Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Shotgun di Meja Makan

10 Oktober 2020   17:51 Diperbarui: 10 Oktober 2020   18:56 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ayo kita tengok si Tarso yang melukis

eksplosi hipertensi pada taplak meja, lantai, dan tembok

dengan kepala yang sudah celengan pecah

memori-memori berceceran:

2/4 remah-remah nasi kucing

yang kian diprotes perutnya

1/4 uang receh yang berkaca-kaca

mengeja halaman di buku hutang

1/4 rupiah bernominal harapan disulap asap

sehabis ketuk palu tengah malam

mari mengenangnya seperti kebanyakan orang

yang bergolongan darah O, yang mesti ada

untuk mengeja kata 'rodi'. O, pejabat-pejabat

yang bergerilya dalam wacana populis

mengapa sedemikian tega memodivikasi

darah jadi oli

orang jadi otomata

agar tetap bergoyang walau diupah recehan?

demi memanjakan si Bos selagi bertamasya senegara

ke pabrik kolonial tahun 1920-1930?

kembali ke kesegaran lukisan abstrak

mozaik mesiu, darah, dan sel otak di tembok

adakah ramalan yang terbaca di situ?

teror dalam kepulan gas air mata;

hari-hari menuntun nafas dalam arteri migrain;

masa nyepi dibentangkan masker;

pada pagar-besi-tembok-ratapan yang tak meneduhkan

tempat berpulang tinggalah grafiti dan mural

 -- masa depan buntu

Bung, mari berkabung

di saat hitungan mundur antara bara dan abu

"Apakah kemanusiaan?" demikian tanyamu

"sebatang lisong bagi cukong jika bukan

nomor undian yang memeras dewi Fortuna?"

bukan, tetapi apa dipertaruhkan meskipun asap

pasti kehilangan sosoknya

bahkan terlupakan

seperti halnya dalil-dalil dan kehidupan di jalan

pelan-pelan terkubur debu

Bandung, 2020

Sebuah puisi yang lahir dari diskusi tentang RUU Ciptakerja, kemudian saya jadi teringat sajaknya W.S. Rendra, 'Sajak Sebatang Lisong' (1977), dan Roberto Bolano, 'Godzila di Meksiko'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun