Mohon tunggu...
Fahimatus Solikhah
Fahimatus Solikhah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Perempuan yang mencari rumah untuk perkara hati

Selanjutnya

Tutup

Diary

Essay Pengalaman KKN

17 Februari 2023   16:03 Diperbarui: 17 Februari 2023   16:16 3620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

      Sepotong Hati di Pucanglaban 

Seperti Kata Dhonny Dhirgantoro dalam novel best sellernya "5 Cm", bahwasanya hati manusia adalah potongan-potongan yang penuh akan keajaiban. Dan sepotong keajaiban hati saya tertinggal di sini, di desa Pucanglaban, Tulungagung. Melalui tulisan ini, akan saya tuangkan sepenggal cerita 35 hari penuh kenangan di desa yang ajaib ini. Perihal suka dan luka, cinta dan romansa, senyum dan air mata, dan tentunya sesuatu yang berhasil menguasai hati dan mendominasi arah pandang Saya.

Sebelumnya perkenalkan nama saya Fahimatus Solikhah yang biasa dipanggil Fahim dari jurusan Tadris Matematika UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Seorang perempuan yang dilahirkan di Sidoarjo dan menginjakkan kaki di tanah Tulungagung saat memasuki perkuliahan, melangkah jauh dari rumah dan tinggal di kota orang. Atmosfir yang begitu berbeda, terasa asing, namun lucunya Saya menjadi jatuh cinta dengan Kota yang dijuluki Kota marmer ini.

Singkat waktu, tahun demi tahun berlalu dan semester perkuliahan berjalan dengan semestinya. Sampai pada akhirnya Saya mulai memasuki fase perkuliahan yang kata orang, adalah fase rawan cinlok. Namun ternyata hidup seatap selama 24 jam dalam sebulan bukan hanya menciptakan romantisme percintaan. Sebuah rasa saling memiliki, saling bergantung dan saling melindungi memunculkan sebuah perasaan yang berbeda. Yang awalnya asing telah menjadi keluarga. Persahabatan telah tumbuh di tengah sulitnya hidup bersama di atap orang.

19 Januari 2023, hari pertama memasuki posko KKN Pucanglaban 1. Udara yang baru, suasana yang canggung, lingkungan yang sama sekali berbeda, rasanya seperti manusia yang terseret ombak dan terdampar di pulau asing bersama manusia-manusia asing lainnya. Dengan 30 teman perempuan dan 10 teman pria, Kami berusaha dalam memahami sifat satu sama lain dan menyesuaikannya. 

Salah satu hal yang saya syukuri selama di sini adalah masyarakatnya yang "welcome" dan bersahabat. Penjual toko depan posko yang hampir setiap malam bangku depannya tidak pernah kosong karena dipenuhi teman-teman (terutama Saya sendiri) bercengkrama sambil memakan es krim. 

Mbak Dwi yang kamar mandi rumahnya selalu 'Ready' untuk pelarian teman-teman saat air di posko habis, Ikut memipil jagung saat antri mandi, bermain dengan Ainun yang merupakan putri cantiknya mbak Dwi, menertawakan sepeda yang terbang, hingga makan pisang bersama di teras rumah menunggu hujan reda. 

Yang ketiga ada mbak Nurul, ibu loundry kesayangan anggota KKN Pucanglaban 1 karena mengikhlaskan kamar mandinya untuk ditempati mandi, dan tentu karena jasanya yang meringankan kehidupan KKN karena membuka loundry di desa yang sedikit sukar air ini. Dan yang terakhir adalah Bu Mutingah, yang telah menjadi ibu kedua Kita selama KKN.

Suatu hal yang berhasil membuat saya untuk pertama kalinya menangis di desa Pucanglaban saking bahagia dan ... ( Speechless ) adalah langitnya yang cerah. Untuk pertama kalinya dalam hidup selama 20 tahun bisa melihat bintang sebanyak dan seterang ini. Tidak pernah bosan setiap malam memandang ke langit untuk sekadar menyapa sang bintang. Kunang-kunang yang terakhir kali saya lihat di umur belasan tahun tiba-tiba lewat dengan cahaya di ekornya, seakan mengucapkan selamat datang di desa Pucanglaban. Sayangnya, sepertinya langit Pucanglaban lebih bersahabat dengan hujan daripada bintang.

Berbicara sedikit mengenai desa tempat tinggal KKN kami, Pucanglaban sendiri merupakan desa yang nuansa alamnya masih terjaga. Jalanan seperti roller coaster dari aspal yang mulai tidak mulus, pohon kelapa dan tanaman jagung di kanan kiri memberikan vibes daerah pegunungan yang asri. Namun dari sekian banyaknya suguhan alam yang menyegarkan mata, favorit Saya adalah pantai yang merupakan potensi luar biasa desa Pucanglaban. 

Dari pantai pacar, pantai kedung tumpang, pantai molang dan lainnya, hati saya tertuju pada hidden beachnya Pucanglaban, pantai lumbung. Akses ke pantai lumbung sendiri bisa dibilang masih jarang terjangkau, jalan kecil berkerikil seperti mendaki gunung memaksa kita harus berjalan kaki untuk bisa sampai di pantai. Tanah yang basah karena sering terguyur hujan menjadikan jalanan licin mengharuskan untuk selalu awas. 

Namun semua terbayar ketika suara ombak mulai terdengar, bayangan ombak yang bergulung naik ke permukaan mulai terlihat, dan air di pantai mulai menyilaukan mata. Kemudian aku percaya, pantai lumbung adalah surganya Pucanglaban.

Desa yang masih tercium asrinya, tidak heran bahwasanya di sini masih sedikit kental akan budaya mistisme di era modernisasi. Seperti kata pepatah "Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung", kita harus menghormati pantangan-pantangan yang berlaku di sini.  Diantara angin yang berhembus pelan dan suara daun pohon bergesekan dengan tenang, ada kegelapan yang selalu menunggu di setiap matahari terlelap. Suara-suara mengaji terdengar di antara lampu-lampu jalan yang masih terlihat jarang. Tidak akan tertulis banyak perihal cerita mistis di sini, karena setiap tempat dihuni sesuatu yang baru, bukan hal aneh lagi jika penghuni lama datang menyapa. 

Dari segi simbiosis pertemanan, tentunya berbagai warna telah tercoret dalam gambaran ini. Bermacam-macam kepala dan berbagai sifat disatukan dalam satu atap. Dari yang punya slogan "Ga mood" sampai slogan "Sedih aku", dari yang pemalu sampai yang kentut di tengah rapat, dari yang selalu loundry sampai yang setiap hari jalan kaki ke sumber air untuk mencuci pakaian, semua watak digambar dalam satu gambaran, menjadikan rangkaian sketsa yang lengkap. Yang kemudian, rangkaian sketsa itu diwarnai dengan kenangan selama hidup bersama, lempar-lemparan lumpur setelah hujan, munculnya produk nasi cap kaki kujang, bioskop dadakan di tengah malam, duta es krim, karaoke dalam posko, memancing kepiting, dan kenangan-kenangan lain yang tidak bisa saya tuliskan semua di sini.

Sepotong hati saya yang lain tertinggal di SDN 3 Pucanglaban, hampir setiap hari menginjakkan kaki di SDN 3 Pucanglaban, memberi kenyamanan dan kerinduan yang tiba-tiba tumbuh. Siswa siswinya yang berlarian menyambut ketika memasuki kawasan Sekolah, bermain bersama, menggambar, mengerjakan tugas, bimbingan olimpiade, pelukan dari belakang, senyum cerah saat kami memasuki kelas, tangan kecil mereka yang menarik saya untuk menghampiri temannya yang menangis, semua terekam jelas dalam ingatan Saya. 

Surat-surat yang terkumpul dari tangisan siswi kelas 1 saat kami berpamitan tersimpan rapi dalam kotak kenangan Saya. Untuk Bu Miyem, Pak Wahyu dan guru-guru lainnya yang selalu siap membantu kami, terima kasih telah menjadi seseorang yang menjelma menjadi orang tua, teman curhat, serta guru dalam satu waktu.

Ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup untuk semua kenangan dan pengalaman yang Saya terima. Karena itu izinkan saya meninggalkan sepotong hati saya di sini, di Dusun Apakbranjang Pucanglaban. Izinkan saya membungkus sepenggal kenangan 35 hari ini dalam tulisan singkat yang saya persembahkan untuk diri Saya sendiri. Masa yang tidak akan bisa diulang, hanya mampu dikenang. Terimakasih Pucanglaban.

Pucanglaban, Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun