Mohon tunggu...
Fahlesa Munabari
Fahlesa Munabari Mohon Tunggu... Dosen - FISIP Universitas Satya Negara Indonesia

Associate Professor Ilmu Hubungan Internasional. Dekan FISIP Universitas Satya Negara Indonesia dan Tenaga Ahli DPR RI. Pemerhati isu-isu keamanan dan strategis, intelijen, radikalisme, gerakan sosial, politik Islam, dan kajian Asia Tenggara. Menikmati kopi dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Relasi Trump dan Komunitas Intelijen: Harapan Periode Kedua

19 Januari 2025   03:23 Diperbarui: 19 Januari 2025   03:26 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada periode pertama pemerintahan Presiden Donald Trump (2017-2021), istilah "deep state" muncul sebagai salah satu frasa yang paling sering digunakan untuk menggambarkan ketegangan antara pemerintah dan lembaga-lembaga negara. Istilah ini merujuk pada dugaan adanya jaringan rahasia dalam pemerintahan yang beroperasi di luar kendali pemimpin terpilih. Fenomena ini semakin mencuat seiring dengan pendekatan populis Trump dan retorika yang sering kali menantang norma-norma politik tradisional.

Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami bagaimana seharusnya relasi yang ideal antara lembaga eksekutif atau pemerintah dan komunitas intelijen. Komunitas intelijen adalah kumpulan lembaga pemerintah yang bertugas mengumpulkan, menganalisis, dan menyebarluaskan informasi intelijen terkait keamanan nasional. Beberapa lembaga yang tergabung dalam Komunitas Intelijen Amerika Serikat (AS) antara lain adalah Central Intelligence Agency (CIA), Federal Bureau of Investigation (FBI), National Security Agency (NSA), Defense Intelligence Agency (DIA), dan Office of the Director of National Intelligence (ODNI).             

Hubungan ini seharusnya didasarkan pada saling percaya dan kolaborasi yang erat. Lembaga eksekutif, sebagai pemimpin tertinggi, perlu mengandalkan analisis dan informasi yang disediakan oleh komunitas intelijen untuk membuat keputusan yang informatif dan strategis. Dalam konteks ini, komunikasi yang terbuka dan transparan sangat penting. Lembaga eksekutif perlu menciptakan lingkungan di mana para analis intelijen merasa dihargai dan didengar, sehingga mereka dapat memberikan penilaian yang objektif dan akurat tanpa rasa takut akan tekanan politik.

Selain itu, relasi yang ideal juga mencakup pengakuan terhadap peran penting lembaga intelijen dalam menjaga keamanan nasional. Lembaga eksekutif harus memahami bahwa komunitas intelijen memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang dapat membantu dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan keamanan. Dengan demikian, kolaborasi yang baik antara lembaga eksekutif dan lembaga intelijen dapat menghasilkan keputusan yang lebih baik dan lebih efektif dalam menghadapi tantangan global. Menurut praktisi dan pengamat intelijen AS, Mark M. Lowenthal dalam bukunya berjudul Intelligence: From Secrets to Policy (2020), hubungan yang sehat antara lembaga eksekutif dan lembaga intelijen sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil didasarkan pada informasi yang akurat dan relevan serta untuk menjaga integritas proses pengambilan keputusan.

Selama periode ini, Trump secara terbuka meragukan kredibilitas komunitas intelijen AS, terutama terkait dengan dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden 2016. Ketidakpercayaan ini menciptakan ketegangan yang belum pernah terjadi pada periode kepresidenan di AS sebelumnya serta mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah secara keseluruhan. Salah satu momen paling mencolok adalah ketika Trump, dalam konferensi pers bersama Presiden Rusia Vladimir Putin di Helsinki pada tahun 2018, menyatakan bahwa ia lebih percaya pada Putin daripada pada lembaga-lembaga intelijen AS. Pernyataan ini memicu kemarahan di kalangan anggota Kongres dari Partai Republik dan Partai Demokrat serta menunjukkan betapa dalamnya ketidakpercayaan yang telah tertanam di benak Trump terhadap komunitas intelijen.

Ketegangan semakin meningkat dengan pemecatan Direktur FBI James Comey pada Mei 2017 yang terjadi di tengah penyelidikan tentang campur tangan Rusia. Meskipun Trump mengklaim bahwa Comey dipecat karena "performa buruk," banyak yang percaya bahwa pemecatan tersebut terkait dengan penyelidikan yang sedang berlangsung. Tindakan ini tidak hanya memperburuk hubungan antara eksekutif dan lembaga-lembaga intelijen, tetapi juga menambah ketidakpastian di kalangan publik mengenai integritas proses pemerintahan.

Serangan terhadap analis intelijen juga menjadi bagian dari narasi ini. Trump dan para pendukungnya sering menyerang analis yang memberikan penilaian yang tidak sejalan dengan pandangan mereka. Misalnya, Trump menyebut laporan intelijen tentang ancaman dari Rusia dan China sebagai "berita palsu," yang semakin memperburuk hubungan antara eksekutif dan lembaga-lembaga intelijen. Ketidakpercayaan yang ditanamkan oleh Trump terhadap lembaga-lembaga ini telah mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah secara keseluruhan.

Dampak dari ketegangan ini cukup signifikan. Ketegangan ini dapat mengakibatkan penurunan efektivitas komunitas intelijen dalam memberikan analisis yang objektif dan akurat. Ketika lembaga-lembaga intelijen tidak lagi dianggap sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya, keputusan yang diambil oleh pemerintah dapat menjadi kurang informatif dan lebih berisiko. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengganggu keamanan nasional dan mengancam integritas demokrasi di AS.

Selain itu, dampak dari media sosial dan platform digital dalam memperkuat narasi "deep state" juga tidak bisa diabaikan. Dengan semakin banyaknya informasi yang beredar di dunia maya, narasi ini dapat dengan mudah disebarluaskan dan diperkuat oleh pendukung Trump. Situasi Ini dapat menciptakan suasana ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap institusi pemerintah dan memperdalam perpecahan partisan dalam masyarakat. Ketika masyarakat terpolarisasi, dialog konstruktif menjadi semakin sulit dan hal ini dapat menghambat upaya untuk mencapai konsensus dalam isu-isu penting.

Menatap ke depan, dengan terpilihnya Trump untuk periode kedua (2025-2029), ada beberapa kemungkinan yang perlu diperhatikan terkait hubungan antara Trump dan komunitas intelijen. Meskipun terdapat potensi untuk ketegangan, kita juga dapat berharap bahwa pengalaman dari masa jabatannya yang pertama akan memberikan kesempatan bagi Trump untuk lebih memahami pentingnya kolaborasi dengan komunitas intelijen. Dalam hal ini, Trump mungkin akan lebih bijaksana dalam menggunakan narasi "deep state" untuk membenarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial.

Ada beberapa kemungkinan relasi antara Trump dan Komunitas Intelijen ke depan. Pertama, Trump dapat memilih untuk mengedepankan dialog yang lebih terbuka dengan para pemimpin intelijen. Jika ia mampu mengakui peran penting lembaga-lembaga intelijen dalam menjaga keamanan nasional, hal ini dapat menciptakan suasana yang lebih positif dan mengurangi ketegangan. Dalam skenario ini, kita mungkin akan melihat peningkatan kerjasama antara lembaga eksekutif dan komunitas intelijen yang pada gilirannya dapat memperkuat keamanan nasional AS.

Kedua, ada kemungkinan bahwa Trump akan tetap skeptis terhadap laporan intelijen yang tidak sejalan dengan pandangannya. Jika ia merasa bahwa analisis intelijen mengancam agenda politiknya, ia mungkin akan merespons dengan menolak atau mendiskreditkan laporan tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan ketegangan yang berkelanjutan dan menghambat proses pengambilan keputusan yang berbasis data.

Ketiga, dengan meningkatnya penggunaan media sosial, narasi "deep state" dapat terus disebarluaskan dan diperkuat oleh pendukung Trump. Hal ini dapat menciptakan suasana ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap institusi pemerintah dan memperdalam perpecahan partisan dalam masyarakat. Jika hal ini terjadi, dialog konstruktif akan semakin sulit dicapai dan tantangan untuk mencapai konsensus dalam isu-isu penting akan semakin besar.

Dengan semua pertimbangan ini, narasi "deep state" pada periode kedua Trump (2025-2029) akan menjadi ujian demokrasi bagi negeri Paman Sam. Publik AS ke depan akan dihadapkan pada pilihan untuk lebih solid dalam menjaga integritas demokrasi dan kepercayaan terhadap institusi pemerintah atau justru terjebak dalam narasi "deep state" seri kedua yang semakin memecah belah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun