Mohon tunggu...
Fajri Al-Mughni
Fajri Al-Mughni Mohon Tunggu... -

peduli Jambi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jelang Pemilu 2014

24 Maret 2014   03:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelang Pemilu 2014 "Harapan dan Kemungkinan"

Ceritanya begini, sebagai Warga Negara Indonesia yang berusaha taat terhadap negara, pemilu merupakan gelaran akbar yang harus kita sukseskan bersama. “Memilih” merupakan bentuk dari pernyataan taat terhadap Negara ini. Pemilu adalah hari raya terbesar bagi umat manusia di bumi ini. Referensinya adalah kitab undang-undang dan pancasila. Di Negara ini, tidak dikatakan melanggar hukum apabila penganutnya tidak mengikuti aturan kitab suci agamanya, sedangkan sebagai warga negara Indonesia apabila tidak mengikuti aturan undang-undang yang berlaku, maka akan berhadapan dengan hukum. Ini bermakna bahwa kita dituntut sedemikianrupa agar lebih peduli terhadap negeri ini melalui gelaran besar yang bernama pemilu dengan “memilih” wakil rakyat yang “baik”.

Pemilu hanya ada pada tahun politik. Iya, tahun politik itu akhirnya datang lagi. Menyambut tahun politik ini, hampir semua masyarakat berbahagia. Masyarakat mendadak cerdas, dan intelek. Di Jambi, Peralihan dari musim buah seperti durian, duku, dan rambutan menjadi musim baleho dan poto calon wakil rakyat. Bedanya adalah durian, duku dan rambutan berbuah pada ranting-ranting pohon, sedang baleho dan poto calon wakil rakyat pada batang pohon dan tiang-tiang listrik. Kita harus mengakui keberanian dari para calon wakil rakyat ini, yang rela mengorbankan tidak hanya jiwa, raga, harta, bahkan nyawa sekalipun. Merekalah yang akan melanjutkan perjuangan dari para nabi. untuk itu, saya merasa anak-anak Jambi dan umumnya Indonesia perlu di tatar agar lebih peduli terhadap persoalan dan masalah bangsa.

Bahagia itu milik bersama

Pemilu 2014 ini menjadi panggung untuk menebarkan kebahagiaan kepada rakyat. Bagaimana tidak, calon wakil rakyat menjelma menjadi malaikat. Tidak ada wajah murung, tidak ada sapaan tanpa senyuman, dan tidak ada kasta ketika calon wakil rakyat duduk lesehan bersama rakyat. Rasanya kami sebagai rakyat menginginkan pemilu disetiap bulannya. Sungguh pengharapan yang besar kepada para calon wakil rakyat ini. Apalagi rakyat dikejutkan dengan munculnya para tokoh yang datang bukan dari madrasah politik mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Ada rasa bertanya-tanya, rasa bangga, rasa kagum, terhadap perjuangan para tokoh ini. Yang saya takutkan ketika semua calon wakil rakyat berbuat seperti malaikat ini adalah munculnya rasa ketidaktegaan dalam hati dan berusaha menjaga konsep keadilan. Sehingga menimbulkan “aku tidak bisa menggembirakan hanya satu orang sementara yang lain aku bikin sedih. Maka pilihan ku ditempat penyontrengan adalah menggembirakan semuanya atau tidak samasekali”.

Harus kita akui, para caleg ini adalah manusia hebat. Hanya sedikit sekali orang yang mau berjuang mati-matian seperti caleg-caleg ini. Bahasa yang tepat untuk memberikan sanjungan kepada para caleg ini adalah “aku bangga padamu”. Mereka tidak main-main dalam mencalonkan diri, hal tersebut jelas terlihat ketika mereka rela mengorban uang, bahkan tidak dalam jumlah yang sedikit, walaupun terkadang juga diluar kemampuan mereka. Mereka tidak hanya mengorbankan dunia demi rakyat, tetapi mereka juga rela hidup berpiutang. Subhanallah.. “aku bangga pada mereka para calon wakil rakyat”.

Saya tidak ingin para calon wakil rakyat ini kecewa, saya juga tidak ingin suatu saat nanti mereka di bui gara-gara mereka “khilaf”. Saya memahami bahwa rumah mereka nanti (calon wakil rakyat) pasti tidak memiliki anti virus yang kuat, juga tidak terdapat software untuk memahami kekhilafannya itu. saya merasa tersentuh untuk memberikan software itu kepada para calon wakil rakyat ini. Namun apa daya, saya adalah manusia yang penuh dengan rasa tidak percaya diri. Berbeda dengan mereka sangat penuh dengan rasa percaya diri.

Muqoddimah Politik dan Dangdut.

Ada pertanyaan yang timbul, seberapa banyak orang yang suka atau sebaliknya terhadap politik? Dan, mengapa orang-orang sekarang seolah-olah “tak suka dangdut” (padahal suka)? Jawabannya banyak yang tak suka politik, tapi massanya banyak. Anda ikut bermain curang, sama juga artinya anda ber-politik. Karena menurut saya berpolitik itu sama dengan bermain, jika bermain dengan cara“skewet”(curang), nah itulah yang saya sebut dengan berpolitik era ini. Saya katakan begitu karena makna dan tujuan politik itu sudah mengalami perubahan, tadinya sih politik demi kita semua (rakyat), itu merupakan tujuan murni dan pahala. Sama halnya dengan berpolitik untuk Umat, Agama, Rakyat, dan sebagainya. Tapi tidak dengan politik sekarang ini, politik itu sudah bukan untuk kita lagi, tapi untuk kepentingan mereka-mereka yang bermain saja.

Tulisan ini hanya merupakan bentuk dukungan terhadap orang-orang yang mengiginkan kembalinya politik sehat yang seperti diterapkan Nabi Muhammad, dan sebagai ungkapan rasa sedih terhadap politik yang sejatinya adalah jihad, tapi berubah menjadi jahad. Pada satu kesempatan saya ikut hadir dalam acara doa bersama keberangkatan Umroh pak Anas, ada yang nyeletuk “ah itu bukan Politik, tapi Policik”! saya tersenyum bahagia mendengar itu, saya merasakan ucapan itu seolah mengatakan kalau suara saya bagus menyanyikan lagu dangdut, (saya bahagia). Bagi sebagian orang politik itu menjijikan, merugikan, dan menyengsarakan. Begitu juga ada yang bilang, dangdut itu kampungan, murahan, musiknya anak-anak katrok dan ketinggalan zaman. Mereka yang tidak mengenal akan hakekat politik, kemudian melihat politik seperti sekarang yang sedang bermain, maka ucapan tersebutlah yang keluar. Dengan adanya opini bahwa dangdut adalah kampungan, katrok dan semacamnya, maka terjadinya pe-modernan terhadap dangdut yang kemudian malah menghilangkan identitas dangdut itu sendiri.

Jika kita berideologi untuk memilih jalan politik dan mengatasnamakan agama, saya berharap bahwa kita harus benar-benar menyiapkan mental untuk mengatakan bahwa agama itu mengajarkan politik yang sudah kita terapkan. Penelitian dangkal yang sudah saya lakukan, saya mendapati bahwa politik di Jambi tidak“sesehat dan sejalan”dengan ideologi dan cita-cita politik Islam. Dan saya kira politik di Indonesia memang tidak sehat.

Sekarang coba kita kaitkan dengan dangdut, jika kelakuan politik kita tidak lagi sehat, maka sama halnya dengan dangdut yang sekarang sedang berkembang menjadi dangdut modern. Untuk menjawab pertanyaan mangapa ada sebagian orang yang seolah-olah tak suka dangdut (padahal suka)?. Karena memang manusia zaman sekarang banyak yang“berkata iya tapi tidak”atau sebaliknya. Mungkin bisa dikatakan“almunafiquun”dalam artian secara bahasa saja. Menurutku dangdut yang ngetren sekarang bukanlah dangdut yang sebenarnya, sangat tak enak dilihat, didengar, tak bisa dinikmati, dan bisa mengacaukan Iman.

Jujur saja, suara vocal saya menyanyikan lagu-lagu dangdut cukup bagus dan cengkoknya juga pas. (walaupun sampai saat ini belum ada yang mengakui hal itu). Ber-politik sama nikmatnya dengan ber-dangdut. Namun, ber-politik akan menjadi tak sedap apabila politik diberi bumbu dengan kelicikkan pedas yang mengatasnamakan kebenaran, agama, dan atasnama rakyat. Namun pada kenyataanya tidak begitu. Bumbu yang sudah dicampur-campur ini yang kemudian dimakan oleh rakyat. Jadi sekarang banyak rakyat mencari air minum untuk ngilangin pedas. Begitu juga dangdut, saya sebagai pecinta dangdut sangat kecewa dengan bermunculannya dangcik (dangdut licik) yang bertopengkan dangdut modern. Nah, dapat disimpulkan bahwa dangdut dan politik sama-sama sudah mengalami perubahan, dari yang tadinya bertujuan untuk maslahah dan menghibur, berubah menjadi masalah dan mengubur rasa cinta terbahadap dangdut. Duo ini sangat berpengaruh terhadap harmonisasi Islam Indonesia, karena massa dangdut dan massa politik tergolong banyak, saya yakin para pecinta dangdut tak suka politik, tapi para pemain politik banyak yang suka dangdut, apalagi dangdut modern.

Sekarang saya mengajak anda-anda semua, marilah berdoa dan berusaha untuk memperbaiki politik dan dangdut. Memperbaiki politik harus dengan politik itu sendiri, begitu juga untuk memperbaiki dangdut wajid dengan dangdut. Tidak juga harus berhenti dari politik dan berhenti berdangdut, mungkin cobalah berhenti untuk menghalalkan segala cara demi menghalalkan politik yang tidak benar itu. Begitu juga dengan dangdut, berhentilah berdangdut yang jelas-jelas merusak hati, pikiran dan Iman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun