Praktik selanjutnya adalah mengurangi kecenderungan reaktif, atau memberi respon prematur terhadap keadaan. Kata reaktif saya pilih di atas impulsif, karena kata yang kedua tersebut memiliki motivasi yang bertalian dengan objeknya. Dari apa yang terlihat dalam tindakan reaktif, terdapat sesuatu yang diafirmasi. Masalahnya, penilaian terhadap yang kita afirmasi itu sendiri bersifat reaktif, sebagai sesuatu yang 'baik' begitu saja. Misalnya, ada akun yang berkomentar negatif terhadap sesuatu yang kita sukai, entah itu idola atau tim favorit, dengan membalas secara ad hominen,atau membenarkan secara ad populis, di situlah letak reaktifnya. Objeknya seolah-olah diri kita secara langsung. Dengan demikian, alih-alih 'asal bunyi' lebih tepat bila kita mencerna dan mencermati kembali suatu wacana, dan hal itu dimulai dari membaca mikro sebagai suatu latihan untuk dibiasakan.
Menuju generasi yang otentik, merupakan ajakan untuk mengatasi diri secara kreatif dan kritis. Kekurangan yang terberi dari kelisanan kita perlu diimbangi dengan keterbukaan pada teks dan mendalaminya. Kita melakukannya dengan melibatkan orang lain untuk menemukan perbedaan dan benang merah yang menyatukan tiap-tiap diri. Pada akhirnya, praktik secara interdependensi yang saya tawarkan bertujuan untuk membangun kembali semangat gotong royong pada generasi sekarang dan selanjutnya, yang kemudian menghasilkan buah karya bagi negeri ini. "Be authentic!"
Referensi
- Hoed, Benny H. (2014). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
- May, Rollo. (2004). Apakah Anda Cukup Berani untuk Kreatif? (terjemahan The Courage to Create). Jakarta: Teraju.
- Susanto, Budi (ed). (2003). Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
- [1] Susanto, Budi (ed). (2003). Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, hal. 22-23.
- Â Â Â
- [2] May, Rollo. (2004). Apakah Anda Cukup Berani untuk Kreatif? (terjemahan The Courage to Create). Jakarta: Teraju, hal. 2-3.
- Â Â Â
- [3] Hoed, Benny H. (2014). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu, hal. 329.
- Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H