Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Beyond Sexism" (Sebuah Orasi)

28 Maret 2018   10:47 Diperbarui: 28 Maret 2018   10:59 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah sebuah memorandum tentang kekeliruan turun temurun yang tak berdasar. Dalil yang seolah diturunkan langsung oleh Tuhan, dan berbunyi "laki-laki adalah subjek mutlak, sementara perempuan hanyalah 'sosok yang lain'[1].

""Halo, di mana?"

Kau menerima panggilan di ponselmu dan memulai percakapan dengan suara berat. Sangat berat. 

Barangkali telepon itu dari istri atau kekasihmu yang kau ajak tinggal serumah. Dan saat ini jelas sedang ada masalah. Tapi sepertinya bukan soal baru. Dari caramu bicara, terasa ada kejengahan yang nyaris meledak.

"Kok engga jawab?" 

Mungkin kau melarangnya keluar malam ini. Dengan kemampuan tertentu, seekor harimau bisa dijadikan penurut seperti kucing peliharaan. Tapi perempuan? Sejarah mencatat terlalu banyak lelaki hebat yang tumpas karena gagal menjinakan perempuan. John Dillinger dan Arthur Schopenhauer, contohnya.

"Kau mau main-main, ya?" 

"Oke, tanggung sendiri kalau sampai kuusir!"Adakah yang lebih mengenal tabiat Adam selain Eva? Bukankah dia, yang Tuhan lengkapi dengan perangkat bernama daya pikat sebagai ganti ketulusan, yang membujuk Adam untuk melakukan dosa pertama?"[2]

Lagi...

"Sebagian berpendapat, karena diciptakan setelah Adam, perempuan jelas merupakan mahkluk sekunder. Yang lain justru mengatakan sebaliknya bahwa Adam hanyalah sketsa kasar dan Tuhan berhasil menyempurnakan mahkluk manusia ketika menciptakan Hawa."[3]

Lalu, setelah terusir dari surga, siapa dari umat manusia yang membujuk persetubuhan dengan seksisme sebagai anak haramnya? Anak yang kemudian tumbuh untuk mengadu domba orang tuanya. Bagaimana caranya? Glick dan Fiske menyebutkan bahwa seksisme sebagai sejenis prasangka terikat dan saling bergantung di dalam kedekatan intim antara pria dan wanita[4].

Adakah yang saling mengenal satu sama lain melampaui dia sebagai pria atau wanita? Apakah seksisme itu abadi? Bagaimanakah gambaran diri seorang individu yang berada di sebrang seksisme? Mari simpan ketiga pertanyaan itu dan mengunjungi kembali kenyataan sosial yang mengkotak-kotakan laki-laki dan perempuan di satu sisi, dan meninggikan laki-laki di atas perempuan di sisi lain.

Bila kita perhatikan, seksisme tampil mengenakan dua macam topeng: hostile sexismdan benevolent sexism. Hostile sexismcenderung langsung dan vulgar. Dengan satu visi-misi, untuk mendiskreditkan gender yang berlawanan dari dirinya. Lebih jelasnya, seperti yang dikatakan Allport "antipati berdasarkan kesalahan dan generalisasi yang tidak fleksibel"[5].

Lain halnya dengan benevolent sexism, ada kesan baik yang tersurat tapi merendahkan secara tersirat. Dari kacamata laki-laki, seksisme ini mengerucutkan perempuan pada stereotipe bernada positif diikuti peran tertentu yang menjadi keharusan. Lebih jauh lagi, menjelma sebagai sistem justifikasi yang didasari gambaran kelemah-lembutan perempuan[6].

Dan tampaknya harus diakui bahwa kedua jenis seksisme tersebut telah mengalir dalam denyut nadi peradaban sampai hari ini. Di mana terdapat pola yang membagi kompetensi: laki-laki dalam sektor publik, dan perempuan menangani sektor domestik. Apabila dilihat lebih jauh lagi, tepatnya secara kolektif, terdapat pembagian budaya menjadi patriaki dan matriarki. Masing-masing menonjolkan karakter jenis kelamin tertentu, patriarki mengunggulkan maskulinitas, sedang femininitas diutamakan oleh budaya matriarki.

Sebagai suatu budaya, keduanya menyediakan perspektif terhadap suatu hal secara khas. Di mana interpretasi kita terhadap sesuatu, penilaian dan etika, berada dalam kerangka berpikir menurut budaya. Secara langsung dan tak langsung, dalam budaya segala sesuatu menjadi objeknya. Kegiatan pengobjekan ini menjadi titik tolak untuk mengungkapkan gagasan, dengan cara merujuk bagian dari suatu hal ke bagian lainnya.

Dalam tindak pengobjekan, ada dikotonomi subjek-objek. Baik pria atau wanita pada diri masing-masing merupakan subjek, barulah salah satunya menjadi objek bagi yang lain ketika saling berhadapan. Secara fenomenologis, Karl Jasper menerangkan bahwa untuk mengetahui diri, sebagian diri itu harus menjadi objek, yang kemudian merunut ke objek lainnya[7].

Berdasarkan keterangan tersebut, cara individu saling mengenal satu sama lain diniscayakan dalam tindak pengobjekan. Tepatnya di dalam keterkaitan antarobjek yang abstrak, yang belum tentu menyingkap individualitas dari seorang laki-laki ataupun perempuan. Das Umgreifende[8], demikian diistilahkan oleh Jasper, yang merujuk pada pencerapan menyeluruh bila ingin memahami esensi dari sesuatu[9].

Jangan-jangan, selama ini kehidupan tak lebih daripada drama pengobjekan?

Bicara soal drama, tentu pertunjukan tersebut menarik manakala menghadirkan konflik antara protagonis dan antagonis. Di mana dalam konflik kekuasaan antartokoh dipertanyakan. Seiring berlalunya cerita, tersingkaplah mana tokoh yang superior dan inferior. Secara tersirat, narasi kemudian bercerita tentang golongan inferior yang menjadi objek bagi golongan superior.

Sampai hari ini, laki-laki masih dibilang superior daripada perempuan. Dunia masih menunggu kapan perempuan muncul ke panggung utama, menunaikan misi kesetaraan, atau malah menjadi dominan. Tapi, apa yang membuat posisi perempuan secara relatif di bawah laki-laki? Mari kita lihat sisi lain dari pengobjekan, yaitu objektifikasi yang secara khusus ditujukan pada diri sendiri.

Dalam kasus ini menurut Fredrickson & Robert, perempuan memperlakukan tubuh sendiri sebagai objek untuk dilihat dan dievaluasi[10]. Konsekuensinya, nilai dari cara melihat dan evaluasi tersebut diinternalisasikan sehingga menjadi keyakinan mengenai diri sendiri. Inilah yang memperpanjang kondisi ketaksetaraan perempuan atas laki-laki.

Di samping itu, status istimewa pada pria menjadi andil dalam mempertahankan ketakadilan gender[11]. Posisi pria dalam kontribusi kesetaraan gender menjadi penting bila mempertimbangkan persepsi mereka terhadap benevolent sexism. Di mana pria cenderung tidak peka terhadap konsekuensinya, dan berkeinginan mempertahankannya. Barangkali seperti yang diilustrasikan oleh Glick, "wanita adalah mahkluk luarbiasa tetapi juga rentan sehingga harus dilindungi dan dipenuhi oleh laki-laki"[12], telah menjadi semacam manifesto bagi laki-laki.

Secara bersama-sama, benevolent sexism di antara laki-laki dan perempuan barangkali telah menjadi 'jurang' pembeda kekuatan yang tak terjembatani. Di hadapan mulut jurang tersebut, perempuan mengamini tindak diskriminatif pada mereka[13]. Dan lagi-lagi akibat ketaksetaraan, perempuan menempatkan dirinya dalam relasi yang berjarak dengan tubuhnya. Melalui perhatian berlebih terhadap penampilan tubuh yang mengkerdilkan potensi domain lain dalam hidupnya[14].

"Kenapa demikian keras?" berbicara arang kepada intan; "bukankah kita saudara dekat?"

Kenapa demikian lunak? O saudara-saudaraku, demikian kutanya kamu; bukankah kamu -- saudaraku?"[15]

Dengarlah pesan ini, "jadilah keras wahai perempuan! Lunakan kebebalanmu wahai laki-laki!". Ingat, laki-laki dan perempuan bagai karbon yang sama, sebagian menjadi intan, sebagian lain jadi arang, karena apa yang menempa kita. Menjadi keras di sini berarti melawan deras arus mainstream, mencapai ke hulu dan membuat anak sungai yang baru. Sedang melunakan kebebalan adalah mengakui bahwa status laki-laki di mata masyarakat adalah amanah, bukan alasan untuk mengeksploitasi.

Siapa dia yang menunggu di sebrang seksisme? Anima bagi seorang laki-laki, Animus bagi seorang perempuan, atau malah sosok malaikat yang tak mengenal jenis kelamin?

Siapa pun itu, ia menunggu untuk ditemukan. Jejaknya akan kelihatan manakala 'katarak' seksisme kita sisihkan terlebih dahulu. Seperti iqrayang difirmankan Tuhan, mulailah dengan membaca tanda-tanda seksisme itu sendiri. Crosby, dkk, melalui penelitiannya di Amerika dan Jerman, menemukan bahwa keawasan dan kepekaan pada insiden seksis sehari-hari mengurangi keterlibatan dan dukungan terhadap seksisme[16]. Pada laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan kemampuan mencerap dan mengawasi insiden seksis, di mana laki-laki kurang memiliki perhatian dan kepekaan untuk tugas ini.

Namun, laki-laki memiliki potensi lebih baik untuk melawan seksisme ketika kesulitan tersebut bisa diatasi. Dalam dimensi status sosial dan hubungan sosial, terdapat unsur prasangka seksis yang dipersepsikan secara netral. Salah satu bentuk prasangka dalam dimensi status sosial adalah keyakinan yang dilegitimasi. Sebagai produk struktural, keyakinan yang dilegitimasi ini mendorong motif untuk penolakan karena karena adanya bias yang menghalangi peluang golongan subordinat untuk dapat produktif[17].

Dari segi hubungan sosial, kecenderungan laki-laki untuk berelasi secara self-character, berbanding lurus dengan penolakan prasangka seksis[18]. Alih-alih melihat relasi antarlawan jenis sebagai keuntungan yang berat sebelah, di sini maksud dari relasi itu sendiri dikembalikan pada diri individu.

Langkah selanjutnya adalah bagian yang krusial, terutama bagi laki-laki, untuk mencapai di sebrang seksisme. Satu kata empati. Coba diingat lagi, sudah berapa kali dosen kita mengingatkan hal ini? Empati menjadi teknik yang ampuh karena pada dasarnya mengarahkan kita untuk mengambil posisi dan perspektif orang lain. Melihat, merasakan, dan mengalami suatu hal dari perspektif orang lain. Barangkali, menjadi sulit bagi laki-laki karena kekerasan hati untuk mempertahankan status istimewanya.

Dari langkah-langkah tadi ada latihan untuk mengasah kepekaan kita. Catat dalam ingatan dan buku tulis, berbagai perilaku yang menjurus ke seksisme di sekitar kita[19]. Jangan salah, hal sepele seperti seorang pria mengajukan pertolongan pada wanita yang membawa tas belanjaan[20] misalnya, tertanam persepsi kolektif bernada seksis yang menyatakan "wanita itu rapuh".

Teristimewa untuk laki-laki yang mengedepankan logika dan duduk nyaman di 'tahta'nya. Mari ajak logikamu untuk merenungkan[21] tahta yang kau duduki itu. Biarkan refleksi atas segala anugerah yang diperoleh pecah sendirinya karena mengenali ketakadilan dari status istimewa tersebut. Biarkan tirai ilusi terangkat, dan menyingkapkan sosok perempuan yang selama ini tersamarkan. Setelah laki-laki dan perempuan dipertemukan kembali dalam keadaan 'telanjang' dari embel-embel seksis. Selanjutnya apa?

"Laki-laki bertindak sekaligus sebagai juri dan penutur, begitu halnya dengan perempuan. Yang sekarang kita butuhkan adalah malaikat -- bukan laki-laki ataupun perempuan -- namun, di manakah malaikat itu bisa kita temukan?"[22]
 

Daftar Pustaka

Anugrah, Dea. (2016). Bakat Menggonggong. Yogyakarta: Mojok.

Barreto, M., & Ellemers, N. (2005). The burden of benevolent sexism: How it contributes to the maintenance of gender inequalities. European journal of social psychology, 35(5), 633-642.

Becker, J. C., & Swim, J. K. (2011). Seeing the unseen: Attention to daily encounters with sexism as way to reduce sexist beliefs. Psychology of Women Quarterly, 35 (2), 227-242.

Calogero, R. M., & Jost, J. T. (2011). Self-subjugation among women: exposure to sexist ideology, self-objectification, and the protective function of the need to avoid closure. Journal of personality and social psychology, 100(2), 211.

De Beauvoir, Simone. (2016). Second Sex. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea.

Drury, B. J., & Kaiser, C. R. (2014). Allies against sexism: The role of men in confronting sexism. Journal of Social Issues, 70(4), 637-652.

Hassan, Fuad. (2014). Psikologi-Kita & Eksistensialisme. Depok: Komunitas Bambu.

Nietzsche, Friedrich. (2016). Senjakala Berhala dan Anti-Krist. Yogyakarta: Narasi.

Roets, A., Van Hiel, A., & Dhont, K. (2012). Is sexism a gender issue? A motivated social cognition perspective on men's and women's sexist attitudes toward own and other gender. European Journal of Personality, 26(3), 350-359.

[1] De Beauvoir, Simone. (2016). Second Sex. Yogyakarta: Narasi-Pustaka Promethea, hal. Xii.  

[2] Anugrah, Dea. (2016). Bakat Menggonggong. Yogyakarta: Mojok, hal 77-78.

[3] Simone De Beauvoir. Op. cit., hal. xxvii.  

[4] Roets, A., Van Hiel, A., & Dhont, K. (2012). Is sexism a gender issue? A motivated social cognition perspective on men's and women's sexist attitudes toward own and other gender. European Journal of Personality, 26(3), 350-359. hal. 5.

[5] Ibid

Lihat juga, Allport, G. (1954). The nature of prejudice. Reading, MA: Addison-Wesley, hal. 9.

[6] Calogero, R. M., & Jost, J. T. (2011). Self-subjugation among women: exposure to sexist ideology, self-objectification, and the protective function of the need to avoid closure. Journal of personality and social psychology, 100(2), 211. hal. 212.

[7] Hassan, Fuad. (2014). Psikologi-Kita & Eksistensialisme. Depok: Komunitas Bambu, hal. 216.  

[8] Dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi comprehensive. Istilah ini diusulkan oleh Jasper untuk mengatasi dikotonomi subjek-objek menjadi suatu ketunggalan (Lihat Hassan, hal. 216).

[9] Ibid

[10] Calogero. Op. cit., hal. 211.  

[11] Becker, J. C., & Swim, J. K. (2011). Seeing the unseen: Attention to daily encounters with sexism as way to reduce sexist beliefs. Psychology of Women Quarterly, 35 (2), 227-242. hal. 230.  

[12] Calogero. Loc. cit.

[13] Becker. Op. cit., hal 214.  

[14] Calogero. Loc. cit.

[15] Nietzsche, Friedrich. (2016). Senjakala Berhala dan Anti-Krist. Yogyakarta: Narasi, hal. 177.  

[16] Becker. Loc. cit.

[17] Drury, B. J., & Kaiser, C. R. (2014). Allies against sexism: The role of men in confronting sexism. Journal of Social Issues, 70(4), 637-652. hal. 640.  

[18] Ibid  

[19] Becker. Loc. cit.

[20] Ibid  

[21] Drury. Loc. cit.

[22] Simone De Beauvoir. Loc. cit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun