Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panggilan Beringin

2 Oktober 2020   15:28 Diperbarui: 2 Oktober 2020   15:40 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sapu nyere pegat simpay
bakal kasorang
takdir ti Gusti Hyang Widi
pasti kalakon
urang rek papisah
urang rek pajauh
meungpeung deukeut
hayu urang sosonoan"
-- Sapu Nyere Pegat Simpay, ciptaan Sambas Mangundikarta.

Engkos kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun bekerja di Jepang. Segala hal yang pernah dikenalnya sewaktu masih bocah ingusan hampir tak meninggalkan jejak.

Bagian kota Bandung yang dua puluh tahun lalu lebih mirip desa, kini berwajah seperti Osaka saja. Sawah tempatnya dulu mencari keong-keong, sungai kecil jernih tempat menangkap ikan dan kepiting, lapangan-lapangan seperti stepa yang pernah dilihatnya dalam gambar di buku pelajaran IPA, dan kebun warga yang sering diserbu bersama gengnya kala musim rambutan atau jambu, kini berganti rumah-rumah berpagar tinggi yang saling bersaing dalam hal keelokan juga tingkat-tingkatnya. Amnesia kedengaran seperti judul yang tepat untuk menggambarkan perjalanan pulangnya ini.

Tiba-tiba, hatinya tergetar manakala melewati pinggir sungai kumuh yang masih dipenuhi pohon bambu. Gemerisik daun bambu yang diterpa angin seperti membisikan baris-baris haiku ke hati yang merindukan masa lalunya itu. Waktu terasa berjalan mundur. Samar-samar dia mulai mendengar kembali lirik lagu perpisahan zaman sekolah dasarnya. Agaknya seperti waktu itu, dinyanyikan suara riang anak-anak yang berpadu dengan riuh air terjun di balik rimba bambu. Dan tentu saja, penampilan ini ditutup hujan air mata.

Dulu dalam benak bocahnya, dia mengira akan selalu bersama teman-teman SD-nya untuk waktu yang lama. Kenyataan berkata lain, perpisahan yang sesungguhnya dimulai setiap hari esok sejak hari perpisahan resmi mereka. Yang tersisa dari semua kenangan itu tinggallah monumen persahabatan, pohon beringin di belakang sekolah, tempat bermain sewaktu istirahat dan sebelum pulang ke rumah.

***

Bel jam pulang berdering dan disusul keriangan anak-anak, doa bersama yang dipimpin ketua kelas, lalu dilanjutkan dengan pesan ibu Dewi yang mengingatkan muridnya agar segera pulang ke rumah dan jangan lupa mengerjakan PR mereka. Sebelum turut membubarkan diri, Dewi mengawasi anak-anak yang piket kelas seperti biasa.

Angin hari ini terasa membawa suasana yang berbeda. Terutama ketika dentingan lonceng angin -- yang dibuat bersama teman sekelasnya dulu -- seakan membawanya kembali jadi murid SD kelas 3.

 Terpengaruh suasana hatinya, dia bergumam sampai akhirnya melantunkan lagu perpisahan -- Sapu Nyere Pegat Simpay. Selama ini teman-temannya dari zaman SD terasa perlahan-lahan luput, terlupakan keberadaannya, walau setiap pulang dia melewati rumah salah satu teman-temannya. Terkadang dirinya berangan-angan punya kesempatan untuk mengajari anak dari salah satu temannya dan bercerita tentang zaman sekolah dulu.

Saat dipikir-pikir, Bandung yang semakin sempit, sedang media sosial yang bagai jagat raya, tidak sekali pun tersiar kabar mengenai rencana reuni. Grup dalam media sosial khusus teman-teman kelas pun sudah tidak aktif lagi sejak dirinya menginjak SMP kelas dua. Barangkali, 'kutukan asal' dari kelahiran media sosial memang nyata adanya: mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.

Ketika pulang, Dewi menyempatkan diri untuk mampir ke tempat pohon beringin itu tumbuh. Mengikuti suasana hatinya. Dahulu di sini adalah sebuah lapangan yang teduh, menyimpan 'harta karun' di antara berangkal, onggokan barang rongsokan, atau bekas bakaran sampah. Segala kenangan itu kini terkubur di bawah kios-kios dan tempat cuci motor yang berbaris di samping pohon ini.

Tak disangka-sangka, ada sosok yang menarik perhatiannya hingga Dewi menerka-nerkanya. Membuka kembali album kenangan.

"Engkos?" Sahut Dewi, "Ya, Allah kemana saja kamu selama ini?"

Kini giliran Engkos yang menebak-nebak siapa ibu guru muda itu.

"Masya Allah, Dewi, bukan?"

Tawa canggung yang mewarnai pertemuan mereka luntur setelah masing-masingnya berbagi cerita, mengenang masa kecil, dan menumpahkan rindu pada teman-teman lama keduanya.

Pohon dengan akar-akar yang menjuntai, dahan menjulur bak ular raksasa berjumbai, juga keteduhannya, serasa menggemakan kembali tawa di sekitar sini. Tawa dari anak-anak yang berayun-ayun pada akar beringin ketika pura-pura jadi Tarzan. Tawa cekikikan dari anak-anak yang bermain petak umpet di belakang pohon, semak, dan lubang got. 

Tidak ketinggalan tawa yang mengiringi jerit-jerit para bocah manakala menemukan sesajen bekas pesugihan di bawah pohon ini. Dahan yang paling rendah tampak mengangguk-angguk, seakan mengiyakan nostalgia yang dibicarakan mereka berdua.

Tanpa angin dan suara, selembar daun beringin selebar buku mendarat di kepala Engkos. Ketiba-tibaan ini menghadirkan keangkeran wajah pohon beringin. Setiap celah-celah lilitan batangnya seperti mengintai. Keramaian percakapan tukang cuci motor, orang-orang tua di depan kios, dan kehebohan anak-anak yang berjalan pulang terasa jauh. Engkos berkaca pada Dewi, mereka sama pucatnya.

***

Keramaian telah merambah ke jalan arah rumah Engkos, walau kesepian lama masih tinggal di sekitar situ. Engkos menyempatkan diri untuk jajan dengan harapan bertemu teman-teman lamanya secara tidak sengaja. Namun di balik asap bakaran sate, gosip dan racauan di antara anak-anak muda yang bermain game online di kafe, dan gerobak-gerobak tukang gorengan sampai martabak, semuanya asing dan lain.

Barulah ketika bermimpi, Engkos bisa menemui teman-teman lamanya di pinggiran sungai. Sampai tiba-tiba dirinya berteleportasi ke depan pohon beringin tadi. Sementara teman-teman yang semula mengelilinginya, tengah berpencaran lalu masuk ke dalam pohon beringin. Dia terpatung menyaksikan adegan tadi sampai selembar daun yang jatuh menyadarkannya kembali. Pada selembar daun itu tertulis pesan, "Jangan lupakan aku."

Seketika Engkos terbangun. Burung hincuing dari pohon cengkih bersiulan seakan menyambut kedatangan hantu. Selagi merenungkan mimpi tadi, diusapnya air mata yang menggenang entah mengapa.

***

Engkos dan Dewi sudah janji untuk saling temu lagi pada minggu pagi ketika udara segar memberi semangat buat jogging. Keduanya berpapasan di depan gerbang perumahaman kemudian mengikuti lari-lari kecil beberapa warga lainnya. Sembari menyelesaikan jogging sampai tiga putaran kompleks, keduanya kompak mencari-cari wajah kawan lama yang tak bisa dilacak di media sosial.

Mereka beristirahat sejenak di depan bunderan yang memajang salah satu karya Nyoman Nuarta. Sebuah patung yang dirakit dari logam, berbentuk telapak tangan yang berdiri dengan bertumpu pada kelingking sampai jari tengah, dan pada telapak tangan itu sesosok wanita berselendang dengan rambut tersibak angin tengah berbaring.

Engkos memandangi patung itu seakan-akan baru pertama kalinya. Namun perasaan takjub itu berubah ketika dia merasa mengingat sesuatu, barangkali dia merasa memorinya menyimpan sebuah foto yang blur sampai gambarnya terhapus. Misteri itu mesti tertahan sejenak sebab Dewi menyatakan sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Dalam mimpiku kulihat anak-anak masuk ke dalam pohon beringin."

Engkos terdiam. Keramaian tiba-tiba surut. Keringat dingin menyusul keringat lain di kening dan pelipisnya. Dari air muka Engkos, Dewi menebak kalau temannya mendapat mimpi yang sama. Engkos pun tahu, dia tak punya kata-kata selain anggukan.

"Karena aku yang kejatuhan daunnya, kutemukan pesan." Engkos menghela nafas dan sejurus kemudian mengusap keringat yang melucur dari alis, lanjutnya, "Jangan lupakan aku. Aku tak habis pikir siapa yang kita lupakan, untuk tahu ini kita harus mengadakan reuni."

Dewi mengangguk lesu, tambahnya, "Sayangnya, kontak teman-teman yang kupunya adalah mereka yang sudah menyebar ke berbagai provinsi. Entah dengan sisanya."

"Bagaimana kalau pulang dari sini kita kunjungi langsung rumah kawan-kawan sekitar sini, masih ingatkan?"

Dewi tampak mengingat-ngingat lagi, selang sesaat kemudian mengangguk. Mekanis. Mungkin dalam benaknya terlintas keragu-raguan.

Di kawasan perumahan yang tertata secara subdivision, mereka berputar-putar dari blok ke blok yang tersusun rapi dan hampir terlihat seragam, seperti berjalan melewati barisan para murid ketika upacara bendera. Mencari rumah berkolam kering dan dengan pohon mangga di halamannya.

Lagi-lagi dua sekawan ini tidak bertemu kawan yang dicarinya, satu-satunya yang tinggal di rumah itu adalah adiknya yang kehilangan si kakak sejak dua tahun lalu. Menurut si adik, hal terakhir yang dilakukan kakaknya adalah pergi ke salah satu rumah teman SD-nya. Sepanjang cerita ini, Dewi menunduk, kontras dengan Engkos yang seantusias wartawan saat memburu berita.

Engkos meminta pendapat Dewi, namun si ibu guru muda mendadak jadi murid yang terbata-bata dalam menjawab ujian oral.

***

Engkos kembali ke hadapan pohon beringin dalam mimpinya. Sendirian. Lagu perpisahan dulu kembali terdengar, persis waktu perpisahan dulu. Sekali lagi dia menerima selembar daun, dan sebuah pesan dibisikan padanya, "Lupakan kami."

Nyanyian itu mulai kedengaran seperti diputar dari kaset rusak. Tangisan mengambil alih nyanyian. Engkos ikut menangis.

Paginya, dia memutuskan untuk mencari berbagai berita tentang orang-orang hilang. Hampir semua nama teman satu gengnya tercantum dalam laporan yang dikabarkan dari berbagai artikel berita. Kopi susu sasetnya tiba-tiba terasa seperti kopi ekspreso. Tangannya gemetaran selagi menyeruput kopi sampai ketika menaruhnya kembali.

Ingatan yang selama ini membeku pun luruh. Jernih. Tayangan ulang kejadian heboh ketika waktu istirahat memenuhi panggung kesadarannya. Seorang murid pindahan di kelasnya dikabarkan hilang setelah tidak kembali ke kelas sampai bel pulang berbunyi. Setahunya, dua orang yang terakhir kali bersamanya adalah ketua kelas dan Dewi. Pada hari itu, dia dan teman se-gengnya mencari si murid hilang sambil bersepeda hingga ke sekolah lain di dekat pasar. Tetapi baru kali ini dia menyadari ada yang aneh dari gelagat teman-temannya. Mereka tampak canggung dan tidak banyak bicara.

Pesan dari mimpinya kembali berbisik, "Jangan lupakan aku."

Terbakar oleh kecurigaan, Engkos segera pergi ke SD-nya dengan harapan Dewi mengatakan semua yang diketahuinya. Di sekolah, kegiatan belajar mengajar masih berlangsung. Sembari menunggu jam istirahat, Engkos pergi ke ruang guru berharap dapat menemukan narasumber lain, namun guru-gurunya dulu sudah pensiun dan sebagian telah meninggal dunia, sementara staf pengajar dan kepala sekolah baru tidak memberi tahu lebih banyak daripada berita-berita sebelumnya.

Akhirnya, si detektif dadakan memutuskan untuk pergi ke pohon beringin itu. Basa-basi sekalian memesan kopi di salah satu kios, tentunya juga bertanya perihal kasus orang hilang. Mereka bercakap-cakap sambil mendengarkan lagu karoke Sunda yang disetel si pemilik kios. Sekali lagi, lagu perpisahan dulu menghantuinya kembali. Seketika degup jantung Engkos terasa bertalu-talu, dan pandangannya langsung terarah pada rongga-rongga pohon beringin itu.

Dari samping dia perhatikan kalau akar pohon beringin ini hampir menutupi mulut got, kalau diingat lagi dulu biasa digunakan anak-anak untuk bersembunyi. Tentu saja, seingatnya pohon ini memiliki celah yang cukup bagi seorang anak untuk bersembunyi. Anggukan dahan dan ayunan lembut akar-akaran beringin seolah menginyakan dugaannya.

Saat menyusuri sisi-sisi pohon itu, dia hampir tidak menemukan celah yang dikiranya. Maka, Engkos terpaksa menyingkirkan akar dan batang baru yang tumbuh saat memeriksa. 

Sesuatu menarik perhatiannya, dibalik batang baru yang disingkirkannya terdapat batang mati yang tampak tertebas secara serampangan. Apakah ada seseorang yang mencari sesuatu? Atau mungkin meninggalkan sesuatu, sebab di sela-sela yang lebih dalam Engkos melihat sebuah kertas berlipat. Tampak aman dari kelembapan sehingga pesan yang tertulis di situ masih cukup terbaca, tetapi Engkos memerlukan bantuan cahaya senter untuk memperhatikannya.

"Lupakan kami."

Senada dengan memuncaknya lagu perpisahan yang mendayu-dayu, Engkos semakin tergerak untuk meraih kertas itu. Baginya pesan tersebut tidak lagi berupa peringatan, melainkan bukti untuk mengakhiri misteri ini. Dia berusaha meraihnya sembari menahan jepitan batang-batang baru, sampai-sampai bahunya pun ikut masuk lebih dalam. Naas, bukan kertas itu yang didapatmya, tetapi malah sesuatu yang melilit seluruh lengannya. Dalam satu tarikan dia tersedot ke dalam celah itu.

Saat siuman, Engkos disambut oleh bau-bauan seperti kulit pohon kering dan campuran aroma kemenyan yang kuat. Satu-satunya sumber penerangan di sini adalah sinar matahari yang melewati celah-celah dari atas sana. Seisi pohon ini terasa membelitnya sampai hampir tidak mungkin untuk meronta-ronta. Engkos berusaha untuk berteriak, namun suaranya sebatas bergema dalam pikiran. 

Sejenak dia menenangkan diri, memejamkan mata, lalu mulai terdengar bunyi-bunyi seperti tarikan nafas, dan gesekan-gesekan kasar yang samar-samar di sekelilingnya. Akhirnya, Engkos dapat reuni dengan teman-temannya, meskipun mereka tinggal kerangka dibalut kulit yang berlumuran getah pohon.

"Meungpeung deukeut, hayu urang sosonoan", demikian hal terakhir yang terlintas dalam pikirannya.

***

Lonceng angin di depan ruang kelas Dewi mengajar kembali berdenting. Kali ini dengan bunyi nyaring seperti pada dawai tegang yang langsung putus sekali dipetik. Ketika bel jam istirahat berbunyi, Bu Dewi mewanti-wanti, "Ingat anak-anak jangan main petak umpet di sekitar pohon beringin."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun