Mitos-mitos kekerasan seksual yang seringkali menggerus empati dan malah menempatkan kesalahan kepada korban sehingga membuat kekerasan seksual semakin dinormalisasi. Tindakan yang terus menyalahkan korban atau victim blaming sering dijadikan dasar pembenar atas kasus kekerasan seksual, seperti pakaian yang dipakai korban dianggap mengundang pelaku untuk melakukan kekerasan seksual, dan sebagainya. Budaya ini membuat korban takut untuk melaporkan kejadian traumatis yang dialaminya sehingga membuat kasus kekerasan seksual tak kunjung terselesaikan.
Kasus kekerasan seksual serupa juga terjadi pada beberapa tahun silam yakni kasus pelecehan seksual yang dialami oleh seorang guru honorer di salah satu sekolah di Mataram yang bernama Baiq Nuril, yang mengalami pelecehan seksual oleh kepala sekolah tempat ia bekerja melalui telepon. Kemudian dalam penyelesaian kasusnya, Baiq Nuril memilih untuk melawan dengan merekam bukti percakapannya dengan kepala sekolah tersangka melalui telepon di mana ia mengalami pelecehan seksual tersebut.Â
Tetapi, justru korban dilaporkan sang kepala sekolah dengan tuduhan penyebaran konten kesusilaan dan ia dijerat UU ITE hingga divonis bersalah dalam putusan kasasi Nomor 574 K/PID.SUS/2018 tertanggal 26 September 2018 yang membatalkan Putusan Bebas (Vrijpraak) Pengadilan Negeri Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN. MTR Tertanggal 26 Juli 2017.
Hal ini menunjukkan bahwa saat ini ketentuan hukum normatif dan kesan profesionalisme putusan hakim mengalami degradasi, seharusnya hakim dalam membuat putusan harus menggali, menemukan, dan mengikuti cita keadilan masyarakat, putusan tersebut dinilai justru berjarak dengan cita keadilan masyarakat itu sendiri, sebagaimana tercermin dalam kasus ini. Jika kita meminjam teori tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radburch bahwa tujuan hukum itu tidak hanya menciptakan kepastian terhadap hukum itu sendiri dalam artian hanya melihat bunyi pasal-pasal yang dikenakan oleh terdakwa melainkan juga harus menciptakan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Dengan demikian, berdasarkan pandangan sosiologi hukum yang tidak hanya memandang hukum dari segi positivisme sebagaimana yang diterapkan oleh Putusan MA terhadap Baiq Nuril melainkan juga memandang hukum dari segi sosial, memandang hukum bukan semata-mata sebagai Undang-Undang produk kekuasaan, tetapi produk sosial, memandang hukum tidak berada di ruang hampa, tetapi dalam realitas kehidupan nyata, jika hukum normatif cenderung mengkristal sebagai produk (Quid Juris, Sollen), sosiologi hukum cenderung pada kenyataan empiris yang dialami masyarakat (Quid Facti/Sein).
Metode kerja sosiologi hukum yaitu dengan membuat deskripsi mengenai objek kasus, membuat penjelasan (explanation), mengungkapkan (revealing), dan membuat prediksi, jika dibenturkan pada kasus Baiq Nuril, maka persoalan hukumnya akan terselesaikan, karena memang secara sosial Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual sedangkan jika dilihat dari kacamata hukum positif UU ITE, Baiq Nuril adalah tersangka. Sosiologi hukum sangat berbeda dengan hukum normatif – positivis yang bertolak dari hukum perundang-undangan. Karena pencarian pengungkapan dan penjelasan mengenai hal yang sebenarnya itu maka sosiologi hukum berseberangan dengan hukum normatif.
Sosiologi hukum memberikan kritik terhadap kebekuan produk legislasi, yang membuat pada penegak hukum terjebak dalam cara pandangan yang monolitik dalam menyiasati jurang hukum yang terbentuk akibat kelemahan produk legislasi tersebut. melihat hukum dalam kacamata sosial menuntut keberanian untuk melakukan terobosan guna mencairkan kebekuan tersebut, sekali membangun jembatan diatas jurang hukum melalui penemuan-penemuan hukum agar dapat menseleraskan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Sosiologi hukum sebagai wadah keilmuan yang mampu meningkatkan daya kerja hukum positif diharapkan dapat menyatu keadalan seluruh aktivitas penegakan hukum di Indonesia, penting halnya melibatkan pandangan sosiologi hukum dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, proses legislasi menjadi hal penting dalam menyelesaikan persoalan hukum yang ada agar kedepan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak lagi terjadi di Indonesia.Â
Perlu dipahami bersama bahwa tidak mungkin perumusan norma-norma abstrak hukum menjadi pasal atau ayat dalam undang-undang lahir tanpa sebab dan di ruang hampa; dan tidak mungkin juga proses pembuatan dan penegakan hukum dilakukan di ruang vacuum, tetapi berada dan berinteraksi dengan realitas sosial yang beragam sehingga tarik menarik dan tolak menolak antara realita sosial dengan norma hukum yang abstrak yang akan diterapkan terhadap peristiwa kongkret menjadi persoalan tersendiri yang tidak dapat dijelaskan melalui pandangan normatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H