Memang penting untuk diketahui apakah pemaknaan kita atas konfigurasi keberadaan yang 'disinyalir' mewahyukan siloka ditentukan oleh sang pengamat atau benar-benar kebetulan. Keduanya benar.Â
Akan tetapi, dalam kasus pertama, bukan karena si pengamat mengonstruksi hal itu dalam pikirannya, bahwa terjadi proses interpretasi terarah yang menghubung-hubungkan makna dan simbol dari pengetahuan yang dimiliki dengan iktikad untuk menjelaskan sesuatunya -- terantisipasi oleh maksud untuk memberikannya pada 'yang lain'.Â
Sedangkan dalam kasus kedua, inspirasi kita belum tentu diperoleh secara jernih, kadang dimengerti tetapi tidak bisa dikatakan, dan demikian sebaliknya.
Jadi dengan cara apa kita dapat mengetahui bahwa pemaknaan tersebut tak lain tak bukan akan setara dengan makna siloka meskipun diekspresikan dengan konfigurasi yang berbeda, di masa yang berbeda, dan oleh berbagai kondisi materil yang serba lain? Momennya, inilah yang paling mudah dan bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam momen ini Anda merasa seperti baru pertama kalinya memikirkan hal itu, atau bisa pula seperti pernah mengalaminya, sangat familiar sekaligus asing. Tetapi bila Anda mulai bertanya, apakah kelahiran Anda ini salah satunya karena Anda akan berpartisipasi dalam pentas siloka di sini, mendapat pemahaman tersebut dan bukan makna-makna lainnya?
Saya harap bisa menyampaikannya ketika perenungan saya sudah selesai dituliskan sepenuhnya. Inti dari keseluruhan perenungan saya ini adalah 'perjumpaan', sebagaimana kita dipertemukan dalam tulisan ini pada kesempatan ini, segala perjumpaan yang terjadi 'di sini' sekaligus tidak di mana pun, seperti keadaan asalinya.Â
Tetapi perjumpaan secara eksistensial, antara 'aku' dan 'engkau' tidaklah cukup. Perjumpaan praeksis seperti dalam wacana keagamaan di mana malaikat mengantar ruh kita dari alam Nafs sampai alam rahim dan ditentukan takdirnya, juga belum benar-benar perjumpaan.Â
Bahkan kalau ditarik kembali pada ketidaksadaran kolektif, etalase arketipe dan mandala yang digali oleh Jung, kesunyian sempurna tidur abadinya sang Ginungagap, justru lebih tampak seperti meniadakan perjumpaan karena tidak ada jaminan untuk embrio sang 'aku' yang kelak menyaksikan pentas siloka -- tentunya kecuali jika Anda mengambil jalan pintas dengan mengakui determinisme dan fatalisme.
Bila Anda masih bersikeras untuk mencaritahu, maka satu-satunya penjelasan yang bisa saya sampaikan secara sederhana adalah dengan meminjam wacana tentang penciptaan alam semesta sebagai analoginya.
Siloka
Dia sudah di sini