Tiba-tiba, seorang lelaki tua yang tampaknya sudah lanjut usia, dengan jubah putih bersih dan sorban di kepalanya, mendekati mereka. Wajahnya tenang, dan matanya penuh kebijaksanaan. Ia tak sengaja mendengar percakapan kedua jama’ah haji tersebut.
"Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu," katanya dengan suara lembut namun tegas. "Saya mendengar sedikit perdebatan kalian mengenai ziarah ke makan Nabi dan ibadah haji."
Haikal dan Reza terdiam, lalu menoleh ke arah lelaki tua itu. Reza, yang sudah sering berinteraksi dengan orang-orang berilmu di Tanah Suci, tersenyum sopan. "Kami hanya sedikit berbeda pandangan, Pak. Saya berpendapat bahwa fokus utama haji adalah ibadah itu sendiri, sementara teman saya merasa ziarah ke makam Nabi adalah hal yang tidak boleh dilewatkan."
Lelaki itu mengangguk, memperhatikan mereka berdua dengan penuh perhatian. "Saya mengerti kebingungannya," katanya. "Memang, haji adalah perjalanan spiritual yang sangat personal. Setiap orang datang dengan niat dan harapan yang berbeda. Namun, izinkan saya memberikan pandangan."
Haikal mendekat, merasa tertarik dengan apa yang akan dijelaskan oleh lelaki tua tersebut. "Tentu, Pak. Saya ingin mendengarnya."
Lelaki itu tersenyum bijak. "Saya telah beribadah haji berkali-kali, dan saya bisa merasakan bahwa setiap orang yang datang memiliki cara tersendiri dalam mendekatkan diri kepada Allah. Ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW adalah sebuah kesempatan, tetapi jangan pernah menjadikannya sebagai tujuan akhir. Ingat, Nabi kita lebih mengutamakan amal dan niat yang tulus. Makamnya adalah tempat untuk kita mendoakan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita meneladani akhlak dan ajarannya."
Reza mengangguk setuju. "Benar, Pak. Itulah yang selalu saya coba pahami dalam setiap ibadah haji saya."
Haikal terdiam sejenak, lalu memulai pembicaraan."Namun Pak, saya pernah mendengar di suatu kajian seorang ustadz yang cukup terkenal, bahwa ada hadits nabi yang mengatakan “Barang siapa yang menunaikan haji ke Baitullah dan tidak berziarah maka ia telah menjauhiku.” Apakah benar itu Pak? Sedangkan kata bapak kita harus fokus pada tujuan utama ibadah haji. Lalu bagaimana jika ada orang yang terlalu fokus dengan ibadah hajinya hingga ia lupa untuk berziarah ke makam Nabi?"
"Jadi begini, mengenai hadits yang kamu dengarkan waktu itu, hadits tersebut merupakan hadits yang dhoif bahkan palsu. Hadits dhoif tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Banyak orang yang salah pemahaman mengenai hadits ini terutama orang-orang awam. Mereka mengira bahwa ziarah ke makam Nabi merupakan suatu kewajiban, ini adalah sebuah kesalahan karena ziarah ke makam Nabi tidak termasuk dalam rukun haji, wajib haji atau sunnah haji. Akan tetapi jika ada jama’ah haji yang menyempatkan berziarah ke makam Nabi itu Sunnah hukumya, namun tidak menjadi syarat sah haji. Dengan tujuan berziarahnya adalah untuk mengingat jasa dan perjuangan Nabi Muhammad, sekaligus salah satu bukti kecintaan kita kepada kekasih Allah. Sedangkan ibadah haji itu sendiri sebagai bentuk ketaatan dan ketulusan hambanya kepada sang pencipta, tentang pengorbanan dan juga persatuan umat. Yang paling utama adalah bagaimana kita menjalani ibadah dengan sepenuh hati. Jika kita ikhlas, maka Allah akan memberikan berkah lebih dari sekadar tempat yang kita ziarahi. Haji adalah perjalanan jiwa yang lebih dari sekadar tujuan akhir." Jawab Bapak itu panjang lebar menjelaskan.
Haikal memejamkan matanya sejenak, menyerap kata-kata itu. Seperti ada beban yang terangkat dari pundaknya. Ia tidak lagi merasa bahwa ziarah adalah hal yang harus didahulukan. Ia mulai memahami bahwa yang lebih penting adalah kesungguhan hatinya dalam beribadah.
Lelaki tua itu tersenyum, memberi mereka isyarat untuk melanjutkan ibadah mereka. "Semoga perjalanan haji kalian diberkahi, anak-anakku. Ingatlah, Allah melihat hati yang ikhlas, bukan hanya langkah yang kita ambil."