Di tengah hiruk-pikuk pelataran Masjidil Haram, dua jamaah haji berdiri di dekat pintu masuk, masing-masing tenggelam dalam pemikiran mereka. Masing-masing membawa beban batin yang tak terlihat oleh banyak orang, namun jelas terasa. Haikal, pria muda yang baru pertama kali menunaikan haji, tampak gelisah. Wajahnya penuh semangat, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tak bisa duduk tenang. Sedangkan Reza, jamaah haji yang sudah beberapa kali datang, berjalan dengan penuh ketenangan, meskipun terlihat ada kerut kekhawatiran di dahinya.
Haikal memulai percakapan dengan penuh semangat. "Reza, aku merasa seperti hampir tidak percaya, akhirnya aku bisa berada di sini! Setelah selesai haji, aku ingin langsung menuju Madinah. Ada sesuatu yang begitu kuat yang memanggilku untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Aku yakin itu akan memberikan kekuatan luar biasa untuk hatiku!"
Reza menatap Haikal dengan tajam. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya kali ini. "Kal, aku mengerti semangatmu. Tapi... kamu tidak merasa itu akan mengalihkan fokusmu dari ibadah haji yang sesungguhnya?" ujarnya, nada suaranya terdengar lebih dalam, seolah menyembunyikan sesuatu.
Haikal terkejut mendengar ketegasan Reza. "Apa maksudmu?" tanyanya, sedikit bingung. "Bukankah ziarah itu penting? Untuk lebih dekat dengan Rasulullah, mengenang perjuangan beliau?"
Reza menarik napas panjang. "Kal, kadang kita terjebak dalam obsesi akan tempat-tempat yang suci, tanpa menyadari bahwa itu bisa mengalihkan kita dari inti ibadah yang sesungguhnya. Haji itu bukan tentang tempat, tapi tentang bagaimana kita menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Berziarah itu baik, tapi fokus kita harusnya pada haji yaitu mencapai ketenangan batin di Arafah, tawaf dengan penuh khusyuk, bukan sekadar mengunjungi makam-makam."
Suasana di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih berat, seperti ada angin yang mendingin di tengah teriknya cuaca. Haikal menatap Reza dengan mata terbuka lebar. "Kau bicara seolah haji itu bukan tentang ziarah sama sekali. Seolah segala hal tentang tempat-tempat itu tidak berarti! Tapi aku rasa itu adalah bagian dari perjalanan spiritual kita."
Reza menggelengkan kepala, suaranya berubah serius. "Haikal, aku pernah melihat orang yang sangat fokus pada ziarah, sampai akhirnya mereka kehilangan tujuan sebenarnya. Mereka mengunjungi makam, tetapi jiwanya kosong. Mereka mencari kedekatan dengan Nabi, tetapi justru menjauh dari Allah. Haji bukan tentang tempat-tempat itu. Itu adalah tentang membenahi hati kita, tentang perjuangan untuk menyucikan diri."
Haikal merasakan ketegangan di antara mereka. "Jadi, menurutmu, kita tidak boleh berziarah sama sekali? Apa hanya dengan berfokus pada ibadah haji kita akan mendapatkan kedekatan dengan Allah?" tanyanya, suara mulai bergetar.
Reza mendekat, menatap tajam ke mata Ahmad. "Ini bukan tentang melarang atau tidak, Kal. Tapi aku pernah melihat orang-orang yang begitu mengagungkan tempat-tempat suci, sampai mereka melupakan esensi ibadah itu sendiri. Mereka melupakan bahwa ziarah pun tidak akan berguna jika hati mereka tidak bersih. Semua itu akan sia-sia jika kita tidak merenungi dan menjalani ibadah haji dengan benar dengan penuh ketulusan."
Suasana semakin mencekam. Kedua jamaah itu saling diam, menunggu jawaban yang tak kunjung datang. Ahmad merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya berputar dengan sangat cepat. Apa yang sebenarnya ia cari di Tanah Suci ini? Apakah ziarah benar-benar bisa mendekatkannya dengan Rasulullah, atau justru membuatnya terperangkap dalam pencarian yang salah?