Gelaran pilpres dan pileg serentak telah dilakukan pada 17 April 2019 di seluruh pelosok negeri. Proses pencoblosan akan berakhir pada pukul 13.00 waktu setempat, dan proses penghitungan suara baik pilpres maupun pileg akan dimulai setelah TPS ditutup. Yang menarik tentu penghitungan perolehan suara pilpres, karena pilpres kali ini seolah mengulang pilpres 2014 dimana kandidat capres yang bertarung masih sama, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Penyelenggaraan pencoblosan yang masih dilakukan secara manual menggunakan kertas suara, berimbas pada proses penghitungan perolehan suara yang juga harus dilakukan secara manual.Â
Akibatnya hasil perolehan suara tidak bisa diketahui hari ini juga, melainkan harus menunggu proses penghitungan selesai untuk seluruh TPS seluruh Indonesia. Tentu ini memakan waktu berhari-hari. Sementara publik tentu penasaran siapakah capres-cawapres yang unggul dalam perolehan suara.
Quick Count
Quick count yang diterjemahkan sebagai hitung cepat, dalam praktiknya menerapkan kaidah sampling, dengan kata lain quick count adalah survei. Sebagaimana pengertian sebuah survei, quick count dilakukan dengan mengambil sampel yang kemudian digunakan untuk melakukan estimasi terhadap parameter populasi. Dalam hal ini, hasil dari quick count disebut sebagai statistik dan hasil penghitungan real KPU sebagai parameter populasi.
Praktisnya, quick count mengambil TPS terpilih sebagai sampel dan dihitung peroleh suara pada TPS terpilih tersebut, kemudian hasil perolehan suara tersebut dilakukan untuk mengestimasi perolehan suara pada seluruh TPS di Indonesia. Sehingga diperoleh hasil yang lebih cepat siapa capres yang unggul dalam perolehan suara.
Quick count pertama kali digunakan untuk hitung cepat yaitu pada Pilpres 2004. Saat itu, hanya satu lembaga yang melakukan quick count yaitu LP3ES. Namun kini, banyak bermunculan lembaga survei yang melakukan quick count. Namun, tidak jarang hasil quick count antar lembaga survei kerap berbeda, bahkan perbedaanya cukup jauh, bahkan ada yang hasilnya berlawanan dengan lembaga survei lain.
Hasil Berbeda
Hasil quick count yang berbeda antar lembaga survei kerap menuai polemik dan disoal oleh kandidat yang kalah. Ingatan publik tentu belum hilang, saat hasil quick count beberapa lembaga survei menunjukkan hasil berbeda pada Pilpres 2014. Saat itu masing-masing lembaga survei mengklaim bahwa hasil lembaga surveinya yang paling benar dan sesuai kaidah statistik.
Hasil quick count dengan real count KPU sangat mungkin berbeda, bahkan bisa jauh bedanya. Lantas, ketika hasil quick count dan real count berbeda, apakah surveinya salah? Tidak selalu, karena secara teori kesalahan seperti itu sangat mungkin terjadi, walaupun peluangnya kecil. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. Bisa karena faktor teori, bisa juga karena malpraktik (moral hazard) yang dilakukan lembaga survei. Ini karena sejatinya statistik ibarat pisau bermata dua, bisa digunakan untuk kebaikan, bisa juga untuk melakukan kejahatan.
Ditinjau dari faktor teori, hasil yang berbeda antar lembaga survei dan juga hasil yang berbeda antara hasil quick count dan real count merupakan keniscayaan.Â
Hal ini karena pada pelaksanaan quick count terdapat 2 macam kesalahan (error), yaitu sampling error dan non sampiling error. Sampling error adalah kesalahan-kesalahan yang secara teori tidak dapat dihindarkan dan muncul akibat penggunaan metode sampling. Sementara itu, non sampling error adalah kesalahan yang tidak terkait dengan metode sampling yang digunakan, misal kesalahan atau bahkan kecurangan yang dilakukan oleh lembaga survei dalam melakukan quick count.
Walaupun hasil survei antar lembaga berbeda, seharusnya ketika hasil antar lembaga tersebut dirata-ratakan maka hasilnya akan sama atau mendekati hasil real count. Asalkan survei-survei tersebut dilakukan dengan menerapkan kaidah contoh acak (random sample). Ini dikenal dengan sifat statistik tak bias (unbiased).
Anehnya, pada 2014, masing-masing lembaga survei mengklaim bahwa survei yang dilakukan telah menerapkan kaidah survei yang benar, dan juga surveinya berbasis contoh acak (random sample). Tapi hasil surveinya ada yang berlawanan hasil dengan lembaga survei lain. Inilah yang kemudian mendasari KPU melakukan verifikasi terhadap lembaga survei yang akan melakukan quick count pada Pilpres 2019 kali ini. Harapannya, hasil quick count yang dilakukan oleh masing-masing lembaga survei ini hasilnya akan konvergen ke hasil real count nantinya.
Tercatat KPU telah melakukan verifikasi terhadap 33 lembaga survei penyelenggara quick count Pilpres 2019. Langkah KPU ini patut diapresiasi, agar hasil quick count tidak kembali menjadi polemik di ranah publik.
Manfaat Quick Count
Walaupun kerap memberikan hasil yang berbeda, bahkan selalu berbeda, quick count tetap saja memberikan manfaat bagi publik. Manfaat pertama tentunya untuk menjawab rasa penasaran publik siapa capres-cawapres yang unggul dalam perolehan suara. Sekali lagi dengan catatan quick count dilakukan dengan kaidah statistik yang benar.
Manfaat berikutnya, quick count dapat menjadi kontrol bagi KPU agar bekerja secara serius dan jujur dalam melakukan penghitungan suara secara real count, mengingat real count lah yang dijadikan dasar penentuan pemenang pilres. Kalaupun terjadi perbedaan antara quick count dan real count yang cukup mencolok, tentu harus bisa dipertanggunjawabkan dan terjelaskan.
 Tak kalah pentingnya manfaat bagi masyarakat adalah masyarakat menjadi melek terhadap statistik. Masyarakat menjadi faham bahwasanya quick count sejatinya merupakan kaidah ilmiah, yang walaupun masih mengandung kesalahan (error) namun sangat berguna dan bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Adanya hasil quick count yang valid menjadi pegangan bagi masyarakat agar tidak percaya dengan praktik hoax maupun mitos terkait penghitungan perolehan suara. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H