Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Visi Dapunta Hyang di Selat Malaka Telah Dilirik Pemerintah RI

13 Juni 2020   13:38 Diperbarui: 30 Juni 2020   13:31 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: .thinglink.com)  

Ketika pada akhir abad ke-7 Dapunta Hyang Sri Jayanasa berhasil menduduki kawasan selat Malaka bersama puluhan ribu pasukannya, sejak saat itu Sriwajaya menancapkan tonggak sejarah sebagai thalassocracy atau kerajaan maritim yang dalam beberapa ratus tahun selanjutnya menjadi penguasa jalur pelayaran di selat Malaka.

Visi pahlawan keluarga Sailendra tersebut terbukti berhasil. Karena dengan menguasai jalur pelayaran selat malaka, Sriwijaya tidak saja dapat menarik pajak dari kapal-kapal yang melintasi di perairan tersebut, tapi juga menjadikan Sriwijaya memiliki kota pelabuhan yang dalam perkembangan selanjutnya amat ramai disinggahi para pedagang dari berbagai belahan dunia.

Visi Dapunta Hyang pada saat itu memang jelas tidak sekadar mengincar perolehan pajak dari kapal-kapal yang melintasi selat Malaka, tetapi juga ingin membangun sebuah kota pelabuhan tempat bertemunya berbagai saudagar yang berasal dari Persia, Arab, India, Tiongkok, dan wilayah-wilayah lainnya. 

Dan visi itu memang terbukti berhasil. Bahkan dalam perjalanannya, kota Pelabuhan Sriwijaya tidak saja menjadi kota perdagangan tetapi juga terkenal sebagai pusat pendidikan agama Buddha terbesar di dunia pada saat itu.

Ada banyak tokoh besar pendeta Buddha yang terekam dalam litetur pernah belajar beberapa tahun di Sriwijaya. Misalnya, I Tsing pendeta Buddha tercatat pernah menetap di Sriwijaya di kisaran tahun 685-689 kemudian dilanjutkan pada 689-695. 

Kemudian setelah kembali ke Cina ia seorang pendeta kepala sekaligus penasehat Dinasti Tang pada pemerintahan Wu Zetian (Permaisuri Wu) yang saat itu memang menjadikan Buddha sebagai agama negara seiring dengan tujuan mengkampanyekan klaim dirinya sebagai chakravartin yang dinubuatkan buddha sakyamuni.

Atisa Dipankara Srijnana yang terkenal sebagai seorang tokoh utama dalam penyebaran Buddhisme Mahayana dan Vajrayana abad ke-11 di Asia, yang dianggap sosok yang paling menginspirasi pemikiran Buddha di Tibet, juga tercatat pernah belajar di Sriwijaya selama 12 tahun. 

Ia berguru pada Dharmakirtisri juga dikenal sebagai Kulanta dan Suvarnadvipi Dharmakirti, yang dianggap sebagai guru paling penting atau guru kunci Atisa.

Demikianlah, pencapaian luar biasa yang diperlihatkan leluhur kita di masa Sriwijaya mestinya menjadi fokus kita juga di di masa sekarang. Karena kenyataannya hingga saat ini, situasi ribuan tahun yang lalu di selat malaka masih sama dengan situasi yang ada pada hari ini. Selat Malaka tetap saja ramai dilalui kapal-kapal besar.

Beberapa sumber mencatat selat Malaka tiap tahunnya dilalui 70.000 hingga 100.000 kapal yang kebanyakan diantaranya merupakan kapal pelayaran antar benua. 

Dalam artikel mediaindonesia.com berjudul "Selat Malaka" misalnya, dilaporkan bahwa setiap hari setidaknya ada 220 kapal yang melewati selat malaka untuk mengangkut setengah perdagangan minyak dunia dan seperempat perdagangan barang dunia. Semua kapal yang hendak berlayar dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik dan sebaliknya harus melewati Selat Malaka. 

Lebar selat yang hanya 1,5 mil laut atau sekitar 2,7 km membuat lalu lintas harus dilakukan dengan berhati-hati. Karena itu, very large crude carriers atau ultralarge crude carriers membutuhkan jasa tunda. Perusahaan asuransi tidak akan mau membayar klaim apabila kapal yang mengalami kecelakaan tidak menggunakan jasa tunda. 

Dari 220 kapal yang melewati Selat Malaka, setidaknya 70 di antaranya merupakan kapal superbesar. Selama ini, Singapura dan Malaysia menikmati hasil pemberian pelayanan jasa penundaan itu. Minimal satu kapal harus membayar US$10 ribu untuk menggunakan jasa tersebut.

Meskipun bisa dikatakan agak terlambat, namun setidaknya peluang ini telah mulai pula digarap pemerintah Indonesia, setelah pada Februari 2020 lalu Kementerian Perhubungan menunjuk PT Pelindo III untuk memberikan pelayanan jasa pemanduan dan penundaan kapal di Selat Malaka, Selat Phillip, dan Selat Singapura. Kawasan perairan tersebut dinyatakan sebagai wilayah perairan pandu luar biasa alur pelayaran Traffic Separation Scheme (TSS) yang berbatasan dengan batas negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. (dilansir dari beritasatu.com)

Mari mengembalikan kejayaan maritim Nusantara dimulai dari Selat malaka seperti yang pernah dilakukan Dapunta Hyang Sailendra sekitar 1300an tahun yang lalu...

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam

Fadly Bahari, 13 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun