Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bandung Hari Esok

7 Juni 2018   12:04 Diperbarui: 7 Juni 2018   12:21 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepulang ber-backpaker dari Yogyakarta sekaligus mengikuti perkuliahan filsafat di Universitas Gajah Mada, kegelisahan dan ketidaksukaanku pada kota Bandung menjadi jelas. Selama di Yogyakarta, saya mengelilingi kota dengan menumpang ojek, perjalanan diisi dengan perbincangan yang tentu saja Bandung adalah salah satu topiknya. 

Selama mengobrol, saya sadar bahwa saya sedang menjelek-jelekan kota kelahiranku sendiri. Tapi semua itu merupakan ekspresi kekecewaanku pada kondisi Bandung hari ini, sekaligus kekhawatiran pada masa depan 'Paris van Java' itu sendiri. Terkadang saya berangan-angan untuk memiliki rumah yang jauh dari kota ini -- sebuah keinginan untuk melarikan diri.

Namun, setelah perjalanan ini saya mengerti mengapa saya harus bertahan di sini, dan apa yang harus kucari, apa yang harus kubuat untuk membuat kota yang memikat para pendatang ini menjadi tempat yang lebih baik.

Meskipun baru dua kali ke Yogyakarta, dengan total menghabiskan waktu 10 hari, banyak yang kukagumi dari kota pelajar ini. Salah satunya kehidupan masyarakat di sana, entah mengapa saya ikut merasa tenang manakala melihat orang-orang duduk lesehan di sekitar angkringan, menikmati kebersamaan mereka sampai larut malam. 

Bagian lain dari kehidupan masyarakat yang membuatku kagum adalah kearifan lokal yang tampak berintegrasi dengan keseharian masyarakatnya. Setidaknya menurut pengamatanku sendiri, saat menemui arca-arca di sudut kota dan berbincang-bincang dengan tukang ojek yang mengantarku (semoga dalam kesempatan lain saya bisa mengeksplorasi lebih jauh tentang kearifan lokal ini). 

Saat diantar menuju Shopping Centre, mas tukang ojek menjelaskan padsaya perihal festifal kesenian yang didanai oleh pemerintah. Setahuku festival seni di Yogyakarta merupakan acara rutin setiap tahun. Lain dengan di Bandung yang baru digagas dengan acara 'Seni Bandung' 2017 lalu yang menemui banyak kendala, pendanaan salah satunya. Padahal banyak seniman Bandung yang patut diapresiasi, kalau pun ada ruang untuk itu sayangnya tidak dilaksanakan sebagai acara kolosal se-Bandung. 

Sambil terus melaju, saya menceritakan kembali tentang kesulitan dana Seni Bandung yang kuketahui dari pertemuan bersama seniorku, kang Zulfa, dan bapak Iman Soleh, seniman teater 'Celah-Celah Langit' yang bertempat di belakang terminal Ledeng. 

Ucapan paling berkesan dari mas tukang ojek yang tak sempat kutanyakan namanya ini, ialah "jangan sampailah kita seperti orang-orang modern yang jauh dari budaya sendiri... tak apa kota kami tidak memiliki gedung-gedung megah (seperti pusat perbelanjaan dan tempat hiburan) asal (ke)seni(an) kami terjaga, supaya kelihatan kalau inilah masyarakat kami."

Di sela-sela perbincangan soal Bandung, saya sempat menanyakan di mana saja bisa kutemukan mini market. Lain sekali dengan di Bandung, mini market bisa ditemui dengan mudah, bahkan saling bertetangga! Rupanya ada aturan yang membatasi kehadiran mini market tersebut, "kasihan yang punya warung mas". Ya, saya sangat setuju -- walau sampai mengetikan semua ini saya juga termasuk pelanggan mini market daripada warung, sialnya si mini market ini menarwakan banyak pilihan dan kalau beruntung ada kasir cantik yang buat pandangan terpaku! Meskipun begitu, saya sadar betapa bergantungnya keperluan belanja pada mini market ini. 

Bandung mungkin rumah untuk seluruh warganya, tapi diam-diam menelantarkan bahkan mengusir warganya melalui persaingan, kesenjangan, dan ketidakadlian. Berapa banyak mini market yang menjamur dan warung yang terpaksa tutup tiap tahunnya? Berapa banyak orang-orang yang bergantung (dibuat bergantung) pada mini market ini? Ini salah satu pertanyaanku untuk Bandung.

Menjelang pemilihan walikota baru, saya harap tulisan ini mewakili aspirasi dan harapan masyarakat yang menginginkan perubahan untuk Bandung yang lebih baik. Bandung hari esok yang seperti apa?

Someah ka wargina. Saya pernah melihat baliho di tiang fly over Pasopati bergambar bapak-bapak yang tersenyum dengan teks yang kira-kira berbunyi "Warga Bandung mah someah". 

Teks tersebut mungkin ada benarnya, dan sejak dulu memang begitu. Namun saya melihat bahwa ada hal lain yang lebih pas untuk diiklankan dan menarik pendatang, misalnya kesenian lokal -- eh, ada yang tahu apa itu? Sudahlah, balik lagi ke someah, saya kira karakter masyarakat bukan untuk dipajang, tapi ditemukan secara langsung lewat interaksi sosial. Ketika dipajang dalam baliho, dan disejajarkan dengan baliho lainnya, ada sebuah wacana yang ingin dibidik untuk membangun kesan tentang kenyataan hidup warga kota Bandung. 

Keberhasilan iklan ini adalah saat pandangan pendatang atau wisatawan yang mengafirmasi bahwa warga Bandung memang someah, dan menjadi semakin nyata pada warganya. Apa yang terlihat secara jelas ini sayangnya menutupi sisi lain, kondisi kotanya itu sendiri, apakah Bandung someah pada warganya? Malah yang sekarang terlihat ialah saking someah-nya warga, justru penggusuran terjadi di mana-mana? Kondisi ini mungkin jauh kenyataan yang dipandang oleh pendatang dan wisatawan, memang bukan urusan mereka pula, tapi lahan yang diambil dan dijadikan bandara, apartemen, hotel, akhirnya belum tentu dinikmati oleh warga kami yang someah ini. 

Semoga Bandung hari esok semakin ramah, bukan dengan menyediakan banyak kafe dan tempat makan, mini market, dan taman-taman pelipur lara, tetapi menjamin kebutuhan papan untuk warganya dan membangun lingkungan tempat tinggal yang lebih baik. Ramah pula pada anak-anak yang terpaksa bermain layangan dan sepak bola di 'taman beraspal'.

Kalau saya berbicara lebih banyak keburukan dan kekurangan kota Bandung, mungkin karena memang banyak hal yang harus dibenahi. Namun, saya tak lupa dengan hal-hal yang syukuri dari kota Bandung. 

Sewaktu loka latih Seni Bandung, kami diminta oleh pemateri untuk menyebutkan tiga hal yang baik atau buruk tentang kota ini. Saya menyebutkan cuaca sejuk, kondisi alam, dan D'lempis -- komunitas olah raga lempar pisau. Komunitas mungkin salah satu aspek yang membuat saya yakin bahwa Bandung memang juara. 

Komunitas-komunitas yang saya kenal di antaranya Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), Sahabat Museum Konfrensi Asia-Afrika, komunitas Aleut, Bengkel Seni Budaya Sunda, Caf Philosophique IFI Bandung, Komunitas Peduli Skizophrenia Indonesia (KPSI), Relawan Jari, dan Warung Imajinasi. Belum lagi eksistensi berbagai lembaga nonprofit mulai dari yayasan sampai lembaga penelitian. 

Tidakkah semua ini merupakan sumber daya yang potensial bagi kota Bandung, terutama bila ingin mewujudkan gagasan tentang kota edukasi dan kreatif? Saya mendambakan suatu hari nanti, di taman-taman pelipur lara atau teater Rumantang Siang, atau di mana pun di kota Bandung, ada forum yang rutin diadakan untuk saling berbagi antara komunitas atau lembaga dengan masyarakat umum. 

Hal ini juga penting bila ingin menumpas radikalisme, sebab mengarahkan pemuda-pemuda yang bersemangat untuk jihad di jalan ilmu. Tidak ketinggalan, dari komunitas-komunitas ini pula saya belajar banyak dan bertemu orang-orang luar biasa, maka akan disayangkan bila kehadiran mereka sejauh bintang yang naasnya dihalau terang lampu-lampu Bandung Trade Centre yang sanggup menabiri langit malam dari Pasteur sampai ke Cijerokaso.

Semoga saja Bandung hari esok jadi kota edukatif bukan karena -- seperti kata pak Herman Y Sutarto sewaktu intermezzo dalam perkuliahan tentang Networking (of Everything) -- "konsep kota edukatif asal ada komputer, padahal komputernya sendiri tidak berfungsi." 

Semoga saja Bandung hari esok menjadi kota kreatif yang sebenar-benarnya, sungguh betapa banyak bakat barudak Bandung yang mesti tetap tersembunyi dan semakin tersembunyi apalagi kalau bukan karena di-ninabobokan spot wi-fi salah satunya. 

Semoga Bandung hari esok... Cicaheum, Pasteur, Bale Endah, aman dari banjir hingga lusa dan seterusnya... tak ada lagi berita teroris dengan panci meleduk ataupun yang ternyata teman kuliah Anda... dan yang terpenting, semoga Bandung mendapat pemimpin yang sebaik-baiknya pemimpin... Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun