Terima kasih, ketiba-tibaan dan waktu untuk kesempatan berharga ini. Di sela-sela mengerjakan kembali analisis di bab 4, saya sempat memikirkan tentang filosofi Silas (silih asah, silih asih, silih asuh) yang diterapkan para simpatisan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dalam kampanye Pilgub Jabar tahun 2018 di media sosial Facebook. Mulanya, saya memikirkan kembali penjelasan tentang strategi dan penerapan filosofi tersebut berdasarkan teori kuasa Michel Foucault.
Saya memang sudah menyelesaikan pembahasan untuk itu, hanya saja data baru dan pemahaman saya saat ini memberi suatu interpretasi yang menarik. Dugaan saya saat ini adalah apakah mungkin apabila wacana filosofi Silas adalah sejenis pengetahuan yang kuasanya berjalan tanpa kuasa? Jawaban untuk pertanyaan itu biarlah untuk saya sendiri, sebab dalam tulisan sederhana ini, perspektif dan reinterpretasi filosofi Silas akan lebih penting bagi siapa pun.
Mari kita kenali dulu apa yang dimaksud dengan 'kuasa' dalam pemikiran Foucault. Filsuf berkebangsaan Prancis yang botak dan bisa Anda bayangkan seperti Lex Luthor ini, dikenal meneliti kawasan 'gelap' institusi modern seperti penjara, rumah sakit jiwa, klinik psikiatri, dan tabu-tabu semisal dalam persoalan seks.Â
Foucault menemukan bahwa sejarah kemunculan institusi dan wacana-wacana kita hari ini berangkat dari serangkaian permainan aktor-aktor yang punya kepentingan masing-masing. Oleh karenanya, pengetahuan yang melegitimasi kemunculan suatu institusi beserta praktiknya, tidak akan 'suci' dari yang namanya kekuasaan, bahkan kekuasaan itu sendiri bisa jadi 'rahim' pengetahuan!
Saking intimnya hubungan antara kuasa dengan pengetahuan, terkadang dalam literatur pemikiran Foucault sampai dituliskan sebagai 'kuasa/pengetahuan'.Â
Dengan nada pesimis, hampir tidak mungkin memikirkan pengetahuan tanpa kuasa, sebab pengaturan tentang bagaimana suatu pengetahuan itu menentukan apa yang benar, baik, dan boleh dikatakan pada suatu masa atau kondisi tertentu, bergantung pada keberadaan otoritas, konvensi bersama, dan cara berpikir atau gaya hidup yang sudah kita terima begitu saja.Â
Konsekuensinya, kutukan dari pemikiran posmodern satu ini adalah tidak mungkin ada suatu pengetahuan yang ahistoris, transenden seperti dalam filsafat Plato (kaum idealis umumnya) dan Immanuel Kant, sampai akhirnya penolakan pada kebenaran absolut tentang pengetahuan tersebut. Sekedar bagian dari sejarah di suatu tempat yang tidak melulu berhubungan dengan alur kronologis sejarah global.
Tampaknya kita perlu mengucapkan 'sampai jumpa' pada Foucault sampai sini, sebelum tulisan ini menjadi ceramah filsafat walau ini berarti kita sedang 'dirasuki' operasi kuasa/pengetahuan konsep silih asah.Â
Nah, apa sudah terbayang mengapa filosofi Silas itu tadi saya katakan sebagai kuasa tanpa kuasa? Sederhananya, suka tidak suka, silih asah itu terjadi di mana-mana bukan hanya di ruang kelas.Â
Mau tidak mau, silih asih itu terjadi karena kita manusia yang butuh sesama. Dan tentu saja, rela tidak rela, silih asuh terjadi meskipun kita tidak kenal dengan orang yang dibantu, atau terkadang memendam rasa benci sekali pun -- kepo sedikit saja, Anda akan menabung aktualisasi konsep silih asuh.Â
Tapi tunggu dulu, bukan hanya itu saja bagian yang menariknya, melainkan karena siapa pun bisa saja memasang filosofi Silas sebagai motto... (saya lupa bagian ini gara-gara teralihkan cicak yang memangsa cicak lainnya) katakan saja begitu, dan secara sendirinya tanpa paksaan, dorongan hati yang berembel-embel, atau pun niat, filosofi ini terealisasi sebaik-baiknya.Â
Anda bisa menuliskan "Silih asah, silih asih, silih asuh" di papan tulis kemudian menghapusnya, tetapi pesannya tak benar-benar terhapus dari zona tersebut, malah menjadi suatu pengaruh yang menetap dalam diri orang-orang yang berkumpul di zona tersebut. Secara pribadi, saya memaknainya sebagai 'dzikir' yang dilakukan dengan tindakan manusiawi.
Mengapa demikian? Tenang saja, ini tidak ada hubungannya dengan mistisisme atau pandangan dunia tentang kesadaran adalah kenyataan itu sendiri, dan maka dari itu yang berasal dari kesadaran tersampaikan kembali pada kesadaran. Sebesar apa pun ketertarikan saya pada pemikiran eksentrik semacam itu, saya lebih mengagumi kesederhanaan yang puncaknya seperti bait-bait haiku.Â
Setelah mengetahui penjelasan saya sebelumnya, tentu saja filosofi Silas dapat menjadi pengetahuan sekaligus lain-dari-pengetahuan, yaitu pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat manusia, yang wacana-wacananya ada di dalam kebudayaan Sunda dan buku filsafat manusia. Tetapi kalau kita mau membicarakannya sebagai yang lain-dari-pengetahuan, maka saya akan mengatakannya sebagai 'siloka'.
Siloka dalam KBBI diterjemahkan sebagai 'suluk' yang berarti, 1) "jalan ke arah kesempurnaan", 2) "pengasingan diri", 3) dalam konteks bahasa Jawa, tembang pembuka babak pertunjukan wayang oleh sang dalang.Â
Dalam bahasa Sunda, sebagaimana yang dikutip Asep Salahudin (2017, hal. 25), "Siloka atau suluk adalah termasuk bahasa kias, bahasa yang harus dipikirkan kembali tentang isi sebenarnya, mengandung arti mendalam".
 Karena saya telah menyebutkan tidak ada sangkut pautnya dengan mistisisme, pengertian siloka yang dimaksud seperti dalam konteks bahasa Jawa dan Sunda. Namun, saya tidak akan menafikan tentang pemerolehan siloka yang mengandaikan inisiasi spiritual atau pun dalam kondisi pengasingan diri.
Jadi bahasa kias seperti apa, apakah metafora seperti dalam puisi dan kitab suci? Sejauh ini saya memahaminya sebagai dalam cakupan bahasa, tetapi bukan bahasa secara hakikat bahasa itu sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi fonem, kata, sintaksis, morfologi, bahkan wacana. Cukup meliputi hal-hal yang dalam suatu konteks digunakan sebagai fungsi bahasa dengan cara yang wajar, yaitu komunikasi, pemerolehan informasi, dan abstraksi yang bisa dimaknai.Â
Warna, tarian, nada-nada, sampai ilusi optik bisa saja jadi 'bahasa' untuk mencerap siloka ini. Pertama-tama karena diniscayakan oleh berbagai keberadaan di dunia, dari manusia, tanaman, hewan, benda, sampai zat-zat kimia, untuk berpartisipasi dalam 'pentas seni'.Â
Contohnya, seperti ketika cicak memangsa cicak lain yang mengalihkan perhatian saya dan membuat saya mengamatinya secara seksama, kemudian karena saya sedang menuliskan tentang filosofi Silas yang secara pribadi dimaknai sebagai dzikir yang dilakukan dengan tindakan manusiawi, maka kehadiran cicak-cicak itu adalah tanda.Â
Apakah itu kebetulan yang bermakna (sinkronisitas seperti kata Carl Gustav Jung), atau tanda bahwa alam sedang berkomunikasi dengan saya, itu sama sekali tidak jadi soal dan biarlah momen itu datang dan pergi sendirinya. Sekali lagi, kesederhanaan yang seperti bait haiku.
Akan tetapi bila Anda tidak puas dengan penjelasan dangkal tadi dan menuntut untuk tahu apa hakikat siloka yang menjadikannya beroperasi dengan cara demikian dan mengapa bisa memengaruhi kesadaran untuk memaknai sesuatu, izinkan saya terlebih dahulu untuk mengucap, "Pun sapun!"
Memang penting untuk diketahui apakah pemaknaan kita atas konfigurasi keberadaan yang 'disinyalir' mewahyukan siloka ditentukan oleh sang pengamat atau benar-benar kebetulan. Keduanya benar.Â
Akan tetapi, dalam kasus pertama, bukan karena si pengamat mengonstruksi hal itu dalam pikirannya, bahwa terjadi proses interpretasi terarah yang menghubung-hubungkan makna dan simbol dari pengetahuan yang dimiliki dengan iktikad untuk menjelaskan sesuatunya -- terantisipasi oleh maksud untuk memberikannya pada 'yang lain'.Â
Sedangkan dalam kasus kedua, inspirasi kita belum tentu diperoleh secara jernih, kadang dimengerti tetapi tidak bisa dikatakan, dan demikian sebaliknya.
Jadi dengan cara apa kita dapat mengetahui bahwa pemaknaan tersebut tak lain tak bukan akan setara dengan makna siloka meskipun diekspresikan dengan konfigurasi yang berbeda, di masa yang berbeda, dan oleh berbagai kondisi materil yang serba lain? Momennya, inilah yang paling mudah dan bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam momen ini Anda merasa seperti baru pertama kalinya memikirkan hal itu, atau bisa pula seperti pernah mengalaminya, sangat familiar sekaligus asing. Tetapi bila Anda mulai bertanya, apakah kelahiran Anda ini salah satunya karena Anda akan berpartisipasi dalam pentas siloka di sini, mendapat pemahaman tersebut dan bukan makna-makna lainnya?
Saya harap bisa menyampaikannya ketika perenungan saya sudah selesai dituliskan sepenuhnya. Inti dari keseluruhan perenungan saya ini adalah 'perjumpaan', sebagaimana kita dipertemukan dalam tulisan ini pada kesempatan ini, segala perjumpaan yang terjadi 'di sini' sekaligus tidak di mana pun, seperti keadaan asalinya.Â
Tetapi perjumpaan secara eksistensial, antara 'aku' dan 'engkau' tidaklah cukup. Perjumpaan praeksis seperti dalam wacana keagamaan di mana malaikat mengantar ruh kita dari alam Nafs sampai alam rahim dan ditentukan takdirnya, juga belum benar-benar perjumpaan.Â
Bahkan kalau ditarik kembali pada ketidaksadaran kolektif, etalase arketipe dan mandala yang digali oleh Jung, kesunyian sempurna tidur abadinya sang Ginungagap, justru lebih tampak seperti meniadakan perjumpaan karena tidak ada jaminan untuk embrio sang 'aku' yang kelak menyaksikan pentas siloka -- tentunya kecuali jika Anda mengambil jalan pintas dengan mengakui determinisme dan fatalisme.
Bila Anda masih bersikeras untuk mencaritahu, maka satu-satunya penjelasan yang bisa saya sampaikan secara sederhana adalah dengan meminjam wacana tentang penciptaan alam semesta sebagai analoginya.
Siloka
Dia sudah di sini
jauh sebelum Adam menamai para mahkluk
Dia masih dalam petapaannya
selagi Kalam menulis surat-surat tugas
Dia masih tertidur
manakala Kun dan kembarannya Fa-yaknu
menasbihkan kedatangan mimpi-mimpi-Nya
Dia bersaksi atas perjumpaan
Tuhan dengan nur Muhammad
"Aku adalah rahasianya."
demikian sang Dalang membuka babak
kesekian
Apa? Anda masih ingin jawaban yang lebih gamblang padahal siloka itu akan selalu menjadi bahasa kias? Kalau begitu, mari terlebih dahulu kita ber-silih-asih, mohon doakan saya agar dapat menyelesaikan skripsi sebaik-baiknya, sehingga tahun ini saya bisa merampungkan seluruh perenungan ini menjadi sebuah buku yang berjudul 'Demikian Sabda Si Ijunajati'. Al-Fatihah! An-Nas!
Referensi
Salahudin, Asep. (2017). Sufisme Sunda Hubungan Islam dan Budaya dalam Masyarakat Sunda. Bandung: Penerbit Nuansa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H