Dalam artikel mediaindonesia.com berjudul "Selat Malaka" misalnya, dilaporkan bahwa setiap hari setidaknya ada 220 kapal yang melewati selat malaka untuk mengangkut setengah perdagangan minyak dunia dan seperempat perdagangan barang dunia. Semua kapal yang hendak berlayar dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik dan sebaliknya harus melewati Selat Malaka.Â
Lebar selat yang hanya 1,5 mil laut atau sekitar 2,7 km membuat lalu lintas harus dilakukan dengan berhati-hati. Karena itu, very large crude carriers atau ultralarge crude carriers membutuhkan jasa tunda. Perusahaan asuransi tidak akan mau membayar klaim apabila kapal yang mengalami kecelakaan tidak menggunakan jasa tunda.Â
Dari 220 kapal yang melewati Selat Malaka, setidaknya 70 di antaranya merupakan kapal superbesar. Selama ini, Singapura dan Malaysia menikmati hasil pemberian pelayanan jasa penundaan itu. Minimal satu kapal harus membayar US$10 ribu untuk menggunakan jasa tersebut.
Meskipun bisa dikatakan agak terlambat, namun setidaknya peluang ini telah mulai pula digarap pemerintah Indonesia, setelah pada Februari 2020 lalu Kementerian Perhubungan menunjuk PT Pelindo III untuk memberikan pelayanan jasa pemanduan dan penundaan kapal di Selat Malaka, Selat Phillip, dan Selat Singapura. Kawasan perairan tersebut dinyatakan sebagai wilayah perairan pandu luar biasa alur pelayaran Traffic Separation Scheme (TSS) yang berbatasan dengan batas negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. (dilansir dari beritasatu.com)
Mari mengembalikan kejayaan maritim Nusantara dimulai dari Selat malaka seperti yang pernah dilakukan Dapunta Hyang Sailendra sekitar 1300an tahun yang lalu...
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam
Fadly Bahari, 13 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H