertian kehidupan ini terdiri dari tiga bagian utama:

1. Bagian I: Hidup yang Dikuasai oleh Keinginan
   
   Bagian ini menjelaskan tentang kehidupan yang didominasi oleh karep (keinginan) dengan sifat mulur mungkret. Pengertian mulur mengacu pada perasaan senang ketika keinginan terpenuhi, dan pengertian mungkret adalah perasaan susah ketika keinginan tidak tercapai. Keinginan manusia, yang sifatnya selalu berkembang, dapat membuatnya senang saat terpenuhi dan susah ketika tidak.

2. Bagian II: Memahami dan Menjalani Keinginan dengan Tabah

   Bagian ini membahas bagaimana manusia seharusnya memahami keinginannya agar dapat menjalani hidup dengan tabah. Menyadari karep dan memahaminya membantu manusia menjadi lebih kuat dalam menghadapi kehidupan.

3. Jilid III: Hakikat Kehidupan sebagai Keinginan

   Bagian ini menegaskan bahwa manusia yang memahami bahwa kehidupan hanya berisi keinginan (karep) akan mencapai hakikat dari keinginan itu sendiri. Ini membawa pada munculnya "rasa adanya kami," menandakan pemahaman mendalam tentang hakikat keinginan.

Manusia, menurut Ki Ageng Suryomentaram, memiliki sifat penuh keinginan (karep) yang cenderung berkembang dan berkontraksi. Keinginan yang terpenuhi memberikan kebahagiaan, sementara yang tidak terpenuhi menyebabkan penderitaan. Namun, kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan manusia untuk melepaskan diri dari siklus senang-susah ini, menyadari bahwa keduanya selalu bersama.

Ki Ageng Suryomentaram memandang bahwa keinginan manusia, seperti membutuhkan tempat tinggal, pakaian, dan makanan, merupakan contoh keinginan yang wajar. Namun, keinginan ini dapat membingungkan pikiran manusia, tergantung pada faktor-faktor tertentu. Karep, yang cenderung berkembang dan berkontraksi, dapat diatur dengan prinsip mulur-mungkret untuk mencegah pelampaian yang berlebihan atau melanggar norma sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip mulur-mungkret dapat membantu mengelola keinginan agar sesuai dengan kemampuan dan norma yang berlaku. Sebagai contoh, seseorang yang mencapai keinginan memiliki handphone mungkin kemudian menginginkan laptop. Jika keinginan ini tidak terpenuhi, prinsip mungkret mengajarkan untuk menerima apa yang dapat dicapai saat ini.

Ki Ageng Suryomentaram menekankan bahwa keinginan yang tidak tercapai dapat menyebabkan mungkret (kekecewaan), dan jika tidak diatasi, kekecewaan ini dapat bertambah dan bertambah. Oleh karena itu, manusia perlu mampu menghibur diri dan menerima kenyataan dengan senang hati, suatu sikap yang dalam ilmu tasawuf disebut "ridha."

Dalam budaya Jawa, ajaran seperti sikap tepa seliro (toleransi), rumangsa (empati), tata krama (sopan santun), wani ngalah (mampu mengalah), dan manjing ajur-ujer (mampu menyesuaikan diri) juga diterapkan. Semua ini merupakan upaya untuk menciptakan kehidupan yang damai dan bahagia.

Ketika seseorang telah memahami diri dan keinginannya, ia dapat mengendalikan dirinya sendiri. Sebab, keinginan selalu ada dan cenderung tidak terbatas. Oleh karena itu, manusia harus mawas diri, meneliti keinginannya, dan menerima kenyataan bahwa tidak ada sesuatu pun yang layak dicari atau ditolak mati-matian.

Inti dari pelajaran Kawruh Jiwa adalah belajar memahami diri sendiri secara tepat, benar, dan jujur. Ini menjadi dasar untuk memahami orang lain dan lingkungannya, menciptakan hidup yang baik, damai, dan bahagia.

Intinya, Mulur Mungkret adalah kemampuan untuk bersikap fleksibel dalam menghadapi masalah dan mengalami kehidupan. "Mulur" berasal dari bahasa Jawa yang berarti memanjang atau mengembang, sementara "Mungkret" berarti merengkus atau mengecil. Menurut pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, perasaan senang muncul ketika keinginan tercapai. Saat keinginan tercapai, seseorang merasakan kebahagiaan, kelezatan, kelegaan, kepuasan, ketenangan, dan kegembiraan. Namun, perlu diingat bahwa keinginan yang terpenuhi cenderung "mulur" atau meningkat, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Artinya, apa yang diinginkan menjadi lebih besar, entah dalam jumlah atau kualitas, sehingga tidak mungkin selalu tercapai dan justru dapat menimbulkan penderitaan. Oleh karena itu, kebahagiaan tidak dapat bertahan secara terus-menerus.

Mawas Diri

Mawas diri, dalam konteks linguistik, merujuk pada proses introspeksi, yaitu mengamati diri sendiri secara penuh kesadaran guna mengenali segala kelemahan dan kekurangan yang dimiliki. Ketika seseorang mencapai tingkat mawas diri, ia secara alami akan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki dirinya dengan sepenuh kesadaran dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya.

Keberadaan manusia seringkali diwarnai oleh kesulitan hidup, sebab manusia pada dasarnya memiliki pemahaman yang terbatas terhadap dirinya sendiri. Manusia sebagai makhluk memiliki berbagai keinginan, dan jika keinginan tersebut tidak dijaga, konsekuensinya bisa fatal karena manusia kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, pemahaman terhadap konsep kramadangsa menjadi esensial. Selain itu, manusia juga perlu memiliki kemampuan untuk membedakan antara sesuatu yang benar dan yang hampir benar.

Mawas diri menjadi mekanisme untuk mengatur dan menjaga keinginan yang ada dalam diri manusia agar tidak bersikap sembrono. Proses mawas diri akan tercapai ketika manusia mampu memahami makna dari kromodongso, atau dengan kata lain, memahami diri sendiri secara menyeluruh. Dalam konteks ini, mawas diri bukan sekadar tindakan refleksi diri, tetapi juga upaya untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang esensi keberadaan manusia.

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan konsep "Mawas Diri" sebagai suatu pendekatan untuk memahami diri sendiri, yang pada gilirannya akan membimbing individu menuju cara berpikir dan bertindak yang benar. Menurut Ki Ageng Suryomentaram, mengadopsi pola pikir dan perilaku yang benar adalah kunci untuk mencapai tingkat kesempurnaan keempat, yaitu menjadi manusia tanpa ciri yang akan merasakan rasa bahagia.

"Mawas Diri" dapat diartikan sebagai suatu metode latihan batin yang dijelaskan oleh Suryomentaram sebagai proses penggalian dan pemahaman mendalam terhadap rasanya diri sendiri. Menurut konsep ini, individu yang terus-menerus memenuhi keinginan pribadinya, terutama dalam hal semat (kekayaan), derajat (kehormatan), dan keramat (kekuasaan), disebut sebagai karmadangsa yang belum mencapai keseimbangan jiwa.

Melalui praktik mawas diri, seseorang akan selalu mampu "nyawang karep" (mengamati keinginan), dan "memandi karep" (menilai keinginan), dengan tujuan agar selalu berada pada jalur alamiah dan bertindak sesuai dengan norma-norma yang benar. Proses ini membantu individu untuk menghindari pencarian tanpa henti terhadap kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan, sehingga dapat menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan kebenaran. Prinsip ini menciptakan landasan bagi kehidupan yang mempromosikan kebahagiaan sejati tanpa bergantung pada pencapaian material semata.

Sikap mawas diri memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita karena berbagai alasan yang mendalam dan bermanfaat:

1. Mawas diri menjadi kunci untuk memahami diri kita dengan lebih mendalam, termasuk mengenali kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Dengan pemahaman ini, kita memiliki landasan yang kuat untuk membuat keputusan yang lebih bijak dan dapat menghindarkan diri dari perilaku yang berpotensi merugikan diri sendiri maupun orang lain di sekitar kita.

2. Praktek mawas diri memberikan kemampuan untuk mengendalikan emosi dan tindakan kita. Kemampuan ini tidak hanya berpengaruh pada kehidupan pribadi, tetapi juga berdampak positif dalam situasi profesional. Dengan memiliki kendali atas emosi, kita dapat mengambil keputusan secara rasional dan efektif.

3. Mawas diri bukan hanya tentang mengenal diri, tetapi juga memberikan pijakan untuk pertumbuhan pribadi yang berkelanjutan. Dengan kemampuan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan, kita dapat fokus untuk melakukan perubahan positif dalam diri sendiri. Inilah inti dari perkembangan pribadi yang berkelanjutan.

4. Sikap mawas diri dapat menjadi kunci dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat. Melalui pemahaman diri, kita dapat lebih mudah memahami orang lain dan berinteraksi dengan mereka secara lebih efektif dan empatik. Ini membuka pintu bagi hubungan yang lebih mendalam dan saling pengertian.

5. Mawas diri telah terbukti memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan mental. Dengan memperhatikan diri sendiri secara sadar, kita dapat mengurangi tingkat stres dan meningkatkan tingkat kebahagiaan dalam hidup.

Ingatlah, pengembangan sikap mawas diri bukanlah perjalanan yang singkat. Mawa Diri membutuhkan latihan dan kesabaran. Namun, manfaat yang diperoleh dari upaya ini sangat berharga, memberikan pondasi yang kokoh untuk kehidupan yang lebih bermakna dan terarah.

Gaya Kepemimpinan Ki Ageng Suryomentaram Dalam Upaya Pencegahan Korupsi

Ki Ageng Suryomentaram, seorang pemikir Jawa yang bijaksana, mengajarkan konsep "Kawruh Jiwa" atau "Ilmu Jiwa" sebagai suatu metode untuk memahami dan mengelola diri dengan lebih baik. Menurut ajarannya, seseorang yang telah mencapai tingkat kesadaran diri yang tinggi akan mencapai maqamat atau tingkatan sebagai manusia tanpa identitas yang terikat (manungso tanpo tenger). Ia akan menjadi individu yang merdeka, tidak terikat oleh ego (kramadangsa) atau identitas apapun yang melekat pada dirinya, termasuk keinginan untuk menguasai atau dikuasai.

Dalam konteks pencegahan korupsi, konsep "Kawruh Jiwa" yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram menjadi sangat relevan. Korupsi sering kali dimulai dari dorongan keinginan untuk memperoleh kekayaan, kehormatan, atau kekuasaan yang berlebihan, yang dapat dianggap sebagai bentuk dari semat, derajat, dan keramat menurut pandangan Ki Ageng. Dengan menerapkan "Kawruh Jiwa," seseorang dapat belajar untuk mengelola dan mengendalikan keinginan-keinginan tersebut, sehingga dapat bertindak dengan lebih etis dan bertanggung jawab dalam setiap langkahnya.

Dalam praktiknya, "Kawruh Jiwa" memberikan panduan tentang bagaimana seseorang dapat memahami motif dan dorongan-dorongan dalam dirinya sendiri. Ini melibatkan pengembangan kesadaran diri yang mendalam, sehingga seseorang dapat mengenali keinginan-keinginan yang mungkin dapat merugikan dirinya dan orang lain. Dengan cara ini, individu dapat menghindari godaan untuk terlibat dalam perilaku koruptif yang merugikan masyarakat.

Dengan demikian, melalui penerapan konsep "Kawruh Jiwa," seseorang tidak hanya dapat mencapai kebebasan dari belenggu keinginan-keinginan yang merugikan, tetapi juga dapat menjadi agen perubahan yang positif dalam pencegahan korupsi. Sebagai manusia yang mengembangkan kesadaran diri, individu dapat lebih berfokus pada tindakan-tindakan yang membawa manfaat bagi semua pihak, menciptakan lingkungan yang lebih etis, dan membangun masyarakat yang lebih bermartabat.

Namsa atau Enam Sa adalah prinsip yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram, yang terdiri dari enam aspek, yaitu sakepenake (seenaknya/senyamannya), sabutuhe (sebutuhnya/sesuai kebutuhan), saperlune (seperlunya), sacukupe (sacukupnya), samesthine (semestinya), dan sabenere (sebenarnya).

Bila kita menghubungkan konsep Enam Sa dengan upaya pencegahan korupsi, kita dapat menginterpretasikannya sebagai berikut:

1. Sakepenake (Seenaknya/Senyamannya): Seorang pemimpin harus membuat keputusan dan bertindak dengan memastikan kenyamanannya sendiri, tanpa menyalahgunakan kekuasaan atau sumber daya untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

2. Sabutuhe (Sebutuhnya/Sesuai Kebutuhan): Seorang pemimpin harus bijak menggunakan sumber daya, hanya sebanyak yang benar-benar diperlukan, tanpa pemborosan atau kelebihan.

3. Saperlune (Seperlunya): Seorang pemimpin harus bertindak sesuai dengan kebutuhan situasional tanpa berlebihan atau kurang, menyesuaikan langkah-langkahnya dengan konteks yang dihadapi.

4. Sacukupe (Sacukupnya): Seorang pemimpin harus merasa puas dengan apa yang dimilikinya, tanpa kelaparan kekuasaan atau kekayaan yang berlebihan.

5. Samesthine (Semestinya): Seorang pemimpin harus berperilaku sesuai dengan yang seharusnya, tanpa melanggar hukum atau etika dalam tindakan dan keputusannya.

6. Sabenere (Sebenarnya): Seorang pemimpin harus selalu mencari kebenaran dalam setiap tindakan dan kebijakan, serta bertindak secara jujur dan transparan.

Dengan menerapkan konsep Enam Sa ini, seorang pemimpin dapat berperan dalam mencegah korupsi dalam konteks organisasi maupun masyarakat. Prinsip-prinsip ini membantu menciptakan lingkungan yang integritasnya terjaga, di mana keputusan dan tindakan didasarkan pada nilai-nilai moral dan kebenaran.

Referensi:

Achmad, S. W. (2020). ILMU BAHAGIA KI AGENG SURYOMENTARAM Sejarah, Kisah, dan Ajaran Kemuliaan (Vol. 103). Araska Publisher. 

RIYANTO, A. A. FILOSOFI MULUR MUNGKRET KI AGENG SURYOMENTARAM SKRIPSI. 

MUAWWALUL BAHAFI, A. L. A. M. S. Y. A. H., & Bakri, S. (2022). KONSEP "ENAM SA" SURYOMENTARAM SEBAGAI ALTERNATIF PSIKOTERAPI SUFISTIK DALAM MENGHADAPI PANDEMI COVID-19 (Doctoral dissertation, UIN Raden Mas Said Surakarta). 

Saputri, D. D. (2017). PENERAPAN PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN METODE MULUR MUNGKRET DI KELAS VI SD SENDANGSARI PAJANGAN BANTUL (TINJAUAN TERHADAP KONSEP DAN PEMIKIRAN KI AGENG SURYOMENTARAM). Prodi PGSD Universitas PGRI Yogyakarta. 

Kholik, A., & Himam, F. (2015). Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 1(2), 120-134. 

Bonneff, M., & Crossley, S. (1993). Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philosopher (1892-1962). Indonesia, (57), 49-69. 

Andriyansah, R. (2018). Asketisme dalam perspetif Ki Ageng Suryomentaram (Bachelor's thesis, Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah).

Wahyudi, M. N. (2022). KONSEP AJARAN KAWRUH JIWA KI AGENG SURYOMENTARAM (Doctoral dissertation, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA).  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun