Sebetulnya ini hanyalah tulisan yang tidak sempat saya publish di blog pribadi pada tahun lalu. Dilihat dari kontennya secara garis besar tulisan ini hanya pengalaman pribadi, namun menjadi penting untuk dibagikan karena  terdapat suatu wacana mengenai kesenian dan kondisi masyarakat, khususnya di kota Bandung.Â
Pada rabu malam 4 oktober 2014 lalu, saya mendampingi Kang Zulfa Nasrullah -- senior di ASAS yang sedang menjadi penanggung jawab untuk kegiatan seni Bandung. Malam itu kami berdiskusi di teater Celah-Celah Langit di belakang terminal Ledeng untuk membahas berbagai persoalan mengenai Seni Bandung. Saya bersyukur dapat ikut hadir dalam diskusi tersebut karena mendapat banyak wawasan, mulai dari sejarah Ledeng dan sekitarnya, permasalahan dalam pementasan seni (selain seni Bandung), sampai dengan khasiat berbagai jenis madu.
Mari kita mulai dari seni Bandung, kegiatan ini masih berlangsung hingga 24 oktober  2017. Persoalan yang dibicarakan malam itu adalah soal penyelenggaraannya yang harus dilakukan secara hati-hati, efektif, dan tertib. Pertama-tama apa yang dibicarakan merupakan persoalan teknis yang mendukung kegiatan workshop menulis dan mural sastra dengan menghadirkan elemen kesenian lokal, bring-brung.
Masyarakat sekitar sudah familiar dengan hal tersebut sehingga mengangkatnya ketika membuat karya tentang Ledeng. Namun ada kendala di sini, pertama bring-brung biasanya dibawakan oleh sesepuh dari generasi sebelumnya yang saat ini sudah tinggal di tempat terpisah. Belum lagi ada syarat-syarat yang perlu dipenuhi sebab sudah menjadi tradisi, seperti penentuan tanggal, dan instrumen musiknya sendiri mendapat perlakuan khusus dalam persiapannya.
Persoalan lainnya adalah menyangkut masa depan seni Bandung. Bagi Anda yang kelahiran Bandung dapatkah menyebutkan apa kegiatan seni yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya? Bila seni Bandung tidak berlanjut, maka entah sampai kapan kota Bandung yang serba nyeni ini bisa memiliki agenda kegiatan berkesenian yang khas.
Peran pemerintah tentu sangat diperlukan kalau kita tak mau ketinggalan dari Yogyakarta dan Jakarta. Mengenai eksistensi seni Bandung, ada dua hal yang digarisbawahi dari pernyataan pak Iman: keberadaan perusahaan swasta dan tertib administrasi. Sebagai kegiatan yang mendapat alokasi dana di atas 1 M, tentu tertib administrasi merupakan hal yang harus diperhatikan dan akurat dalam perhitungannya.
Lalu apa pengaruh keberadaan perusahaan swasta yang disinggung sebelumnya? Berdasarkan keterangan pak Iman, kebanyakan kegiatan seni yang sudah mapan seperti di Jakarta, Yogyakarta hingga Melbourne misalnya terjadi berkat dukungan dari pemerintah. Sedang kondisi dalam seni Bandung (hingga diskusi kemarin), dukungan tersebut masih berada di atas kertas, belum ditandatangani. Sedangkan selama ini mencari sponsor pada perusahaan swasta bagaikan surat salah alamat. Lantaran (dicurigai) ada kebijakan yang mempersulit dana untuk menyelenggaraan kesenian.
Selain kesulitan dalam menyelenggarakan kegiatan seni, kondisi kota Bandung hari ini pun dinilai masih kurang mendukung untuk kegiatan yang berorientasi pada kesenian. Kondisi tersebut dapat dilihat dari kepungan tempat hiburan modern seperti bioskop dan pusat perbelanjaan yang ampuh menarik minat anak muda, maupun masyarakat dari kalangan menengah ke atas.
Dalam sesi diskusi ini, pak Iman Soleh memberi perhatian khusus pada keberadaan bioskop. Kami diminta membayangkan berapa banyak uang yang dihasilkan 1 bioskop dalam sekali tayang, kemudian dikalikan dengan jumlah bioskop yang ada di Bandung. Meskipun berupa perhitungan kasar, keuntungan yang diperoleh satu bioskop saja mengkerdilkan jumlah dana untuk kegiatan seni Bandung ini. Dan besarnya keuntungan tersebut membuat bioskop menjamur di kota ini. Kontras sekali dengan kondisi teater di Bandung, misalnya Rumentang Siang di Jl. Baranang Siang No.1.
Sudah sulit mendapatkan dana, dan dihadapkan dengan kondisi yang tidak mendukung, apakah masih terdapat jalan untuk mewujudkan Seni Bandung pertama? Ada, salah satunya membuat pameran lukisan sekaligus menjual karya-karya yang dipamerkan. Pak Iman bersama teman-teman seniman lain berjuang untuk menghasilkan karya dan menjualnya, walau jumlah keuntungannya belum juga mencapai target.
Waktu itu saya belum ngeh kenapa kita mesti repot-repot melakukan kegiatan tidak menghasilkan profit sekaligus ditujukan untuk masyarakat kota yang apatis pada seni. Sekarang saya sadar bahwa inilah cara para seniman menyuarakan aspirasi rakyat kecil sekaligus memberi kontribusi untuk masyarakat di sekitarnya.