Mohon tunggu...
Fahimatus Solikhah
Fahimatus Solikhah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Perempuan yang mencari rumah untuk perkara hati

Selanjutnya

Tutup

Diary

Essay Pengalaman KKN

17 Februari 2023   16:03 Diperbarui: 17 Februari 2023   16:16 3620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Namun semua terbayar ketika suara ombak mulai terdengar, bayangan ombak yang bergulung naik ke permukaan mulai terlihat, dan air di pantai mulai menyilaukan mata. Kemudian aku percaya, pantai lumbung adalah surganya Pucanglaban.

Desa yang masih tercium asrinya, tidak heran bahwasanya di sini masih sedikit kental akan budaya mistisme di era modernisasi. Seperti kata pepatah "Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung", kita harus menghormati pantangan-pantangan yang berlaku di sini.  Diantara angin yang berhembus pelan dan suara daun pohon bergesekan dengan tenang, ada kegelapan yang selalu menunggu di setiap matahari terlelap. Suara-suara mengaji terdengar di antara lampu-lampu jalan yang masih terlihat jarang. Tidak akan tertulis banyak perihal cerita mistis di sini, karena setiap tempat dihuni sesuatu yang baru, bukan hal aneh lagi jika penghuni lama datang menyapa. 

Dari segi simbiosis pertemanan, tentunya berbagai warna telah tercoret dalam gambaran ini. Bermacam-macam kepala dan berbagai sifat disatukan dalam satu atap. Dari yang punya slogan "Ga mood" sampai slogan "Sedih aku", dari yang pemalu sampai yang kentut di tengah rapat, dari yang selalu loundry sampai yang setiap hari jalan kaki ke sumber air untuk mencuci pakaian, semua watak digambar dalam satu gambaran, menjadikan rangkaian sketsa yang lengkap. Yang kemudian, rangkaian sketsa itu diwarnai dengan kenangan selama hidup bersama, lempar-lemparan lumpur setelah hujan, munculnya produk nasi cap kaki kujang, bioskop dadakan di tengah malam, duta es krim, karaoke dalam posko, memancing kepiting, dan kenangan-kenangan lain yang tidak bisa saya tuliskan semua di sini.

Sepotong hati saya yang lain tertinggal di SDN 3 Pucanglaban, hampir setiap hari menginjakkan kaki di SDN 3 Pucanglaban, memberi kenyamanan dan kerinduan yang tiba-tiba tumbuh. Siswa siswinya yang berlarian menyambut ketika memasuki kawasan Sekolah, bermain bersama, menggambar, mengerjakan tugas, bimbingan olimpiade, pelukan dari belakang, senyum cerah saat kami memasuki kelas, tangan kecil mereka yang menarik saya untuk menghampiri temannya yang menangis, semua terekam jelas dalam ingatan Saya. 

Surat-surat yang terkumpul dari tangisan siswi kelas 1 saat kami berpamitan tersimpan rapi dalam kotak kenangan Saya. Untuk Bu Miyem, Pak Wahyu dan guru-guru lainnya yang selalu siap membantu kami, terima kasih telah menjadi seseorang yang menjelma menjadi orang tua, teman curhat, serta guru dalam satu waktu.

Ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup untuk semua kenangan dan pengalaman yang Saya terima. Karena itu izinkan saya meninggalkan sepotong hati saya di sini, di Dusun Apakbranjang Pucanglaban. Izinkan saya membungkus sepenggal kenangan 35 hari ini dalam tulisan singkat yang saya persembahkan untuk diri Saya sendiri. Masa yang tidak akan bisa diulang, hanya mampu dikenang. Terimakasih Pucanglaban.

Pucanglaban, Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun