Mohon tunggu...
Politik Pilihan

'Sekolah Politik' Seperti Apa yang Bisa Bikin Orang Seperti Ahok?

23 Maret 2016   10:38 Diperbarui: 23 Maret 2016   11:13 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik antara Gubernur DKI Jakarta Ahok dengan PDIP terkait kontradiksi calon independen dengan calon yang diusung parpol adalah sebuah isu yang sesungguhnya sangat krusial dan relevan.

[caption caption="sumber foto : lintasterkini.com"][/caption]

Krusial karena menyangkut penguatan demokrasi di Indonesia maka reformasi partai adalah aspek fundamental yang sejak reformasi 1998 sampai saat ini masih terasa terabaikan.

Partai politik, dan para politisi, kerap dicitrakan negatif dan persepsi publik terhadap mereka juga akibatnya semakin menurun. Padahal sistem demokrasi yang sehat bersandar pada sehatnya partai politik dalam menjalan fungsi dan perannya di masyarakat.

Ketika Ahok menolak untuk dicalonkan melalui PDIP dan lalu banyak anggota PDIP meradang saya pikir itu suatu kewajaran yang baik. Hal ini harus menjadi pelajaran bagi PDIP dan partai-partai lain bahwa mereka harus lebih serius lagi dalam membenahi internal partai khususnya sejak proses rekrutmen, penguatan ideologi partai, realisasi program, performa kepemimpinan, etos kerja dan etika publik, serta fungsi sosialisasi politik, termasuk pula fungsi komunikasi yang aspiratif terhadap para konstituennya. Karena jika tidak maka partai akan menjadi dinosaurus. Mati akibat tidak relevan lagi, tak berguna dan gagal move on.

Kunci pembenahan ada di rekrutmen. Pada tahap awal ini sesungguhnya sangat menentukan. Perekrutan harus sungguh-sungguh didasarkan pada kapasitas, integritas dan kompetensi. Jangan sampai hanya berdasarkan suka atau tidak suka, dekat atau tidak dekat, dan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat KKN. Kader partai pada akhirnya akan ditempatkan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa. Mereka harus teruji baik, sehat, berkualitas, dan punya komitmen kebangsaan.

Pengalaman mantan Bupati Ogan Ilir Sumatera Selatan yang tertangkap narkoba menunjukkan bukti betapa partai tidak boleh sembarangan melakukan rekrutmen dan regenerasi politik tanpa melalui proses seleksi politik yang benar, sistematik, dan lurus.

Jika rekrutmen dilakukan secara benar, ideologi dan platform partai dijalankan secara konsisten, struktur dan regulasi partai dipatuhi serta fungsi-fungsi partai yang aspiratif terhadap rakyat dilaksanakan, maka akan muncul regenerasi kepemimpinan yang berkualitas.

Indonesia saat ini adalah bagian dari dunia yang berkembang. Globalisasi, dan arus informasi yang pesat memunculkan generasi masyarakat yang berbeda. Mereka lebih terbuka, lebih egaliter, lebih demokratis, lebih kritis dan lebih berani.

Parpol harus menyesuaikan diri dengan merekrut lebih banyak lagi sosok-sosok politisi ekspert dengan barbasis pada kompetensi. PDIP dan Partai Golkar sesungguhnya punya pengalaman yang baik dalam hal ini. Di PDIP dulu kita temui sosok seperti Kwik Kian Gie, Arifin Panigoro, Laksamana Sukardi, kemudian muncul generasi seperti Risma, Jokowi, Rano Karno, Ganjar Pranowo, Boy Sadikin dan masih banyak lagi nama lain. Di Golkar, lebih banyak lagi. Ahok adalah alumni Golkar.  Namun kerap kali politisi-politisi yang lain yang baik gagal muncul karena tertutup oleh dominasi kelompok oligarki politik yang menguasai partai secara tidak sehat.

Saya melihat, dalam skala yang lebih kecil namun menjanjikan, Partai Amanat Nasional atau PAN memiliki masa depan yang relatif cukup baik dalam isu rekrutmen politik dan regenerasi kepemimpinan. Meskipun di awal dipenuhi oleh para artis, namun sejatinya partai ini menjadi partai alternatif bagi anak-anak muda yang ingin terlibat dalam politik kekinian. Basis asli Muhammadiyah juga membantu PAN untuk sejauh ini bertahan dalam naik turun partai di perpolitikan Indonesia. Beruntung PAN memiliki Amien Rais, sang pendiri yang mengawal proses regenerasi dengan konsisten. Paska Amien lalu Sutrisno Bachir, Hatta Radjasa, dan sekarang Zulkifli Hasan menjadi Ketua Umum.

Ideologi dan ketakziman partai tetap terjaga. Secara pragmatis dan modern, PAN mampu beradaptasi dengan rejim politik yang berganti menguasai panggung politik Indonesia sejak reformasi. Antisipasi ke depan adalah sejauh mana PAN mampu beradaptasi dengan melahirkan pemimpin-pemimpin muda, politisi-politisi ‘ekspert’, profesional, bersih dan kompeten sehingga mampu mendapatkan kepercayaan rakyat.

Sosok-sosok baru seperti Sekjen PAN, Eddy Soeparno, profesional bidang perbankan; Wakil Ketua Hanafi Rais, mantan akademisi muda UGM yang juga putra tertua Amien; Raja Sapta Oktohari mantan Ketua HIPMI; Mulfachri Harahap, Ketua Fraksi DPR RI; dan anak muda Yandri Susanto, politisi vokal PAN di DPR RI. Belum lagi nama-nama kader lainnya yang masih tergolong muda namun sudah cukup berperan di lingkungan masyarakatnya masing-masing.

Yang paling cemerlang tentunya adalah ide PAN untuk membuat Sekolah Politik Kerakyatan. Saya membacanya di media beberapa waktu lalu dan terkagum (https://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/31/078714733/cetak-kader-pan-buka-sekolah-politik-kerakyatan). Ini adalah langkah brilian di masa kepemimpinan Zulhas-Eddy untuk memastikan rekrutmen, kaderisasi dan ideologisasi partai tetap berjalan di atas komitmen awalnya. Arif Mustafa, anak muda, saat ini wasekjen DPP PAN, yang mengawal sekolah ini menyatakan tujuan dibentuknya Sekolah Politik Kerakyatan adalah sebagai upaya mencetak kader muda untuk menjadi tulang punggung partai. "Cepat atau lambat, generasi akan berganti. Karena itu, kader-kader harus dipersiapkan sejak sekarang," ujar Mustafa.

 PAN menyadari bahwa mencerdaskan kehidupan berpolitik adalah kewajiban partai politik. Dengan adanya sekolah ini, PAN meyakini sudah menunaikan kewajiban tersebut. "Semua partai seharusnya punya sekolah politik sejak awal, bukan hanya dikhususkan untuk calon kepala daerah saja," tuturnya.

Jika begini, fenomena Ahok, atau calon independen, tak usah lagi dikhawatirkan. Partai politik akan selalu menjadi favorit rakyat.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun