Berbicara mengenai sexual harassment atau pelecehan seksual terhadap kaum hawa dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang peradaban umat manusia. Data Komnas perempuan mengemukakan jumlah tingkat kekerasan seksual yang menimpa perempuan masih sangat tinggi. Bentuk-bentuk kekerasan seksual sendiri sangat banyak bukan hanya perkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga saja, tetapi kekerasan seksual juga meliputi perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang dan tindakan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan fungsi reproduksi yang dilakukan secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi gender dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Tidak hanya kekerasan fisik saja yang banyak terjadi tetapi seiring berkembanganya teknologi kekerasan nonfisik juga menjadi momok yang menakutkan dalam kehidupan, terlebih lagi bagi perempuan. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan yang dirilis setiap 8 Maret, tercatat jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan sepanjang tahun 2020 sebanyak 299.911 kasus di Indonesia.
Namun, jika dilihat dari fakta yang ada menujukkan bahwa banyak sekali korban-korban kekerasan seksual yang tidak mau melapor dikarenakan adanya ancaman dari pelaku yang ditujukan kepada korban dan sisi juga adanya budaya victim blaming. Sikap menyalahkan korban yang selama ini ada merupakan anggapan bahwa kekerasan seksual sepenuhnya tidak terjadi karena kesalahan pelaku, namun hal itu juga merupakan kesalahan korban yang sering dinilai mengundang para pelaku untuk melakukan hal tidak diinginkan korban yaitu tindakan seksual.
RUU PKS atau yang biasa kita kenal dengan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual secara resmi telah ditarik dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Hal ini tentu sangat menggemparkan dan menunai pro kontra di kalangan masyarakat.
Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat setiap tahunnya dan peraturan yang ada secara komprehensif belum dapat melindungi korban kekerasan seksual, justru RUU PKS yang sangat disambut baik oleh masyarakat sebagai payung hukum yang dapat melindungi korban dan memberikan hak-hak terhadap korban telah resmi ditarik dari Prolegnas. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi dari lingkungan masyarakat yang tidak peduli terhadap kasus ini dan menganggap korban yang melapor akan kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya dianggap masyarakat terlalu berlebihan.
Kekerasan seksual kerap terjadi karena adanya ketimpangan relasi antara pelaku dan korban. Kekuasaan yang dimiliki pelaku sering kali disalahgunakan untuk membuat korban menjadi menurut dengan berbagai ancaman dan tekanan yang dilakukan oleh pelaku. Aturan hukum yang memberikan perlindungan terhadap relasi kuasa antara pelaku dan korban sejauh ini hanya terdapat dalam pasal 1 peraturan mahkamah agung nomor 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum yang berbunyi: “Relasi kuasa adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dalam konteks relasi antar gender sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah”.
Contoh konkret kekerasan seksual atau pelecehan seksual yang dilatarbelakangi oleh faktor relasi gender seperti salah satunya yakni kekerasan seksual antara guru dengan siswa yang sering kali memanfaatkan kuasanya dengan menggunakan nilai untuk mengancam siswanya. Berkaitan dengan uraian tersebut, belum lama ini terjadi kasus pelecehan seksual yang dialami oleh salah seorang mahasiswi Universitas Riau (UNRI) jurusan Hubungan Internasional mengaku jadi korban pelecehan seksual oleh Dekan FISIP UNRI yang menjadi dosen pembimbingnya.
Kronologi singkat dari kasus ini yaitu Saat itu, hanya mereka berdua di ruangan. Mengawali proses bimbingan, kata korban, SH malah bertanya bukan seputar proposal skripsi, melainkan terkait kehidupan pribadi. Justru, dalam proses bimbingan proposal itu, SH mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti 'i love you' kepada korban. Saat hendak berpamitan usai bimbingan proposal, kata korban, SH mulai bertingkah aneh, SH menggenggam kedua bahu korban dan mendekatkan tubuhnya. Kemudian pelaku menggenggam kepala korban dengan kedua tangannya. Setelah itu, SH mencium pipi sebelah kiri dan mencium kening korban.
Semulanya, setelah kejadian tersebut korban meminta bantuan kepada salah satu dosen di jurusannya untuk mengadukan dugaan pelecehan seksual yang dialaminya ke Ketua Jurusan dan meminta pergantian pembimbing proposal. Namun, respon dari dosen tersebut menurut pernyataan korban mengaku diintimidasi dan ditertawakan oleh pihak jurusannya.
Karena respon dari dosen tersebut kurang mengenakkan, akhirnya pengakuan korban tersebut diunggah ke dalam postingan sosial media berupa video pengakuan atas kasus yang menimpanya. Akan tetapi, SH balik melaporkan L ke Polda Riau atas dugaan pencemaran nama baik. Tak hanya itu, SH juga melaporkan akun Instagram @komahi_ur sebagai pihak yang pertama kali mengunggah video pengakuan korban terkait dugaan pelecehan seksual tersebut. Kelanjutan dari kasus kekerasan seksual tersebut masih dalam proses penyidikkan dan belum mendapatkan keputusan pengadilan.
Secara umum hal yang utama menjadi akar masalah adalah adanya ketimpangan relasi gender yang dibentuk oleh budaya patriarki sehingga dalam berbagai sisi kehidupan perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua. Budaya patriarki yang telah ada menjadikan hipermaskulinitas ini tidak dapat dihilangkan. Budaya patriarki ini menggambarkan bahwa kontrol utama di dalam sebuah masyarakat diperankan oleh laki-laki, hal tersebut berbanding terbalik dengan perempuan yang hanya memiliki sedikit pengaruhnya. Hipermaskulinitas membuat budaya patriarki sulit dihilangkan sehingga dapat memperbesar peluang terjadinya ketimpangan relasi kuasa.
Mitos-mitos kekerasan seksual yang seringkali menggerus empati dan malah menempatkan kesalahan kepada korban sehingga membuat kekerasan seksual semakin dinormalisasi. Tindakan yang terus menyalahkan korban atau victim blaming sering dijadikan dasar pembenar atas kasus kekerasan seksual, seperti pakaian yang dipakai korban dianggap mengundang pelaku untuk melakukan kekerasan seksual, dan sebagainya. Budaya ini membuat korban takut untuk melaporkan kejadian traumatis yang dialaminya sehingga membuat kasus kekerasan seksual tak kunjung terselesaikan.
Kasus kekerasan seksual serupa juga terjadi pada beberapa tahun silam yakni kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang guru honorer di salah satu sekolah di Mataram yang bernama Baiq Nuril, yang mengalami pelecehan seksual oleh kepala sekolah tempat ia bekerja melalui telepon. Kemudian dalam penyelesaian kasusnya, Baiq Nuril memilih untuk melawan dengan merekam bukti percakapannya dengan kepala sekolah tersangka melalui telepon di mana ia mengalami pelecehan seksual tersebut.
Tetapi, justru korban dilaporkan sang kepala sekolah dengan tuduhan penyebaran konten kesusilaan dan ia dijerat UU ITE hingga divonis bersalah dalam putusan kasasi Nomor 574 K/PID.SUS/2018 tertanggal 26 September 2018 yang membatalkan Putusan Bebas (Vrijpraak) Pengadilan Negeri Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN. MTR Tertanggal 26 Juli 2017.
Hal ini menunjukkan bahwa saat ini ketentuan hukum normatif dan kesan profesionalisme putusan hakim mengalami degradasi, seharusnya hakim dalam membuat putusan harus menggali, menemukan, dan mengikuti cita keadilan masyarakat, putusan tersebut dinilai justru berjarak dengan cita keadilan masyarakat itu sendiri, sebagaimana tercermin dalam kasus ini. Jika kita meminjam teori tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radburch bahwa tujuan hukum itu tidak hanya menciptakan kepastian terhadap hukum itu sendiri dalam artian hanya melihat bunyi pasal-pasal yang dikenakan oleh terdakwa melainkan juga harus menciptakan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Dengan demikian, berdasarkan pandangan sosiologi hukum yang tidak hanya memandang hukum dari segi positivisme sebagaimana yang diterapkan oleh Putusan MA terhadap Baiq Nuril melainkan juga memandang hukum dari segi sosial, memandang hukum bukan semata-mata sebagai Undang-Undang produk kekuasaan, tetapi produk sosial, memandang hukum tidak berada di ruang hampa, tetapi dalam realitas kehidupan nyata, jika hukum normatif cenderung mengkristal sebagai produk (Quid Juris, Sollen), sosiologi hukum cenderung pada kenyataan empiris yang dialami masyarakat (Quid Facti/Sein).
Metode kerja sosiologi hukum yaitu dengan membuat deskripsi mengenai objek kasus, membuat penjelasan (explanation), mengungkapkan (revealing), dan membuat prediksi, jika dibenturkan pada kasus Baiq Nuril, maka persoalan hukumnya akan terselesaikan, karena memang secara sosial Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual sedangkan jika dilihat dari kacamata hukum positif UU ITE, Baiq Nuril adalah tersangka. Sosiologi hukum sangat berbeda dengan hukum normatif – positivis yang bertolak dari hukum perundang-undangan. Karena pencarian pengungkapan dan penjelasan mengenai hal yang sebenarnya itu maka sosiologi hukum berseberangan dengan hukum normatif.
Sosiologi hukum memberikan kritik terhadap kebekuan produk legislasi, yang membuat pada penegak hukum terjebak dalam cara pandangan yang monolitik dalam menyiasati jurang hukum yang terbentuk akibat kelemahan produk legislasi tersebut. melihat hukum dalam kacamata sosial menuntut keberanian untuk melakukan terobosan guna mencairkan kebekuan tersebut, sekali membangun jembatan diatas jurang hukum melalui penemuan-penemuan hukum agar dapat menseleraskan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Sosiologi hukum sebagai wadah keilmuan yang mampu meningkatkan daya kerja hukum positif diharapkan dapat menyatu keadalan seluruh aktivitas penegakan hukum di Indonesia, penting halnya melibatkan pandangan sosiologi hukum dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, proses legislasi menjadi hal penting dalam menyelesaikan persoalan hukum yang ada agar kedepan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak lagi terjadi di Indonesia.
Perlu dipahami bersama bahwa tidak mungkin perumusan norma-norma abstrak hukum menjadi pasal atau ayat dalam undang-undang lahir tanpa sebab dan di ruang hampa; dan tidak mungkin juga proses pembuatan dan penegakan hukum dilakukan di ruang vacuum, tetapi berada dan berinteraksi dengan realitas sosial yang beragam sehingga tarik menarik dan tolak menolak antara realita sosial dengan norma hukum yang abstrak yang akan diterapkan terhadap peristiwa kongkret menjadi persoalan tersendiri yang tidak dapat dijelaskan melalui pandangan normatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H