Kuat dugaan saya jika kata 'belanda' yang berasal dari sebutan Jawa 'walanda' sebenarnya berakar dari konsep yang telah saya urai di atas.
Oleh leluhur kita di masa lalu, terutama yang berada di Jawa, orang-orang kulit putih yang datang dari Eropa disebut 'landa' atau 'walanda' karena dipandang datang 'menempa' memberi perubahan. membuat bentuk baru -- terlepas apakah bentuk yang dihasilkan sifatnya baik ataukah buruk.
Istilah 'walanda' secara fonetis menunjukkan keidentikan dengan bentuk palanra/palanro yang telah saya sebut di atas sebagai salah satu gelar Batara Guru.
Morfologi fonetis antara 'walanda' dan 'palanra' yaitu: perubahan fonetis w dan p yang sama-sama merupakan kelompok fonetis labial, dan perubahan fonetis r dan d yang sama-sama perupakan kelompok dental. Metode identifikasi ini telah saya ulas khusus dalam artikel "Formula Kunci Mengurai Sejarah".
Sayangnya, pada masa sekarang, etimologi kata balanda lebih cenderung dianggap berasal dari kata "blondi" (rambut pirang) atau ada juga yang menganggap berasal dari kata "holanda". Untuk hal ini, saya pikir kita tidak perlu memperdebatkan mana pendapat yang benar. Anggap saja ini dinamika dalam perspektif etimologi.
Namun jika boleh saya runut, memori kolektif kita dari masa kuno hingga masa kolonial sebenarnya menunjukkan jejak yang konsisten untuk konsep istilah "landa".
Setelah usai digunakan di era Sailendra (Nusantara era Hindu/ Buddha), istilah "landa" atau "penempa" selanjutnya digunakan di awal era kerajaan Islam Jawa, digunakan dalam bentuk kata "panembahan" sebagai gelar dari pendiri Kerajaan Demak yaitu Raden Fatah yang sering disebut sebagai "Panembahan Jinbun".
Ia mengambil gelar Panembahan Jimbun setelah melegitimasi Kesultanan Demak sebagai penerus Majapahit. Ini berarti sangat mungkin bahwa ia mendeklarasikan dirinya sebagai pembawa era baru di tanah Jawa -- yang mentransisi kerajaan tanah Jawa yang sebelumnya bercorak Hindu-Buddha menjadi kerajaan bercorak Islam.
Sayangnya, istilah panembahan ini pada umumnya di masa sekarang dianggap berarti "orang yang disembah", dengan anggapan bahwa kata panembahan berasal dari kata manembah yang artinya menyembah.Â
Jika boleh kritis, Kerajaan Demak yang bercorak Islam, rasanya tidak masuk akal menggunakan pemaknaan semacam ini. Karena dalam Islam sangat dilarang menyembah manusia.Â
Raden Fatah sebagai pemeluk Islam yang taat, terlebih bahwa pengangkatannya sebagai sultan Demak dilakukan oleh Walisongo yang tentunya paham benar aturan Islam, jelas tidak mungkin menggunakan terminologi semacam ini. Masa ia, orang yang tahu aturan agama Islam bahwa menyembah manusia itu sangat dilarang malah menginginkan dirinya disembah.