Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Middlesex": Kedalaman Batin Sosok yang Lain (The Other)

31 Oktober 2019   13:48 Diperbarui: 31 Oktober 2019   14:20 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel karangan Jeffrey Eugenides[i] ini bukan sekedar bercerita tentang 'karma' keluarga Stephanides yang terjalin melalui hubungan incest antara sepupu, sampai metamorfosis cucu perempuan bernama Calliope Helen Stephanides (Callie) menjadi remaja laki-laki yang memanggil dirinya Cal. Jangan terkecoh dengan berbagai kisah romantis dan tragis yang melukiskan keluarga Stephanides dan orang-orang terdekat mereka, sebab ini adalah kisah tentang sosok 'the other' dalam wujudnya yang paling ambigu, melegenda, dan tidak dimengerti: manusia hermaprodit. 

Selain dari sosok Cal, wacana yang mengonstruksi the other dalam novel ini berkaitan dengan imigrasi keluarganya dari Smyrna ke Amerika Serikat, potret kehidupan orang kulit hitam yang puncaknya adalah tragedi berdarah 1967 di Detroit, pergerakan Nation of Islam yang dipimpin oleh Fard Muhammad sampai Malcom X, juga orang-orang yang senasib dengan Cal dan menjadi tontonan turis mesum di San Fransisco. Dengan gaya penceritaan yang jenaka dan imajinatif, Jeffrey Eugenides menyulam fakta sejarah dan  mitos Yunani Kuno dalam mewujudkan sosok-sosok the other tersebut.

 Dari kacamata Desdemona, nenek Cal, yang mengabdikan hidupnya pada peternakan ulat sutra, sosok the other merupakan orang-orang yang terusir dari kampung halamannya. Sebagaimana perjalanan sejarah ulat sutra yang dibawa diam-diam oleh biksu ke dalam tongkatnya dari Cina ke India, kemudian digambarkan oleh imigrasi Desdemona dan Lefty (adik yang menikahinya) ke Amerika Serikat usai Smyrna diserbu oleh tentara Turki pada masa perang dunia pertama. Dunia kehidupan the other yang bisa kita saksikan dari keyakinan Desdemona dan pengetahuannya tentang ulat sutra adalah keterasingan mereka setelah berada di negeri lain. 

Di bagian awal kita dapat menemukan gambaran tersebut melalui kontras antara keyakinan Desdemona pada mitos dan bakat meramal yang diamatinya dari perilaku ulat sutra, dengan keyakinan putranya, Milton, yang mana merupakan produk kemajuan saintifik di zamannya. Namun keterasingan sosok the other dikukuhkan dengan ketidakcakapan Desdemona dalam berbahasa Inggris sampai usia tua, kebingungan dalam menjalani kehidupan di Detroit, dan mempertahankan gaya hidup 'kolot' jika dibandingkan dengan  kerabatnya, Sourmelina, yang kecenderungan biseksualnya menjadi bahan digunjingan di kampung halamannya, akan tetapi di Amerika hal itu dianggapnya sebagai bagian dari identitas wanita modern.

Bagi Desdemona sendiri, realisasi atas keterasingan the other yang juga adalah dirinya dialami pada kehamilan pertamanya, dari menyaksikan drama Minotaur hingga pemeriksaan oleh Dr Philobosian, Desdemona mengalami kecemasan dan bayang-bayang hukuman dari Tuhan gara-gara perkawinan sedarah yang memberinya mimpi buruk tentang bayi setengah manusia setengah monster. 

Pada titik ini, sosok the other bukan lagi perkara identitas seperti sebelumnya, tetapi eksistensial yang membuatnya merasa diposisikan dari manusia seutuhnya menjadi sub-human. Kesan faktisitas (fakta-fakta tentang keberadaan yang di antaranya seperti poin-poin dalam daftar riwayat hidup) semacam itu tidak melulu berasal dari pengalaman pribadinya, melainkan juga karena keterlibatan secara tidak langsung dengan Nation of Islam dibawah kepemimpinan Fard Muhammad. Nation of Islam sendiri merupakan gerakan muslim kulit hitam yang didirikan pada tahun 1930 berdasarkan ajaran Islam tradisional dan ideologi nasionalis kulit hitam. 

Di bawah pengaruh tokoh seperti Fard Muhammad dan terutama Elijah Muhammad, gerakan ini menekankan pentingnya supremasi orang kulit hitam di atas orang kulit putih berdasarkan mitos seperti 'penciptaan' ras kulit putih oleh ilmuan kulit hitam bernama Yakub yang dikehendaki Allah untuk berkuasa selama 6000 tahun, serta keyakinan bahwa Fard Muhammad adalah 'nabi' sekaligus sang Imam Mahdi[ii]. Novel ini sendiri menyampaikan kedua informasi tersebut bersamaan dengan penggambaran Fard Muhammad yang karismatik, namun misterius karena hampir tidak disaksikan oleh Desdemona secara langsung. 

Selama bekerja untuk Nation of Islam, Desdemona diposisikan sebagai yang lain dari the other. Pertama, karena dia bukan orang kulit putih dan dianggap memiliki hubungan kekerabatan dengan etnis Turki di Asia Minor, walau tidak seiman. Kedua, lantaran pada mulanya Desdemona tidak mendengar dengan jelas ceramah Fard Muhammad yang menyebutkan kalau ibunya yang berkulit putih adalah seorang 'iblis' yang kemudian diislamkan, begitu mengetahui tuduhan iblis ditujukan pada orang kulit putih, Desdemona di satu sisi mencemooh balik asumsi mitologis dalam ceramah Fard Muhammad, tetapi di sisi lain tersihir oleh kata-kata itu sehingga perlahan-lahan menerimanya walau tidak mengakuinya secara sadar. 

Barangkali sang penulis mengajak kita untuk merenungkan hal ini, bahwa jika selama ini bangsa kulit putih diasumsikan menciptakan kesadaran mengenai kulit hitam, hal yang sama terjadi pada orang kulit hitam yang meciptakan balik kesadaran kulit putih untuk sesamanya dan orang campuran seperti Desdemona. 

Dalam wacana Nation of Islam yang diceritakan di sini, kesadaran tentang kulit putih ditanamkan dengan perasaan bersalah dan terkutuk, Fard Muhammad mengakui kemajuan teknologi dan pengetahuan orang kulit putih, namun membalikan pengetahuan tersebut pada sang penemunya untuk mendiagnosis 'kecacatan' dan inferioritas orang kulit putih dibandingkan dengan orang kulit hitam, pada akhirnya menerima mitos bahwa orang kulit putih memang buatan ilmuan kulit hitam terkutuk yang bernama Yakub. Dalam kasus Desdemona, kesadaran tersebut ditanamkan melalui rasa bersalahnya karena telah menikahi adik sendiri, dan kekhawatiran pada risiko dari hubungan terlarang tersebut terhadap perkembangan fisik dan mental anak-anaknya.

 Amerika yang dilihat Desdemona lain dengan Amerika di mata Lefty. Dari kisah kakek Cal ini, kita dapat melihat bagaimana the other mencoba beradaptasi dengan lingkungannya, namun pada satu titik tidak memiliki masa depan dan mengalami regresi ke akar budayanya yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Apabila Nation of Islam adalah sisi gelap Amerika yang dihadapi oleh Desdemona, maka Lefty melihat wajah Amerika dari perusahaan mobil Henry Ford dan masa depresi serta berbagai kericuhan setelahnya. 

Perusahaan Ford dapat dikatakan sebagai rangkuman dari budaya Barat, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta citra peradaban modern. Dan tentu saja dibandingkan dengan kakaknya, Lefty dapat mempelajari bahasa Inggris dengan mudah, lulus ujian, hingga mampu mempraktikan tatakrama orang Amerika. Sayangnya bagi manusia Amerika yang lebih beradab semua hal itu belumlah cukup. Dengan semangat kapitalis yang berkedok adab dan kepedulian pada karyawan, dua orang dari Bagian Sosiologi Ford melakukan pemeriksaan kelayakan tempat tinggal Lefty dan mengajarinya cara menyikat gigi (hal. 167). 

Di bagian lain, Lefty mengalami metamorfosis dari the other menjadi orang Amerika dalam pertunjukan untuk merayakan kelulusan siswa Ford English School. Dalam pertunjukan ini, para siswa tampil dengan mengenakan pakaian nasional masing-masing sambil berlayar di sebuah kapal lalu menceburkan diri ke dalam kuali, setelah ini mereka semua melepas pakaian masing-masing dan menampilkan dandanan gaya Amerika yang ditutup dengan rangkulan bersama dan praktik tata krama (hal. 171).

Adaptasi menjadi orang Amerika yang dilakukan Lefty pada akhirnya adalah produk dari dirinya sendiri, alih-alih perusahaan Ford yang memecatnya karena alasan keamanan. Di titik ini, Lefty belum menyisihkan akar budaya Yunani yang memposisikannya sebagai the other, dia mencoba memanfaatkan kemampuan bahasa Yunaninya untuk jadi penterjemah tetapi gagal, walau begitu dia meneruskan kegiatan menterjemahkan teks klasik untuk dirinya sendiri. 

Usaha yang dilakukan Lefty justru membuka bar rumahan bernama Zebra Room, Amerika dalam skala kecil yang segala hitam-putihnya tidak bisa melebur. Puncaknya, terjadi pada tahun 1943 setelah setelah bertahun-tahun melayani pekerja pabrik Ford dengan segala isu yang didebatkan tanpa berpihak, kabarnya beberapa orang kulit hitam memperkosa perempuan kulit putih sehingga memicu reaksi para pelanggan lainnya. Ketika Lefty menolak untuk melayani pelanggan reaksioner tersebut, dia malah disuruh pulang kembali ke negaranya, namun Lefty menunjukan gaya Amerikanya dengan membiarkan moncong pistol untuk menggertak balik (hal. 270).

Titik di mana Lefty tidak memiliki masa depan untuk mengembangkan keamerikaannya dan berpulang ke akar budayanya adalah ketika dia terserang stroke yang merenggut kemampuan untuk berbicara, yang selanjutnya diperparah dengan ketidakmampuan untuk membuat ingatan jangka panjang baru. Pertumbuhan cucunya, Calliope, berbanding terbalik dengan masa perkembangannya yang berjalan mundur -- kembali ke kampung halaman, Smyrna. 

Di masa ini, Lefty masih menekuni penerjemahan teks klasik sambil sesekali mengutipnya dalam papan tulis kecil untuk berbicara. Kondisi the other yang satu ini tampak seperti konsekuensi nasib yang entah bagaimana akan terjadi karena dia telah memilih untuk menikahi kakaknya sendiri. Mari kita kembali ke Smyrna sebelum kakak-adik ini terusir dari rumahnya. 

Pada waktu itu, Desdemona sedang berusaha untuk menjodohkan Lefty, dia memberi saran dua calon lamaran adiknya berdasarkan majalah dewasa yang disimpan ayah mereka -- tanpa sepengetahuan sang kakak, Lefty sudah membaca majalah tersebut. Ketika Lefty mendatangi rumah mereka satu per satu, dia merasa kecewa lantaran mereka kehilangan pesona setelah lama mengenali gadis-gadis seksi dalam majalah dewasa tersebut. 

Atas ketidakpuasan tersebut, dia mencoba melamar kakaknya sendiri, memilih perwujudan akar budayanya yang tidak dibuat-buat oleh sentuhan peradaban modern dari kota metropolitan. Seiring dengan memburuknya kondisi Lefty, dia menziarahi kembali pengalaman-pengalaman setelah menjadi imigran di negeri Paman Sam, hingga berakhir menjadi adik Desdemona yang menyiapkan diri untuk melamar.

Lefty mungkin tak pernah menjadi orang Amerika seutuhnya hingga masuk liang lahat, namun hal demikian terjadi pada putranya, Milton. Si anak sulung memang tak tahu rahasia keluarga yang selalu ditutup rapat-rapat oleh Desdemona, si Ibu bahkan mengulang kembali perjodohan demi menghindari kehadiran the other yang dulu menghantuinya. 

Namun, dengan hasrat Lefty yang diwarisinya dia berhasil menikahi sepupunya, Tessy, yang juga dijodohkan oleh Desdemona kepada Bapa Mike. Milton bukan saja the other yang adaptif seperti Lefty, tetapi juga asimilatif, dalam pandangan Ali Syariati[iii], seorang asimilator tidak hanya meniru norma dan budaya lain, bahkan mencoba meninggalkan identitas budayanya sendiri.

Karakteristik asimilator pada Milton perlu dibandingkan dengan Lefty dan Desdemona. Bila sang ayah tidak memihak dalam perdebatan politik, Milton sangat memihak dan sengaja mengadakan debat mingguan. Bila ayahnya sempat mencoba mencari nafkah dengan mengajarkan bahasa dan kebudayaannya, Milton membuka usaha restoran kuliner Yunani, menyajikan bagian dari akar budayanya sebagai produk untuk dikonsumsi. 

Sedangkan terhadap pandangan ibunya, Milton sengaja melupakan amanat ibunya untuk memperbaiki gereja di sebuah desa di Yunani bila dia pulang dengan selamat setelah menjalankan tugas dari angkatan laut, dan  menganggap ritus keagamaan sebagai 'hocus-pocus' -- menegaskan kembali worldview saintifik yang mendominasi pikirannya. Dengan semua karakteristik tersebut, Milton tidak hanya mencoba meninggalkan identitas budayanya, tetapi juga melawan alam yang terlihat dari usahanya untuk mengontrol pembuahan Tessy supaya nanti terlahir anak perempuan yang diinginkannya.

Kehidupan ala Amerika yang diperlihatkan dari karakteristik sebelumnya digambarkan sebagai berikut. Milton memiliki kegemaran untuk membeli mobil baru pertahun demi status sosial. Mantra yang dipelajarinya dari orang kulit hitam saat kerusuhan tahun 1967, dan membalikan kata-kata itu pada mereka, "Masalah kami adalah kalian." (hal. 389). S

aat pindah dari Detroit ke Grosse Pointe, Milton memilih rumah yang gaya arsitekturnya barangkali terlalu berpretensi bagi orang Amerika pada umumnya (hal 400-8), seperti yang diceritakan berikut ini, "Middlesex? Adakah orang lain yang pernah tinggal di rumah seaneh ini? Sefiksi ilmiah ini? Rumah yang futuristik sekaligus ketinggalan zaman? Rumah yang lebih mirip dengan paham komunisme, kedengaran lebih baik dalam teori dibandingkan dalam kenyataannya?" 

Dalam rumah ini, barangkali Milton melihat keamerikaannya, namun dia tidak sadar bahwa rumah dengan keharmonisan alam yang dibuat-buat dan secara tersirat menyatakan bahwa teori tidak sejalan dengan kenyataan (lantaran tidak memiliki pintu yang didorong/ditarik, dan tangga yang harus didaki) mengandung petanda bahwa kedua anaknya tidak seperti yang dibayangkannya.

Cukuplah kita ketahui di sini bahwa putranya, Chapter Eleven, kemudian hari 'memberontak' kepada gaya hidup ayahnya karena salah pergaulan, dan mari kita perhatikan perhatian pada Calliope. Perubahan dirinya menjadi Cal bermula dari pubertas yang tidak menganugrahinya menstruasi dan buah dada. 

Bila kakek, nenek, dan ayahnya merupakan the other secara sosiokultural, Calliope tentunya the other secara biologis yang merasa terasing dari tubuh dan perasaannya sendiri. Usaha-usaha dirinya dan orangtuanya untuk menjadikannya seorang perempuan malah berakhir dengan kisah pelarian Cal dari operasi yang akan dilakukan oleh Dr Peter Luce, juga orangtuanya.

Menariknya, apabila Milton berusaha mengasimilasikan diri dengan kultur dan identitas Amerika, Calliope mengasimilasikan diri pada alam feminin dengan menolak diet ala Yunani yang dianggapnya menghambat proses pubertas. Calliope menemukan posisi the other dalam keambiguan dan kesulitan untuk dimengerti dengan berkaca pada tubuhnya sendiri, "tubuhku yang kurus, pinggangku yang ramping, kepalaku, tanganku, dan kakiku yang semuanya mungil tidak mengundang kecurigaan siapa pun. 

Sebagian besar orang yang secara genetis laki-laki, namun dibesarkan sebagai perempuan, melalui masa transisi yang menyusahkan." (hal. 477), menurut Calliope, kesulitan tersebut adalah mencari pakaian wanita untuk ukuran laki-laki, apabila terpaksa mengenakan pakaian laki-laki sebagai gantinya, terdapat label sosial seperti tomboy, 'perempuan-kera', atau pun 'gorila'. 

Di samping bentuk tubuhnya, suara Calliope yang terdengar seperti perpaduan flute yang nyaring dan bassoon yang bergema tidak terlalu mendukung penampilannya sebagai perempuan. Meskipun sesekali Calliope menampilkan ekspresi maskulin yang sesuai dengan pembawaan fisiknya, tanda-tanda genetik laki-laki yang tidak berhasil dimengerti baik oleh dirinya mau pun orangtuanya, membuatnya terus dibesarkan dan diperlakukan sebagai perempuan meskipun dari sudut pandang alam tersebut dia adalah sesuatu yang lain.

Alam maskulin yang belum dikenal oleh Calliope tidak datang dari perilaku agresif seperti dorongan untuk berkelahi dan kegemaran pada olah raga, selain itu juga tidak dimengerti dari ketertarikannya pada perempuan dan kepuasan setelah mendapat ciuman pertama dari tetangga perempuannya. Pada periode ini, dia masih memposisikan diri sebagai perempuan, belum melihat kemungkinan untuk menempati posisi laki-laki yang mulai terbuka saat berkenalan dengan cinta pertamanya. 

Ketidakmampuan Calliope untuk terbuka pada alam maskulin terlihat ketika dia dijahili oleh kakaknya yang menyebutkan istilah tindakan persenggamaan dalam bahasa latin, si adik meresponnya dengan perasaan jijik dan menuduh kakaknya sebagai 'jorok'; di lain waktu, Calliope bisa membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas seks dengan 'Objek Abstrak', gadis yang disukainya, secara tidak langsung menempatkan diri dalam posisi laki-laki namun tidak terlihat demikian lantaran dia masih tidak memahami perasaan suka pada temannya itu. Dengan cerdik, sang penulis menempatkan ketidakmampuan Calliope untuk melihat segala hal itu sebagaimana perannya dalam drama sekolah, Tiresias, si peramal yang buta.

Puncaknya, Calliope mengenal alam maskulin tanpa diiringi perasaan sebagai the other karena mengganggap kesadarannya merasuk pada tubuh Rex yang sedang menggagahi gadis pujaannya. Kondisi yang dianggapnya sebagai 'ekstasis', bukan rasa bahagia atau orgasme, melainkan perpindahan perasaan dan jiwa seperti yang dialami oleh para Oracel dari kuil Delphi (hal. 582). Dalam kondisi tersebut, Calliope tidak merasa bersalah atau pun mempertanyakan hasratnya. 

Akan tetapi, saat kembali pada tubuhnya yang sedang dijamah oleh Jerome, kakak Objek, dia mulai melihat alam maskulin dari posisinya sebagai perempuan karena penetrasi yang dilakukan oleh Jerome menyentuh penisnya yang tersembunyi. Bahkan Calliope dapat melihat alam maskulin ketika dikepung teror pikirannya sendiri, di saat dia mengira kalau Jerome dan Objek akan menjauhinya lantaran diketahui sebagai the other yang hanya dapat hidup dalam 'pelarian', namun pikiran tersebut terpatahkan dengan melihat senyuman Jerome yang diterjemahkannya sebagai kebanggaan khas anak laki-laki yang sudah 'berpengalaman'.

Hasrat tak wajar kembali membebani pikirannya lantaran Calliope mulai menyalurkannya sendiri dari posisi sebagai perempuan pada si Objek yang sedang tertidur. Sebagaimana Tiresias yang buta, dan dirinya the other yang ambigu serta terselubung dari segala pengertian, penjamahan pada tubuh Objek dilakukannya dalam kegelapan kamar tidur, di antara kenyataan dan mimpi. 

Melazimkan perilaku tersebut sebagai tindakan coba-coba ala remaja. Berbanding terbalik ketika dilakukan secara sadar dan atas izin Objek, dia belum bisa menempati posisi laki-laki tanpa dianggap the other oleh orang-orang, meskipun hasrat tersebut menjadi masuk akal dan dibenarkan baik secara biologis, psikologis, dan moral. Keputusan Calliope untuk mempertahankan status quo pada akhirnya dikonfrontasikan dengan sosok Jerome berkostum vampire yang memergoki kecabulannya. 

Penggambaran yang terkesan kartunis, ketika Calliope dikejar-kejar vampire setelah mereka berkelahi, sang gadis setengah laki-laki tampak diburu oleh perwujudan alam maskulin yang selalu dikiranya sebagai the other yang menerornya, sebab posisi tersebut seakan-akan baru bisa diperolehnya, jika dan hanya jika, dia 'mati' terlebih dahulu dan dibangkitkan secara tak wajar -- bersifat anti alam. Dan kematian pun mendekatinya...

 Singkat cerita, Calliope terlahir kembali sebagai laki-laki, sesuatu yang tidak diharapkan Milton sehingga mempertemukan mereka pada Seksolog bernama Dr Peter Luce. Selama pemeriksaan, dia berusaha meyakinkan dirinya sebagai anak perempuan, dengan memenuhi harapan sang ayah dia terhindar dari posisi the other. Namun pada akhirnya, dia harus merangkul posisi tersebut karena dia menemukan bahwa alam feminin yang dihuninya selama ini adalah rekaya, kebohongan, dan manipulasi. 

Seperti yang disinggung sebelumnya, rekayasa tersebut merupakan perbuatan Milton. Sedangkan kebohongan yang dimaksud selanjutnya adalah kebohongan yang dilakukan oleh Callie secara sengaja untuk tetap menjadi anak perempuan ayahnya (hal. 644-5). Sementara manipulasi adalah keputusan untuk operasi kelamin yang ditawarkan oleh Dr Peter Luce supaya kliniknya mendapat pemasukan lebih.  Dengan realisasi atas kondisi tersebut, Callie memilih untuk tetap menjadi Cal dan melarikan diri dari keluarganya, melakukan perjalanan seperti kakek-neneknya menuju the unknown other.

 Selama berkenalan dengan alam maskulin, 'hantu-hantu' dari masa lalu mengikutinya, sosok the other dalam figur kenalan homoseksual yang memberinya tumpangan, sampai dengan orang hermaprodit atau transgender lainnya. Bahkan dalam perjalan itu Cal sempat hidup bersama the other lainnya, remaja pelarian yang menjadi gelandangan, memiliki ikatan bersama berdasarkan grup band rock The Grateful Dead dan buku Siddharta karangan Herman Hesse. Sampai akhirnya berakhir di San Fransisco untuk menjadi tontonan di klab Sixty-Niners dengan nama panggung, 'Dewa Hermaproditus', didampingi dua putri duyung, Zora, laki-laki bertubuh bidadari lantaran menderita insensitifitas androgen, dan seorang waria bernama Carmen. 

Tentu saja semua ini merupakan gambaran dari marginalitas the other, namun dari lensa ini kita mendekati the other dalam wujud yang lebih jinak secara mitologis. Siapakah Hermaproditus itu? Pria tampan yang digoda peri air, tenggelam dalam nafsu si peri sampai akhirnya mereka menjadi satu entitas (hal. 754). Sejak kapan hermaprodit ada di dunia ini? Menurut Zora, sejak kemanusiaan itu ada, salah satunya digambarkan oleh alegori Plato tentang gender yang pada mulanya manusia 'kembar siam' pria-wanita, yang kemudian terpisah untuk menyatukan diri kembali. 

Dari sudut pandang tersebut, tampaknya the other adalah 'laki-laki' dan 'perempuan' yang terpisah-pisah daripada hermaprodit yang terbebas dari tuntutan untuk bereproduksi, lebih unggul secara spiritual, sehingga pada masyarakat zaman dulu mereka adalah seniman, tabib, dan shaman (hal. 751-2). Tetapi pada masyarakat modern, hanya pesona mitologislah yang bertahan, sisanya the other ini dibayang-bayangi oleh eksplotasi baik dalam industri pelacuran mau pun model.

Untuk meringkas keseluruhan topik ini, cukuplah dikatakan bahwa the other (dari golongan apa pun) merupakan bagian kemanusiaan yang hidup dalam pelarian dan mengalami tuntutan untuk berintegrasi dengan masyarakat budaya tertentu, dengan mengorbankan identitas diri seperti yang dilakukan Lefty dan Milton, atau menemukan kembali pemahaman atas identitas diri tersebut dan menerima sepenuhnya seperti Cal. 

Novel setebal 812 halaman ini tentu perlu dibaca oleh semua orang, tetapi novel ini juga kado istimewa bagi Anda yang mengambil kuliah ilmu psikologi, khususnya mendalami psikologi gender (seandainya saja saya membaca novel ini ketika mengontrak mata kuliah itu). Selain itu, novel ini diterbitkan dengan baik, biasanya saya bisa menemukan typo dengan mudah tapi tidak kali ini, dan terjemahan yang dilakukan oleh Berliani M. Nugrahani perlu diacungi jempol -- lancar dan asik untuk dibaca sampai lupa waktu. Seandainya masih ada toko buku yang menjual novel ini, atau diterbitkan kembali, jangan ragu untuk membelinya!

 

Catatan Akhir:

[i] Eugenides, Jeffrey. (2007). Middlesex Pencarian Jati Diri Seorang Manusia Berkelamin Ganda. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta

[ii] Melton, G. G. (1998, Juli 20). Nation of Islam. Retrieved from britannica.com

[iii] Syariati, Ali. (2017). Sejarah Masa Depan. Yogyakarta: Karkasa, hal. 74.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun