Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Politik

Parpol Post-Democracy dalam Perspektif

31 Maret 2018   11:53 Diperbarui: 3 April 2018   14:53 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh mashable.france24

Sebagai opini hasil pemprosesan sebelumnya, bila individu menggunakan opini tersebut untuk meyakinkan dirinya, maka opini tersebut hanya miliknya seorang. Namun, manakala disebarkan lewat media (dalam forum facebook misalnya) atau pada orang sekitarnya, opini tersebut menjadi opini publik. Meskipun opini tersebut tidak bersifat absolut dan individu akan memprosesnya dengan kapasitas kognitif masing-masing, terdapat kemungkinan bahwa melalui pertukaran opini terbentuk jaringan yang mengelompokan individu berdasarkan penilaian dan sentimen terhadap berbagai opini tersebut.

Lebih lanjut lagi, pembentukan kelompok dan subkelompok berbasis sentimen tersebut pada dasarnya merupakan relasi triadik ‘pox’ antara individu (dua orang aktor: ‘p’ dan ‘x’) dan informasi politik (o) sebagai objeknya (Khanafiah & Situngkir, 2004). Di dalam relasi ini, individu hendak mencapai kondisi balance daripada imbalance, dengan kata lain memiliki penilaian yang sama atas informasi politik tersebut, baik itu sama-sama suka atau tidak suka. Relasi triadik ini merupakan subkelompok, dan dalam interaksi sesungguhnya terdapat kompleksitas di mana pertukaran terjadi di antara sekelompok orang dalam tempat dan situasi yang sama. Dalam keadaan tersebut, relasi diadik dibangun dapat dibayangkan seakan aktor A pada B, atau juga C, dan D dalam satu waktu; B pada D dan E; dan, C pada D dan E. Seandainya terjadi imbalance pada subkelompok A: ” A = +”, namun “B = -“; maka A mencari relasi yang sepemahaman agar terjadi balance, misal bersama C yang juga positif. Begitu pula yang terjadi pada B, sehingga membentuk sebuah kelompok dengan subkelompok balance semua positif dan balance semua negatif.

Kurang lebih begitulah gambaran secara teoritis bagaimana oper-mengoper opini dapat membentuk kelompok berdasarkan sentimen masing-masing. Namun, penulis tak bisa mengatakan apakah jarak antara partai post-democracy dengan masyarakat atau komunitas menjadi berkurang atau tetap jauh. Akan lebih tepat kalau dikatakan bahwa jurang pemisah antara partai post-democracy dan masyarakat masih dapat terjembatani, hanya saja tidak melalui jembatan yang linear, namun dijembatani berbagai kelompok sebagai elemen dalam masyarakat, yang bisa jadi perlu dihubungkan terlebih dahulu melalui anak tangga dan lewat perantara kelompok lain. Sungguh permasalahan yang komplek.

Kesimpulan

Partai politik yang berstatus sebagai post-democracy memiliki tantangan di mana mereka perlu bekerja ekstra untuk mendapat dukungan dari masyarakat walau mapan secara finansial. Kemapanan disokong oleh jaringan korporat dalam internal partai, yang dibayar dengan keberjarakan partai pada masyarakat karena dapat mendanai dirinya sendiri. Di saat yang sama, partai juga perlu memperoleh kepercayaan masyarakat yang merasa kecewa pada kurangnya kontribusi partai politik terhadap kesejahteraan bersama. Lain dengan partai konvensional yang tumbuh bersama dukungan masyarakat dan komunitasnya. Namun bukan berarti akan hampir mustahil bagi partai post-democracy untuk memperoleh dukungan suara yang menyaingi partai konvensional. Bila melihat kembali pada kondisi di masyarakat, dukungan tersebut ditumbuhkan lewat informasi yang disiarkan oleh media dan pertukaran opini di antara individu dalam masyarakat. Di tingkat makro terlihat bahwa masyarakat terbagi atas beberapa kluster yang memiliki preferensi haluan politik yang didukungnya, yang tidak stabil dan terus mengalami perkembangan dan perubahan. Kondisi di tingkat makro pada saat yang sama dipengaruhi kondisi di tingkat mikro: proses kognitif individu dan relasinya dengan kelompok. Ketika menerima informasi politik, individu cenderung menginternalisasikannya dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya, dan sentimen. Karena di dorong oleh sentimen tersebut, maka individu mencari orang lain yang memiliki sentimen serupa, hingga terbentuk jaringan dan kelompok sosial.  Dengan demikian, melalui berbagai opini dan sentimen yang mengarahkan individu untuk berkelompok dan sampai membentuk preferensi kolektif, partai post-democracy berpeluang mendapat tempat dan dukungan masyarakat.

Daftar Pustaka

Khanafiah, D., Sartika, T. D., & Situngkir, H. (2004). EVOLUTIONARY STABLE PROPERTIES OF POLITICAL PARTIES IN INDONESIA Towards General Election ( PEMILU ) 2004 : A Case Study, 1–22.

Khanafiah, D., & Situngkir, H. (2004). Social balance theory: Revisiting heider’s balance theory for many agents, 12. Retrieved from http://arxiv.org/abs/nlin/0405041

Lodge, M., & Taber, C. S. (2016). The Automaticity of Affect for Political Leaders , Groups , and Issues : An Experimental Test of the Hot Cognition Hypothesis. Political Psychology, 26(3), 455–482.

Noor, F. (2017). Fenomena Post Democracy Party Di Indonesia : Kajian Atas Latar Belakang, Karakteristik dan Dampaknya. Jurnal Penelitian Politik, 14(2), 109–126.

Redlawsk, D. P. (2002). Hot cognition or cool consideration? Testing the effects of motivated reasoning on political decision making. Journal of Politics, 64(4), 1021–1044. https://doi.org/10.1111/1468-2508.00161

Saroh, N. I. (2018, February 14). Wacana Jargas Satu Harga Disebut Kebijakan Populis di Tahun Politik. Rilis.Id [Jakarta]. Retrieved from http://rilis.id/Wacana-Jargas-Satu-Harga-Disebut-Kebijakan-Populis-di-Tahun-Politik

Sears, D. O., Huddy, L., & Jervis, R. (Eds.). (2003). Oxford Handbook of Political Psychology. New York: Oxford University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun