Pada hari ini, nama Sunda, selain dikenal sebagai salah satu nama suku di Indonesia yang mendiami wilayah bagian barat pulau Jawa, juga digunakan sebagai istilah dalam geologi untuk menyebut landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara, yang Massa daratan utamanya meliputi Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Dalam buku The Geography, ditulis sekitar tahun 150 M, Claudius Ptolemy ada menyebut kata "sundae" (tertulis: sindae) yang terdiri dari tiga pulau, dan ditambahkannya komentar bahwa beberapa orang mengatakan ada lima pulau. Catatan Ptolemy inilah yang dianggap sebagai catatan terawal tentang nama Sunda.
Mengenai kata "sunda" yang tertulis "Sindae" dalam buku Ptolemy, seperti sejarawan-sejarawan lainnya, Arnold Hermann Ludwig Heeren (1760-1842), seorang sejarawan Jerman, dalam bukunya "Historical Researches into the Polics, Intercourse, and Trade of the Principal Nations of Antiquity"Â memberi komentar yang tampaknya juga memaklumi adanya sedikit perbedaan tersebut.
"the very name of sunda, however, may be found in Ptolemy; for he notice three island in this situation called sinde. Three others are likewise mentioned under the name of sabadib, in which we again meet with the Hindu termination dib, or more correctly dwipa, ..."Â kata Heeren.
Dalam kitab I La Galigo yang berisi cerita mitologi Bugis kuno, juga ada disebutkan nama wilayah "Sunra ri lau" (artinya: Sunda di timur), dan "Sunra ri aja" (artinya: Sunda di barat). Ini mungkin menjadikan kitab I La Galigo sebagai salah satu manuskrip kuno dari Nusantara, yang secara jelas ada menyebutkan toponim "Sunda".
Etimologi nama Sunda
Menurut Rouffaer (1905: 16) kata Sunda berasal dari akar kata "sund" atau kata "suddha" yang dalam bahasa Sanskerta berarti: Bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289).
Dalam bahasa jawa kuno (kawi) dan bahasa Bali, disebutkan juga terdapat kata "sunda", dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/ bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219). (sumber di sini)
Sebagai bahan pertimbangan, dalam kesempatan ini saya ingin mengajukan suatu usulan bahwa, ada kemungkinan makna sesungguhnya dari kata "Sunda" adalah: Selatan.Â
Berikut ini penjelasannya...
Salah satu penyebab utama perkembangan bahasa di dunia ini, adalah karena adanya interaksi antar bangsa, yang mana sesungguhnya telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu.
Kenyataan ini menjadikan upaya pencarian asal usul suatu kata ke berbagai bahasa di dunia, mestinya, bukanlah suatu hal yang "tabu" untuk dilakukan.
Saya pikir sah-sah saja. Selama bentuk etimologi yang disampaikan memiliki dasar pertimbangan yang jelas.
Pandangan ini saya ajukan terlebih dahulu, soalnya, ini terkait dengan bentuk etimologi kata "sunda" yang ingin saya ajukan...
Pertimbangan "sunda" kemungkinan berarti "selatan", didasari adanya kata "sunthaz" dalam bahasa Proto-Germanic, yang berarti: selatan.
Kata ini merupakan bentuk kuno dari kata "south". Di sisi lain, dalam bahasa Iceland, terdapat kata "sund" yang berarti "selat".
Fakta bahwa "sunthaz" dan "sund" sebagai dua kata yang cukup homofon, dan juga menunjukkan makna yang sangat dekat jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, yakni: selatan dan selat, akan lebih dikuatkan lagi oleh tinjauan aspek historis tentang Nusantara di masa kuno berikut ini.
Pertama, ada banyak literatur yang mengatakan bahwa di masa lalu, pelaut-pelaut yang datang dari Nusantara disebut "cellates" atau "orang selat" oleh orang-orang di barat. Kedua, dalam konsep Lokapala, yaitu tentang dewa-dewa penjaga arah mata angin dalam tradisi Hindu, disebutkan bahwa, Selatan adalah wilayah kekuasaan dewa Yama.
Jika dalam tradisi Hindu, dewa Yama disebut sebagai penguasa arah selatan, dunia bawah, atau neraka, maka, pada bangsa Fenesia (phoenicia) ada nama dewa Melqart, juga disebut sebagai penguasa dunia bawah. Dan memang, keduanya diidentifikasi sama oleh para sejarawan. Begitu pula dengan Yima dalam mitologi orang Persia.
Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya pribadi bahkan telah lebih jauh mengidentifikasi Yama, Melqart, Yima, dan Semar dalam mitologi Jawa, sebagai analogi dari Sem bin Nuh.
Baca di:Â
Ini Asal-Usul Nama "Jawa" Menurut Konsep Lokapala
Nuansa Jawa pada Kata Ungu dalam Bahasa Phoenicia dan Bahasa Kuno Lainnya
Identifikasi Semar sebagai Analogi Sem bin Nuh (Bagian 2)
Kedudukan Yama atau Semar sebagai penguasa wilayah selatan (dunia bawah, atau alam kematian), yang nampaknya menjadikan Pulau Jawa sebagai pusatnya, memiliki korelasi yang kuat dengan sejarah kuno wilayah Yaman di semenanjung Arab Selatan.
Bukan asal-asalan, jika saya katakan bahwa nama "Yaman" sesungguhnya berasal dari nama dewa Yama. Hal ini dikuatkan oleh etimologi "Yaman" dari "ymnt," yang berarti "Selatan" .
Keberadaan huruf n di akhir kata "yaman" dapat diduga membentuk makna "orang-orang" atau "bangsa". Ini persis sama dengan yang kita jumpai pada kata "Indian" (bangsa India), ataupun "Indonesian" (bangsa Indonesia). Jadi, "Yaman" selain bermakna "selatan," juga bermakna: orang-orang Yama atau Bangsa Yama - yang berasal dari selatan.
Ini memberi gambaran kepada kita bahwa telah terjadi migrasi di masa kuno, dari Nusantara (khususnya dari Jawa) ke semanjung Arab Bagian selatan. Untuk diketahui, Yaman, tempat kerajaan Saba pernah berdiri, oleh para sejarawan dianggap sebagai titik paling awal dimulainya peradaban di Semanjung Arab.
Ini sejalan pula dengan  fenomena bahasa yang telah saya ulas dalam artikel "Nuansa Jawa pada Kata Ungu dalam Bahasa Phoenicia dan Bahasa Kuno Lainnya" mengenai adanya "nuansa jawa" untuk sebutan warna ungu dalam bahasa-bahasa kuno di timur tengah, yakni 'banawasha' dan 'Argwonoyo' dalam bahasa Aram dan (aramaic) dan bahasa Suryani (Syriac).
Naya atau noyo pada 'Argwonoyo' bisa dikatakan sama dengan nama lain dari Semar, yaitu Badranaya juga Nayantaka. Fakta bahwa "Argwonoyo" berarti "ungu", sejalan dengan identifikasi kesamaan Semar dengan dewa Melqart yang dikenal sebagai penemu warna ungu.
Fenomena bahasa ini nampaknya terkait pula dengan penjelasan William Edward Maxwell dalam "A Manual of the Malay Language: With an Introductory Sketch of the Sanskrit Element in Malay" bahwa di masa kuno ada koloni Melayu dan Jawa yang cukup besar di Mekah, di mana semua orang Mekah dikenal tanpa pandang bulu sebagai Jawi.
Kerajaan Saba yang pernah berdiri di wilayah Yaman sangat mungkin merupakan koloni yang dibangun orang-orang negeri Saba dari Nusantara. Saba di Yaman diperkirakan muncul setidaknya abad ke-11 SM.Â
Ada empat kerajaan besar atau konfederasi suku di Arab Selatan, yaitu: Saba, Hadramout, Qataban, dan Ma'in. Namun, Saba dianggap merupakan federasi yang paling terkemuka.Â
Para penguasa Saba mengadopsi gelar Mukarrib yang umumnya dianggap berarti pemersatu, atau imam-raja, atau kepala konfederasi kerajaan Arab Selatan, atau "raja para raja".Â
Demikianlah, mata rantai mulai dari; Sunda yang berarti "selatan", Yaman yang berarti "selatan", Yaman yang berasal dari nama Yama sang penguasa arah selatan, lalu, identifikasi kesamaan Yama dengan Semar sang penguasa pulau jawa dan sekitarnya atau "kepulauan Sunda" (sebagaimana yang disebutkan Ptolemy), secara keseluruhan menunjukkan keterkaitan yang erat satu sama lain.
Sebagai tambahan, Menurut tradisi Arab, putra tertua Nuh, Sem (Sam), yang mendirikan kota Ma'rib, ibukota kerajaan Saba. Dan, orang Yaman kuno diketahui menyembah dewa matahari yang bernama Sham.
Ini kemungkinan terkait dengan riwayat dalam mitologi Persia [tr. Christensen, 1918-34, II, hlm. 60-67], yang menceritakan kisah tentang Yama/ Yima (atau juga disebut Jamsid, bentuk asal dari jem atau cem dalam Turki modern ), ketika dipanggil ke hadapan Allah, untuk diberi kekuasaan sebagai raja atas dunia dengan tanda kebesaran: cincin segel, takhta, dan mahkota.Â
Ketika kembali ke bumi, ia turun Gunung Alborz, dan orang-orang yang melihat ke arah itu melihat ada dua matahari, salah satunya adalah Yama.
Ini nampaknya juga terkait dengan makna lain dari "sunthaz" dalam bahasa Proto-Germanic, yang juga dapat berarti "sisi matahari" (sun-side).
Sejak hari itu, Yama memproklamirkan dirinya sebagai raja alam semesta tepat pada hari tahun Baru. Mitos ini kemudian dilestarikan dalam tradisi yang mengaitkan Yama dengan festival Hari Tahun Baru (Nowruz).
Dan ini lagi-lagi sejalan dengan budaya di Jawa yang menjadikan bulan suro (tahun baru dalam kalender Jawa) identik dengan tokoh Semar, dan atau dianggap sebagai saat yang baik untuk berziarah ke petilasannya.
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H