Kedua, ada kemungkinan bahwa Trump akan tetap skeptis terhadap laporan intelijen yang tidak sejalan dengan pandangannya. Jika ia merasa bahwa analisis intelijen mengancam agenda politiknya, ia mungkin akan merespons dengan menolak atau mendiskreditkan laporan tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan ketegangan yang berkelanjutan dan menghambat proses pengambilan keputusan yang berbasis data.
Ketiga, dengan meningkatnya penggunaan media sosial, narasi "deep state" dapat terus disebarluaskan dan diperkuat oleh pendukung Trump. Hal ini dapat menciptakan suasana ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap institusi pemerintah dan memperdalam perpecahan partisan dalam masyarakat. Jika hal ini terjadi, dialog konstruktif akan semakin sulit dicapai dan tantangan untuk mencapai konsensus dalam isu-isu penting akan semakin besar.
Dengan semua pertimbangan ini, narasi "deep state" pada periode kedua Trump (2025-2029) akan menjadi ujian demokrasi bagi negeri Paman Sam. Publik AS ke depan akan dihadapkan pada pilihan untuk lebih solid dalam menjaga integritas demokrasi dan kepercayaan terhadap institusi pemerintah atau justru terjebak dalam narasi "deep state" seri kedua yang semakin memecah belah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H