Di akhir pembahasan saya dalam tulisan sebelumnya "Agar Tidak Menilai Lahiriah Saja, Belajarlah Kisah Musa dan Khidir" saya mengutip ayat ke 68 surah Al-Kahfi yang berbunyi: "Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" - yang saya anggap sebagai sebuah pertanyaan filosofis, bersifat universal, dan berlaku untuk setiap orang di setiap zaman.
Sayangnya, atas pertanyaan itu, Musa menjawab: "Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun." [QS. 18:69]
Secara pribadi saya berpendapat jika pada saat itu, Musa nampaknya tidak menyadari jika pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan filosofis, sehingga ia hanya memberikan jawaban "seperlunya" untuk berusaha meyakinkan Khidir.
Atas jawaban Musa itu, Khidir akhirnya segera memberi arahan jelas (tidak berfilosofi lagi) dengan mengatakan: "Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku menerangkannya kepadamu." [QS. 18:70]
Pertanyaannya, mengapa Khidir memberi Musa pertanyaan filosofis sesaat setelah Musa menyatakan harapannya agar dapat mengikuti Khidir dan belajar padanya?
Ada banyak kemungkinan jawaban atas hal tersebut. Namun saya pribadi melihat jika pertanyaan itu sebagai "pelajaran pertama dan utama" yang diberikan Khidir kepada Musa.
Jawaban yang terbaik atas pertanyaan filosofis tersebut
"Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"
Jika kita bedah, pertanyaan ini disertai dengan penggambaran sifat manusiawi bahwa, pada umumnya kita manusia dapat bersabar menghadapi atau menjalani sesuatu hanya ketika kita telah mendapatkan gambaran pertimbangan terkait hal tersebut.
Misalnya, seorang anak yang kuliah di jogjakarta, akan dapat bersabar hidup nge-kost (hidup mandiri, jauh dari orang tua), karena ia telah memiliki gambaran atau visi kedepan bahwa, apa yang ia perjuangkan hari ini (yaitu menuntut ilmu), dengan rela hidup seadanya, akan bermanfaat buat masa depannya kelak.
Lalu bagaimana jika seandainya kita tidak memiliki gambaran atau "pengetahuan yang cukup" terkait sesuatu yang kita dituntut bersabar menghadapinya? bagaimana kita mengkondisikan diri menghadapi hal seperti itu? - ini inti pertanyaan filosofis tersebut.
Saya melihat, ada kemungkinan jawaban dari pertanyaan filosofis tersebut, berada di dalam surat Al-Kahfi juga. Yaitu pada hikmah kisah 7 pemuda yang ditidurkan selama sekitar 300-an tahun di dalam gua (Al-Kahfi: ayat 9-26).
Lalu juga, hikmah Surah Al-Kahfi ayat 23-24, yang Asbabun Nuzul-nya (sebab turunnya) adalah bahwa suatu hari, kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu'ith menemui seorang pendeta Yahudi di Madinah untuk menanyakan kenabian Muhammad.
Pendeta Yahudi lalu berkata: "Tanyakanlah kepada Muhammad akan tiga hal. Jika ia dapat menjawabnya, ia Nabi yang diutus. Akan tetapi, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang yang mengaku sebagai Nabi.
Pertama, tanyakan tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan juga tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq dan Maghrib dan apa yang terjadi padanya. Ketiga, tanyakan pula kepadanya tentang roh."
Pulanglah utusan itu kepada kaum Quraisy. Lalu, mereka berangkat menemui Rasulullah SAW dan menanyakan ketiga persoalan tersebut di atas. Rasulullah SAW bersabda, "Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok." Rasul menyatakan itu tanpa disertai kalimat "insya Allah".
Rasulullah SAW menunggu-nunggu wahyu sampai 15 malam, namun Jibril tak kunjung datang memberi wahyu.
Akibatnya, orang-orang Makkah mulai mencemooh. Rasulullah sangat sedih, malu, karena tidak tahu harus mengatakan apa untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Kemudian, datanglah Jibril membawa wahyu yang menegur Nabi SAW karena memastikan sesuatu pada esok hari tanpa mengucapkan "insya Allah" (QS al-Kahfi : 23-24).
Dalam kesempatan pula, Jibril menyampaikan tentang pemuda-pemuda yang bepergian - yang dimaksud dalam pertanyaan itu adalah tentang beberapa orang pemuda yang ditidurkan selama beberapa ratus tahun di dalam sebuah gua oleh Allah (QS. Al-Kahfi: 9-26); seorang pengembara, yakni Dzulqarnain (QS. Al-Kahfi: 83-101); dan perkara roh (QS. Al-Isra: 85).
Demikianlah, hikmah kisah para pemuda yang ditidurkan di dalam gua, dan hikmah dari sebab turunnya ayat 23-24 surat Al-Kahfi, adalah tentang pentingnya kita berserah diri kepada Allah - sekaligus menekankan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini semata-mata atas kehendak Allah.
Jadi, jawaban atas pertanyaan: "Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" - adalah: berserah diri kepada Allah.
secara holistik, saya melihat jika surat Al-Kahfi ini intinya adalah memang tentang arahan agar kita mampu membangun sikap berserah diri kepada Allah.
Misalnya jika kita berandai-andai menghitung...
Surat Al-Kahfi terdiri dari 110 ayat. Pertanyaan filosofis Nabi Khidir berada pada ayat ke 68. jika 11o-68 = 24, maka, kita dapat melihat jika pada ayat ke 24 surat Al-Kahfi -lah terdapat firman Allah yang menekankan agar senantiasa mengucapkan "Insya Allah".
Berikut ini bunyi ayat ke 24 surat Al-Kahfi: kecuali (dengan mengatakan), "Insya Allah." Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini."
Jadi, belajar dari hal ini, saya pun ingin mengatakan bahwa: "Insya Allah" uraian saya dalam tulisan ini benar... :)
Sebenarnya, jawaban yang diberikan Nabi Musa pun telah tepat sebenarnya. Ia menjawab pertanyaan Nabi Khidir : “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.” Dalam hal ini terlihat jika Nabi Musa pun telah memiliki ilmu berserah diri. Tapi apakah itu sesuai antara apa yang ia ucapkan dengan apa yang terbersit di hatinya, hanya Allah-lah yang tahu.
"Insya Allah" kurang lebih artinya: "Jika Allah mengizinkan" atau " atas Kehendak Allah". Inilah wujud penyerahan diri yang terbaik yang menjadi jawaban bagi pertanyaan filosofis Nabi Khidir.
Ketika kita dihadapkan pada suatu hal yang melampaui pengetahuan kita atau kuasa kita untuk bertindak, maka, jalan terbaik memang hanyalah dengan berserah diri pada apa pun kehendak Allah. Percaya bahwa tidak ada yang dapat menghalangi ketika Allah telah berkehendak.
Sikap berserah diri seperti ini, bisa dikatakan merupakan tingkat kesabaran yang tertinggi. Jawaban kesabaran seperti inilah yang mungkin ditunggu jawabannya oleh Nabi Khidir.
Bersabarlah, karena seperti kata Francois Rabelais: "Segala sesuatu akan datang pada waktunya bagi mereka yang bersedia sabar menunggu".
Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.
Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare-Kediri, 12 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H