Ayo kita tengok si Tarso yang melukis
eksplosi hipertensi pada taplak meja, lantai, dan tembok
dengan kepala yang sudah celengan pecah
memori-memori berceceran:
2/4 remah-remah nasi kucing
yang kian diprotes perutnya
1/4 uang receh yang berkaca-kaca
mengeja halaman di buku hutang
1/4 rupiah bernominal harapan disulap asap
sehabis ketuk palu tengah malam
mari mengenangnya seperti kebanyakan orang
yang bergolongan darah O, yang mesti ada
untuk mengeja kata 'rodi'. O, pejabat-pejabat
yang bergerilya dalam wacana populis
mengapa sedemikian tega memodivikasi
darah jadi oli
orang jadi otomata
agar tetap bergoyang walau diupah recehan?
demi memanjakan si Bos selagi bertamasya senegara
ke pabrik kolonial tahun 1920-1930?
kembali ke kesegaran lukisan abstrak
mozaik mesiu, darah, dan sel otak di tembok
adakah ramalan yang terbaca di situ?
teror dalam kepulan gas air mata;
hari-hari menuntun nafas dalam arteri migrain;
masa nyepi dibentangkan masker;
pada pagar-besi-tembok-ratapan yang tak meneduhkan
tempat berpulang tinggalah grafiti dan mural
 -- masa depan buntu
Bung, mari berkabung
di saat hitungan mundur antara bara dan abu
"Apakah kemanusiaan?" demikian tanyamu
"sebatang lisong bagi cukong jika bukan
nomor undian yang memeras dewi Fortuna?"
bukan, tetapi apa dipertaruhkan meskipun asap
pasti kehilangan sosoknya
bahkan terlupakan
seperti halnya dalil-dalil dan kehidupan di jalan
pelan-pelan terkubur debu
Bandung, 2020
Sebuah puisi yang lahir dari diskusi tentang RUU Ciptakerja, kemudian saya jadi teringat sajaknya W.S. Rendra, 'Sajak Sebatang Lisong' (1977), dan Roberto Bolano, 'Godzila di Meksiko'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H