Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Identifikasi Letak Negeri Kaum Nabi Nuh

26 Mei 2020   19:23 Diperbarui: 29 Mei 2020   15:34 2964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Forgotten Books of Eden (1926) - The Second Book of Adam and Eve, Chapter VIII (dokpri)

Dalam tulisan saya beberapa waktu lalu (Asal Usul Kata "Bahtera"...) telah saya ungkap jika kata 'bahtera' berasal dari kata 'baha' (dengan bentuk awal 'waka' yang dalam bahasa Bugis kuno berarti 'kapal'), dan 'tera' (yang  dalam bahasa Latin: terra = bumi ; terrain = tanah).  Sehingga dari etimologi ini, bahtera dapat berarti: perahu bumi atau perahu tanah. 

Bentuk etimologi kata 'bahtera' tersebut, identik dengan bentuk 'wakka-tanette' atau 'wakka-tana' yang ditemukan Matthes dalam kitab kuno I La Galigo, yang menurutnya "bermakna kapal yang sangat besar, dan mengingatkan [padanannya] pada seluruh punggung gunung (tanette) dan ke suatu negeri (tana)." 

Capture buku
Capture buku " Boegineesche - Hollandsch woordenboek: met Hollandsch - Boeginesche ..., Volume 1 ". Hlm. 622.   (dokpri)

Demikianlah, kata bahtera yang pada awalnya digunakan secara khusus untuk menyebut bahtera Nabi Nuh, dapat dijelaskan bentuk etimologinya dalam bahasa Bugis kuno, dan ditemukan padanan katanya dalam kitab I La Galigo yang merupakan karya sastra Bugis kuno.

Yang menarik, sebutan untuk banjir bah di zaman Nuh dalam bahasa Yunani kuno yakni  'loeo' yang berarti: Mencuci atau mandi, memiliki bunyi penyebutan yang sangat dekat dengan bentuk nama kedatuan Luwu yang merupakan kerajaan tertua di pulau Sulawesi. Umumnya pada sejarawan menyebut Luwu sebagai Proto Bugis.

Jika dalam bahasa Yunani kuno banjir Nabi Nuh disebut 'loeo' maka dalam bahasa Middle English atau pun Old French disebut: 'deluge', yang artinya membanjiri, banjir besar dan/ atau air bah. 

Uniknya, kata 'deluge' ini memiliki kesamaan bunyi penyebutan dengan kata 'teluk' yang mana merupakan makna untuk kata 'look' (bunyi penyebutan luwuk) dalam bahasa Philipina.

Jika nama 'Luwu' ditemukan maknanya sebagai "teluk" pada kata 'look' dalam bahasa Philipina, maka makna nama 'bugis' pun dapat ditemukan dalam bahasa Uzbek "bo'g'iz" (yang terdengar sebagai "Bugis") yang juga berarti "teluk".

dokpri
dokpri

Kesamaan makna 'Luwu' dan 'Bugis' yakni: "teluk" -- dapat diduga jika teluk yang dimaksud adalah teluk boni. Dari hal ini, dapat diperkirakan bahwa pada masa lalu orang-orang di pulau Sulawesi -- khususnya yang berada di jazirah Sulawesi Selatan hari ini, pada umumnya mengidentifikasikan diri sekaligus diidentifikasi oleh bangsa-bangsa lain sebagai "orang teluk." 

Kata "teluk" dalam bahasa Indonesia hari ini didefinisikan sebagai: bagian laut yang menjorok ke darat. Namun saya perkirakan, kata 'teluk' berasal dari kata Luwu / luwuk / look / atau luk yang berarti: lengkungan atau cekungan. Penerapan kata "luk" yang berarti "lengkungan" dapat kita lihat pada penyebutan luk pada keris. 

Adapun suku kata 'te-' pada kata te-luk saya perkirakan sinonim dengan fungsi kata "the" dalam bahasa Inggris, atau pun "de" dalam bahasa Belanda, yaitu digunakan untuk merujuk pada seseorang, tempat, atau hal yang unik.

Keidentikan 'Deluge' dengan 'teluk', dan 'loeo' dengan 'luwu' membuat saya berpikir jika kata 'deluge' dan 'loeo' yang dalam Al Kitab berbahasa Yunani kuno digunakan khusus untuk pembahasan banjir bah di zaman Nabi Nuh, pada dasarnya menyiratkan bahwa peristiwa tersebut terjadi di Sulawesi. Atau dengan kata lain, kaum yang diisyaratkan "dicuci" atau "dimurnikan" oleh banjir bah tersebut adalah kaum yang bermukim di pulau Sulawesi.

Demikianlah, dari keseluruhan uraian sejauh ini, setidaknya ada dua hal di Luwu, Sulawesi Selatan, yang bisa dikatakan terkait erat dengan peristiwa Banjir Nabi Nuh. Pertama, pada kata 'bahtera' (kata yang pada awalnya digunakan khusus untuk menyebut kapal Nabi Nuh) yang penjelasan etimologinya dapat ditemukan dalam bahasa Bugis kuno atau bahasa Luwu. Kedua, kata 'deluge' atau pun 'loeo' yang dalam Alkitab kuno umumnya digunakan secara khusus untuk pembahasan banjir bah Nabi Nuh, terindikasi berasal dari nama wilayah Luwu di Sulawesi Selatan. 

Dugaan ini, Di sisi lain, sinkron dengan pembahasan saya dalam tulisan-tulisan sebelumnya yang menunjukkan bahwa Pulau Sulawesi sebagai tempat awal semua bermula.

Misalnya, dalam tulisan berjudul "Rahasia Kuno yang Terpendam di Gunung Latimojong" saya mengulas fakta-fakta yang dapat menjawab mengapa letak batu hajar aswad atau pun tawaf dimulai dari sisi timur laut Ka'bah. Bahwa nilai-nilai filosofis yang dikandungnya terkait erat dengan berbagai hal tentang gunung Latimojong.

Lalu, dalam tulisan saya beberapa hari lalu (Gua Kuno di Latimojong dan Kaitannya dengan Tanah Suci "Shambala") juga telah saya ulas jika tanah suci Shambala yang disebut dalam naskah-naskah suci tradisi hindu dan Buddha, besar kemungkinan letaknya berada di puncak gunung Latimojong.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah pembahasan saya dalam tulisan "Pulau 'Serendip Asli', Letak Gua Adam Sesungguhnya" bahwa Pulau Serendip asli adalah pulau Sulawesi, dengan kata lain, gua tempat Adam dan Hawa bermukim ketika pertama kali keluar dari Surga, sesungguhnya berada di Pulau Sulawesi, dan, jika pembaca jeli, sebenarnya telah dapat menyimpulkan jika gua tersebut berada di gunung Latimojong.

Demikianlah, jika Adam dan Hawa memulai kehidupan awalnya di pulau Sulawesi maka, dapat diduga jika Nabi Nuh pun awalnya bermukim di pulau Sulawesi sebelum banjir Bah terjadi. Kesimpulan ini merujuk pada suatu riwayat yang mengatakan bahwa ketika banjir bah terjadi, salah satu yang diselamatkan Nabi Nuh ke atas bahteranya adalah jasad Nabi Adam. 

Perintah untuk menyelamatkan jasadnya dari banjir bah diberikan Nabi Adam ke putranya Nabi Seth, karena ia telah diperlihatkan oleh Allah bahwa akan terjadi banjir bah setelah kematiannya. Pesan tersebut lalu disampaikan Nabi Seth kepada putranya hingga akhirnya tiba pada Nabi Nuh.

Riwayat ini dikisahkan dalam buku The Forgotten Books of Eden (1926), edited by Rutherford H. Platt, Jr. Berikut ini kutipan pesan tersebut...

The Forgotten Books of Eden (1926) - The Second Book of Adam and Eve, Chapter VIII (dokpri)
The Forgotten Books of Eden (1926) - The Second Book of Adam and Eve, Chapter VIII (dokpri)

Jika merujuk pada informasi yang diberikan Irving Finkel yang didapatkannya dari tablet tanah liat beraksara cuneiform (yang diperkirakan berusia 3.700 tahun), yang berisi instruksi terperinci untuk membuat Bahtera atau tabut, bahwa agar bahtera tersebut tanah air, maka ia dilapisi bitumen (sejenis aspal) di sisi dalam dan luar. 

Dengan hipotesis bahwa bahtera Nuh dibuat di pulau Sulawesi maka dapat diperkirakan jika material aspal kemungkinan besar ia ambil dari wilayah pulau Buton, Sulawesi Tenggara, yang kita ketahui merupakan daerah penghasil aspal terbaik dan terbesar di Indonesia.

Adapun wilayah yang sejauh ini saya identifikasi merupakan tempat pembuatan Bahtera Nabi Nuh, adalah wilayah bernama Nuha di Luwu Timur. Pertimbangan ini bukan saja karena nama wilayah ini identik dengan nama Nuh, tetapi juga karena wilayah ini pernah menjadi daerah penghasil kayu kualitas terbaik dan terbesar di Sulawesi Selatan.

Selain itu, ada cerita rakyat yang beredar dalam tradisi masyarakat Luwu tentang Bulu' Poloe artinya "gunung patah" (kini merupakan pulau di dekat Malili, Luwu Timur), yang dimitoskan bahwa gunung tersebut terbelah diakibatkan tertabrak kapal welenrange (kapal besar milik Sawerigading) ketika melintas. Namun ada juga yang mengatakan jika gunung tersebut terbelah akibat tertimpa pohon welenrange ketika ditebang.

Dalam kitab I La Galigo disebutkan bahwa pohon welenrange adalah pohon terbesar di dunia, menjulang tinggi hingga mencapai negeri langit. Hanya dapat ditebang menggunakan kapak manurung yang diturunkan dari boting langi' (negeri langit).

Demikianlah, keberadaan kisah epic pembuatan kapal welenrange dalam tradisi kuno masyarakat Luwu (yang terekam dalam kitab I La Galigo) bisa jadi merupakan wujud metafora untuk mengisahkan peristiwa sakral pembuatan bahtera Nabi Nuh.

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare-Kediri, 26 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun