Secara bersama-sama, benevolent sexism di antara laki-laki dan perempuan barangkali telah menjadi 'jurang' pembeda kekuatan yang tak terjembatani. Di hadapan mulut jurang tersebut, perempuan mengamini tindak diskriminatif pada mereka[13]. Dan lagi-lagi akibat ketaksetaraan, perempuan menempatkan dirinya dalam relasi yang berjarak dengan tubuhnya. Melalui perhatian berlebih terhadap penampilan tubuh yang mengkerdilkan potensi domain lain dalam hidupnya[14].
"Kenapa demikian keras?" berbicara arang kepada intan; "bukankah kita saudara dekat?"
Kenapa demikian lunak? O saudara-saudaraku, demikian kutanya kamu; bukankah kamu -- saudaraku?"[15]
Dengarlah pesan ini, "jadilah keras wahai perempuan! Lunakan kebebalanmu wahai laki-laki!". Ingat, laki-laki dan perempuan bagai karbon yang sama, sebagian menjadi intan, sebagian lain jadi arang, karena apa yang menempa kita. Menjadi keras di sini berarti melawan deras arus mainstream, mencapai ke hulu dan membuat anak sungai yang baru. Sedang melunakan kebebalan adalah mengakui bahwa status laki-laki di mata masyarakat adalah amanah, bukan alasan untuk mengeksploitasi.
Siapa dia yang menunggu di sebrang seksisme? Anima bagi seorang laki-laki, Animus bagi seorang perempuan, atau malah sosok malaikat yang tak mengenal jenis kelamin?
Siapa pun itu, ia menunggu untuk ditemukan. Jejaknya akan kelihatan manakala 'katarak' seksisme kita sisihkan terlebih dahulu. Seperti iqrayang difirmankan Tuhan, mulailah dengan membaca tanda-tanda seksisme itu sendiri. Crosby, dkk, melalui penelitiannya di Amerika dan Jerman, menemukan bahwa keawasan dan kepekaan pada insiden seksis sehari-hari mengurangi keterlibatan dan dukungan terhadap seksisme[16]. Pada laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan kemampuan mencerap dan mengawasi insiden seksis, di mana laki-laki kurang memiliki perhatian dan kepekaan untuk tugas ini.
Namun, laki-laki memiliki potensi lebih baik untuk melawan seksisme ketika kesulitan tersebut bisa diatasi. Dalam dimensi status sosial dan hubungan sosial, terdapat unsur prasangka seksis yang dipersepsikan secara netral. Salah satu bentuk prasangka dalam dimensi status sosial adalah keyakinan yang dilegitimasi. Sebagai produk struktural, keyakinan yang dilegitimasi ini mendorong motif untuk penolakan karena karena adanya bias yang menghalangi peluang golongan subordinat untuk dapat produktif[17].
Dari segi hubungan sosial, kecenderungan laki-laki untuk berelasi secara self-character, berbanding lurus dengan penolakan prasangka seksis[18]. Alih-alih melihat relasi antarlawan jenis sebagai keuntungan yang berat sebelah, di sini maksud dari relasi itu sendiri dikembalikan pada diri individu.
Langkah selanjutnya adalah bagian yang krusial, terutama bagi laki-laki, untuk mencapai di sebrang seksisme. Satu kata empati. Coba diingat lagi, sudah berapa kali dosen kita mengingatkan hal ini? Empati menjadi teknik yang ampuh karena pada dasarnya mengarahkan kita untuk mengambil posisi dan perspektif orang lain. Melihat, merasakan, dan mengalami suatu hal dari perspektif orang lain. Barangkali, menjadi sulit bagi laki-laki karena kekerasan hati untuk mempertahankan status istimewanya.
Dari langkah-langkah tadi ada latihan untuk mengasah kepekaan kita. Catat dalam ingatan dan buku tulis, berbagai perilaku yang menjurus ke seksisme di sekitar kita[19]. Jangan salah, hal sepele seperti seorang pria mengajukan pertolongan pada wanita yang membawa tas belanjaan[20] misalnya, tertanam persepsi kolektif bernada seksis yang menyatakan "wanita itu rapuh".
Teristimewa untuk laki-laki yang mengedepankan logika dan duduk nyaman di 'tahta'nya. Mari ajak logikamu untuk merenungkan[21] tahta yang kau duduki itu. Biarkan refleksi atas segala anugerah yang diperoleh pecah sendirinya karena mengenali ketakadilan dari status istimewa tersebut. Biarkan tirai ilusi terangkat, dan menyingkapkan sosok perempuan yang selama ini tersamarkan. Setelah laki-laki dan perempuan dipertemukan kembali dalam keadaan 'telanjang' dari embel-embel seksis. Selanjutnya apa?