Mohon tunggu...
Adesandi Detaq
Adesandi Detaq Mohon Tunggu... Freelancer - laki-laki

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Spiral of Silence" dalam Kasus Intoleransi di Indonesia

7 Januari 2019   18:00 Diperbarui: 6 Juli 2021   10:32 10821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kasus intoleransi di Indonesia (unsplash/nick-agus-arya)

Yang menjadi berbahaya iyalah isu mengenai agama atau kepercayaan tertentu sering digaungkan di daerah dengan mayoritas salah satu agama tertentu. Berkaca pada kasus pilkada DKI Jakarta dimana isu agama menjadi lebih substantif daripada ide atau gagasan mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang paling religius didunia. 

Akan menjadi keuntungan bagi kelompok mayoritas dan kerugian bagi kelompok minoritas. Selain itu banyak kasus mengenai intoleransi antar umat beragama seringkali berakhir dengan hilang begitu saja karena keengganan dari kelompok minoritas untuk melanjutkan masalah tersebut. 

Baca juga : Teroris, Intoleransi dan Ketidakbermaknaan Hidup

Kelompok minoritas lebih cenderung menghindari terjadinya konflik yang akan dihadapi karena ketakutan akan hal-hal yang akan terjadi dimasa depan. Padahal seperti yang telah dipaparkan pada bagian awal tulisan ini bahwa dalam undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945 pasal 28E ayat 2 menyatakan bahwa setiap orang berhak dan bebas untuk menyatakan sikap mengenai pendapat sesuai dengan hati nuraninya.

Spiral of Silence Theory atau Teori Spiral Keheningan berkaitan dengan rasa takut untuk mengurarakan pendapat, Apakah Teori Spiral keheningan juga berlaku di media sosial?

Dalam teori komunikasi, teori spiral keheningan atau Spiral of Silence Theory merupakan bagian dari kajian ilmu komunikasi yang berkaitan dengan politik. Teori Spiral Keheningan dikemukakan oleh Elisabeth Noelle Neuman. Beliau merupakan peneliti politik di jerman dan juga merupakan wartawan pada zaman Nazi. Teori spiral keheningan menganalisis dengan mendemonstrasikan bagaimana komunikasi interpersonal dan media bersama mengembangkan opini publik. 

Dalam teori spiral keheningan, terdapat asumsi bahwa spiral keheningan dapat terjadi ketika ada ketimpangan dominasi antara opini mayoritas dan minoritas. Sehingga banyak opini yang kemudian berkembang menjadi opini publik, dan disisi lain banyak individu yang memilih untuk tidak menyuarakan opininya. Hal ini yang disebut sebagai spiral keheningan. 

Teori ini mendasarkan asumsi pada peryataan bahwa pendapat pribadi bergantung pada apa yang dipikirkan dan apa yang diharapkan orang lain, atau apa yang orang rasakan atau anggap sebagai pendapat dari orang lain. Pada umumnya orang berusaha untuk menghindari isolasi, atau pengucilan atau keteransingan dalam komunitasnnya dalam kaitannya dengan mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu.

konsep utama dari teori spiral keheningan ini adalah bahwa opini publik yang erat kaitannya dengan teori komunikasi politik. Opini publik adalah pendapat kelompok masyarakat atau pihak yang memiliki kepentingan tertentu. dalam teori spiral keheningan, terdiri dari dua premis yaitu yang pertama, orang tahu akan opini yang lazim atau umum, dan dapat diterima. 

Setiap orang memiliki indera keenam atau "Quazi-statistical sense" (indera semi statistik) yang digunakan untuk menentukan opini mana yang dapat disetujui dan mana yang tidak dapat disetujui. 

Dan premis yang kedua adalah orang akan menyesuaikan pernyataan opini mereka berdasarkan sebuah persepsi atau tafsiran. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengekspresikan opini kita dengan berbagai cara, tak selalu harus membicarakannya, kita mengenakan pin atau bros, atau menempelkan stiker dibelakang mobil kita. Kita berani melakukan itu karena kita yakin bahwa orang lain pun dapat menerima pendapat kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun