Someah ka wargina. Saya pernah melihat baliho di tiang fly over Pasopati bergambar bapak-bapak yang tersenyum dengan teks yang kira-kira berbunyi "Warga Bandung mah someah".Â
Teks tersebut mungkin ada benarnya, dan sejak dulu memang begitu. Namun saya melihat bahwa ada hal lain yang lebih pas untuk diiklankan dan menarik pendatang, misalnya kesenian lokal -- eh, ada yang tahu apa itu? Sudahlah, balik lagi ke someah, saya kira karakter masyarakat bukan untuk dipajang, tapi ditemukan secara langsung lewat interaksi sosial. Ketika dipajang dalam baliho, dan disejajarkan dengan baliho lainnya, ada sebuah wacana yang ingin dibidik untuk membangun kesan tentang kenyataan hidup warga kota Bandung.Â
Keberhasilan iklan ini adalah saat pandangan pendatang atau wisatawan yang mengafirmasi bahwa warga Bandung memang someah, dan menjadi semakin nyata pada warganya. Apa yang terlihat secara jelas ini sayangnya menutupi sisi lain, kondisi kotanya itu sendiri, apakah Bandung someah pada warganya? Malah yang sekarang terlihat ialah saking someah-nya warga, justru penggusuran terjadi di mana-mana? Kondisi ini mungkin jauh kenyataan yang dipandang oleh pendatang dan wisatawan, memang bukan urusan mereka pula, tapi lahan yang diambil dan dijadikan bandara, apartemen, hotel, akhirnya belum tentu dinikmati oleh warga kami yang someah ini.Â
Semoga Bandung hari esok semakin ramah, bukan dengan menyediakan banyak kafe dan tempat makan, mini market, dan taman-taman pelipur lara, tetapi menjamin kebutuhan papan untuk warganya dan membangun lingkungan tempat tinggal yang lebih baik. Ramah pula pada anak-anak yang terpaksa bermain layangan dan sepak bola di 'taman beraspal'.
Kalau saya berbicara lebih banyak keburukan dan kekurangan kota Bandung, mungkin karena memang banyak hal yang harus dibenahi. Namun, saya tak lupa dengan hal-hal yang syukuri dari kota Bandung.Â
Sewaktu loka latih Seni Bandung, kami diminta oleh pemateri untuk menyebutkan tiga hal yang baik atau buruk tentang kota ini. Saya menyebutkan cuaca sejuk, kondisi alam, dan D'lempis -- komunitas olah raga lempar pisau. Komunitas mungkin salah satu aspek yang membuat saya yakin bahwa Bandung memang juara.Â
Komunitas-komunitas yang saya kenal di antaranya Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), Sahabat Museum Konfrensi Asia-Afrika, komunitas Aleut, Bengkel Seni Budaya Sunda, Caf Philosophique IFI Bandung, Komunitas Peduli Skizophrenia Indonesia (KPSI), Relawan Jari, dan Warung Imajinasi. Belum lagi eksistensi berbagai lembaga nonprofit mulai dari yayasan sampai lembaga penelitian.Â
Tidakkah semua ini merupakan sumber daya yang potensial bagi kota Bandung, terutama bila ingin mewujudkan gagasan tentang kota edukasi dan kreatif? Saya mendambakan suatu hari nanti, di taman-taman pelipur lara atau teater Rumantang Siang, atau di mana pun di kota Bandung, ada forum yang rutin diadakan untuk saling berbagi antara komunitas atau lembaga dengan masyarakat umum.Â
Hal ini juga penting bila ingin menumpas radikalisme, sebab mengarahkan pemuda-pemuda yang bersemangat untuk jihad di jalan ilmu. Tidak ketinggalan, dari komunitas-komunitas ini pula saya belajar banyak dan bertemu orang-orang luar biasa, maka akan disayangkan bila kehadiran mereka sejauh bintang yang naasnya dihalau terang lampu-lampu Bandung Trade Centre yang sanggup menabiri langit malam dari Pasteur sampai ke Cijerokaso.
Semoga saja Bandung hari esok jadi kota edukatif bukan karena -- seperti kata pak Herman Y Sutarto sewaktu intermezzo dalam perkuliahan tentang Networking (of Everything) -- "konsep kota edukatif asal ada komputer, padahal komputernya sendiri tidak berfungsi."Â
Semoga saja Bandung hari esok menjadi kota kreatif yang sebenar-benarnya, sungguh betapa banyak bakat barudak Bandung yang mesti tetap tersembunyi dan semakin tersembunyi apalagi kalau bukan karena di-ninabobokan spot wi-fi salah satunya.Â