Indonesia dikenal sebagai negara multikultur yang memiliki keragaman suku, budaya dan agama. Magetan sebuah kabupaten yang terletak di lereng Gunung Lawu dengan 691.939 jumlah penduduk, memiliki ragam kepercayaan. Tidak  hanya Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Budha, tapi juga Hindu.
Semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Hindu mengajarkan Ahimsa tidak boleh menyakiti dan membunuh, Â Budha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh umat yang ada di alam bumi ini (Rahmatan lil `Alamin).Â
Dan setiap kearifan budaya lokal di Indonesia memiliki nilai-nilai luhur yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi terhadap kehidupan manusia. Perbedaan ini membuat kebiasaan yang dilakukan setiap daerah berbeda sehingga menciptakan budaya yang berbeda-beda pula, inilah yang mendasari Indonesia menjadi bangsa yang kaya akan keberagaman budaya.
Intoleransi menjadi topik hangat yang dibicarakan di tengah carut-marutnya negeri ini. Intoleransi merupakan aksi menolak sesuatu yang berbeda, atau merasa bahwa dia/golongannya merasa paling benar daripada yang lainnya. Berdasarkan penelitian ada faktor yang paling dominan yang mendahului faktor yang lain yaitu perbedaan keyakinan etnik, status sosial ekonomi, kecemburuan, beda keyakinan dan lain sebagainya menjadi awal munculnya paham intoleransi.
Banyak  daerah yang mampu hidup damai walau dengan keberagaman suku dan agama. Namun, hal baik semacam  ini  luput dari pemberitaan, entah karena dianggap biasa atau tak semenarik kisruh intoleransi. Mengapa kita selalu mengutuk kegelapan dan tak mencoba menyalakan lilin harapan? misalnya melalui kearifan lokal/tradisi lokal di daerah yang mampu meredam intoleransi dan menyatukan keberagaman.
 Kearifan local melalui structural social dan budaya yang ada di kabupaten magetan dibuktikan dengan adanya tradisi "Ledug Suro (Lesung Suro Bedhug Muharram).Â
Ledug Suro merupakan perayaan dalam rangka memperingati tahun baru islam (hijriyah) atau yang biasa dikenal perayaan Bulan Suro oleh masyarakat jawa. Kegiatan ini dilaksanakan selama 1 minggu sebelum tahun baru islam, diisi dengan berbagai kegiatan yang diikuti oleh sanggar seni yang ada di kabupaten Magetan. Selain pertunjukkan dari sanggar seni juga ada reog, bazar pasar suro, wayang kulit dan kegiatan yang lainnya.Â
Puncak dari perayaan ini ialah "Ngalab Berkah Bolu Rahayu" ngalab sendiri memiliki arti rebutan. Masyarakat dari berbagai kalangan tua, muda, kaya, kurang mampu, beda agama sangat antusias dalam rebutan roti bolu yang dipercaya oleh masyarakat sekitar mampu membawa keberkahan dan keberuntungan bagi siapa yang mengikuti dan mendapatkan roti bolu.
Roti bolu merupakan makanan khas magetan yang berbentuk oval mempunyai rasa yang manis. Dalam perayaan ledug suro, ada  ratusan bahkan ribuah roti bolu yang di susun sedemikian rupa dalam bentuk lesung, bedug, gunung dan lainnya. Roti bolu ini diproduksi oleh industri rumahan yang ada di Kabupaten Magetan. Roti bolu yang sudah disusun kemudian dikirab dari kediaman Bupati magetan menuju GOR Ki Mageti.
Ledug merupakan kolaborasi musik antara lesung dan bedhug yang menghasilkan alunan musik tradisional, sebagai cerminan jati diri dan kehidupan sehari-hari masyarakat Magetan.Â
Perayaan Ledug Suro tak lepas dari Mamit Slamet (Alm) dan teman-temannya yang merupakan penggagas kesenian ini. Pada tahun 2000-an beliau memunculkan ide kreatif kesenian lokal dan mendapat respon positif dari pemerintah Kabupaten Magetan, Â yang kemudian dijadikan icon kabupaten yang terletak di propinsi Jawa Timur paling barat tersebut. Â
Seperti yang kita ketahui, lesung merupakan alat yang berbentuk seperti perahu kecil digunakan untuk menumbuk padi (proses dari gabah menjadi beras). Selain itu ada makna tersembunyi dibalik lesung, yaitu sebagai alat hiburan. Para penutu/penumbuk padi saling bercengkrama dan canda tawa satu sama lain  sambil mendengar alunan suara dari alu lesung.Â
Pada zaman dahulu jika lesung sudah berbunyi masyarakat berbondong-bondong untuk mendatangi sumber suara lesung tersebut. Mereka saling bergantian menutu padi, dan sebagiannya saling membantu apa yang perlu dikerjakan. Oleh karena itu, lesung menjadi sarana untuk memperkuat persatuan dan kesatuan, serta rasa saling membantu yang diwujudkan dengan gotong royong.
Sedangkan bedhug merupakan alat komunikasi tradisional sebagai tanda dimulainya waktu sholat. Bedhug ini berbentuk gendang besar yang apabila dipukul mengasilkan suara bass.
Kesenian ledug dapat merajut keberagaman dan menangkal intoleransi. Hal ini dibuktikan dengan makna yang terkandung dalam ledug yang berisi nilai-nilai kemanusiaan, gotong royong, saling menghargai satu sama lain yang dituturkan melalui sandiwara, maupun pertunjukkan wayang. Selain itu, ledug juga mempersatukan antara kebudayaan jawa dan perayaan hari besar islam yang dirangkai dalam sebuah tradisi lokal.Â
Perayaan ini dipersembahkan untuk berbagai lapisan masyarakat yang tidak memandang latar belakang. Sikap saling meghormati dan menghargai tentunya sudah melekat dalam jiwa masyarakat Magetan.
Selain itu, ledug juga mengandung pesan bahwa manusia dalam menjalani hidup saling membutuhkan satu sama lain, atau biasa dikenal makhluk sosial. Dan kurang lengkap rasanya jika  hidup  hanya berhubungan dengan manusia saja, tentunya harus berhubungan dengan Tuhan.
Mengingat begitu banyak pesan dari tradisi Ledug Suro, sudah sepatutnya kita melestarikan dan menjaga keberagaman ini dengan saling menghormati dan menghargai orang lain. Hal ini tak lain untuk menjauhkan kita dari sikap intoleransi yang dapat memecah belah persatuan yang telah terjalin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H