Dalam jurnal J. Kruyt (misionaris Belanda, ahli etnografi, teolog, dan perintis agama Kristen di Sulawesi Tengah), yang berjudul "Het Ma'Boea en de tatouage in Seko" - 1915, diungkap tradisi Ma'Bua yaitu ritual pengorbanan manusia yang dilakukan ketika negeri dilanda bencana, baik itu akibat wabah penyakit, gagal panen, kemarau, dan sebagainya.
Pelaksanaan ritual Ma'Bua yang dimaksudkan Kruyt dalam jurnalnya, dilaksanakan di Seko, yang pada hari ini masuk dalam wilayah administrasi Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Di toraja juga ada dikenal ritual ma'bua yg hanya boleh dilakuan setiap 12 tahun. Tapi sepertinya tidak ada pengorbanan manusia karena dari literatur yang saya dapatkan tidak menyebutkan hal tersebut.Â
Mungkin saja di masa lalu, ritual Ma'Bua di Toraja pun menggunakan pengorbanan manusia, tapi memang, sejak islam maupun misionaris kristen menyebarkan ajarannya di wilayah ini, perlahan-lahan ritual Ma'Bua yang mengerikan ini dilarang.
Ma'Bua sendiri dalam bahasa tae bermakna: "berbuat sesuatu". Dari kata dasar  bua' , yang dalam bahasa Indonesia artinya: buat.
Ritual Ma'bua biasanya menjadi pilihan terakhir ketika pengorbanan hasil panen atau kerbau dirasa tidak memberi hasil setelah berkali-kali dicoba, sementara hasil panen buruk dan hewan ternak telah banyak yang mati.
Berikut ini ringkasan kronologi dan prosesi ritual Ma'Bua yang dibahas Kruyt dalam jurnalnya...
Ketika panen pagi telah gagal beberapa kali berturut-turut, ketika ada banyak kematian di antara kerbau, atau ketika orang harus berjuang menghadapi penyakit dan kematian, orang memutuskan untuk merayakan boea (Ma'Bua).Â
Ketika tiba waktunya untuk menanami kebun dan sawah, roh (dehata) diberi tahu: "Jika Anda membuat padi berhasil, kami akan ma'boea." - Setelah panen berikutnya, janji ini ditebus.
Begitu saatnya tiba untuk itu, yaitu, setelah padi baru telah dipanen, sekelompok orang pergi untuk membeli seorang manusia di negeri yang jauh.
Mereka berangkat dengan membawa beberapa kerbau sebagai alat pembayaran pembelian budak. Biasanya satu sudah cukup (laki-laki atau perempuan), yang kemudian dibayar dengan dua ekor kerbau. Umumnya yang dicari adalah budak tua, atau seorang budak perempuan yang dianggap tidak bernilai lagi.Â
Ketika kelompok yang berangkat ini telah hampir mencapai desa, mereka mengabarkan ke penduduk desa bahwa mereka akan mencapai desa  keesokan harinya, sehingga dengan berita itu, seluruh desa akan segera bersiap-siap.
Keesokan harinya, dilaksanakan penyembelihan seekor ayam untuk setiap keluarga dan sejumlah besar nasi dimasak. Ini ditujukan kepada mereka yang kembali. Setelah tiba, kelompok yang datang bersama budak yang akan dikorban, melaksanakan makan bersama dengan penduduk desa.
Budak yang dibeli untuk prosesi Ma'Bua disebut tandasang. Dikatakan bahwa hanya orang asing yang dapat digunakan untuk tandasang, dari negeri yang jauh, selain itu, dia seharusnya tidak pernah ke Seko sebelumnya.Â
Ketika semua telah kembali ke desa, haliang ditunjuk. Yang menarik karena kata haliang ini identik artinya dengan kata "halyang" dalam bahasa Korea yang artinya: penyerahan.
Di antara To Seko ada tiga posisi: tobara, yang merupakan para bangsawan; todirenge, warga negara biasa yang bebas; dan kaunan, yang merupakan budak. Biasanya yang menjadi kepala desa atau kepala suku adalah dari "tobara".
Tobara yang menunjuk tiga wanita muda dari keluarganya yang akan menjadi haliang. Wanita yang sudah menikah tidak memenuhi syarat untuk menjadi Haliang, mereka juga bukan dari anggota keluarga Todirenge atau Kaunan.Â
Haliang yang telah terpilih akan pergi ke tandasang (Budak yang akan dikorbankan) dan menyentuhnya, sambil menyapa dia dengan ramah dan mengatakan bahwa dia tidak perlu takut, karena mereka akan dijaga dengan baik.
Keesokan harinya ma'paroe berlangsung, yaitu persembahan kepada arwah. Dilaksanakan di sebelah timur rumah Tobara, yaitu bagian halaman yang dianggap suci. Tempat yang dianggap suci ini ditandai dengan menempatkan susunan beberapa batu. Prosesi Ma'paroe dilaksanakan dengan menyajikan telur, nasi tumbuk dan tuak aren.
Hari berikutnya (hari ketiga ritual), tiga kerbau disembelih. Seorang pria bernama pongkalu mengikat kulit tikus berkantung (cuscus) di punggungnya dan mengambil keranjang dengan nasi tumbuk di tangannya.Â
Dengan perlengkapan tersebut, ia turun dari rumah dan berjalan tiga kali dari kiri ke kanan di sekitar kerbau yang akan disembelih, menaburkannya dengan nasi tumbuk. Kemudian dia masuk kembali ke rumah dan memukul drum tiga kali. Setelah dia melakukan ini, kerbau pun mulai disembelih di bawah rumah. Â
Sementara itu, para haliang selalu berada di rumah tobara, tanpa melakukan aktifitas apa pun. Pada hari keempat adalah momentum buat para haliang, yaitu pada saat mereka dibawa keluar rumah dan ditempatkan di bagian bawah tangga.
Di sini mereka dihujani dengan air dari tabung bambu ("dimandikan"). Segera setelah upacara pemandian selesai, keresahan para haliang telah berakhir, oleh karena semua larangan yang dikenakan terhadap mereka telah dibatalkan.
Setelah upacara air, para mantan haliang berjalan ke salah satu lumbung padi, yang telah dipilih sebagai tempat di mana kegiatan pembuatan tato akan dilakukan. Ketiga mantan haliang ini wajib ditato.
Pada hari kelima, daun ambelong dimasak, dari ekstraknya setiap orang harus minum sebagai tanda bahwa perayaan telah berakhir. Hari keenam semua orang pergi untuk mendapatkan kayu bakar, dan pada hari ketujuh mereka memulai pekerjaan pertanian. Setengah dari penduduk akan membuka ladang kering (kebun), setengah lainnya bekerja di ladang basah.Â
Sementara itu, tandasang (budak yang akan dikorbankan) masih hidup, dan bahkan diperlakukan dengan sangat baik dan ramah. Jika beras, rakyat, dan kerbau situasinya berjalan dengan baik, Ma'Bua hanya akan berakhir setelah tiga tahun.Â
Namun, jika tanaman padi tidak terus berhasil dan ada banyak kematian dan penyakit di antara manusia dan hewan, diputuskan untuk menutup Ma'Bua setelah dua tahun. Selama masa penantian ini, tandasang memiliki kehidupan yang baik dan melakukan pekerjaan ringan untuk tuannya.Â
Ketika waktu untuk mengakhiri Ma'Bua telah tiba, Api besar dinyalakan di halaman rumah tobara selama tiga malam berturut-turut... ada yang melakukan tarian dan nyanyian.Â
Pemimpin dalam lagu-lagu ini, sang popenani, menggunakan tombak sungguhan (doke belo), sementara yang lain menampilkan tarian mereka dengan tombak bambu (doke tallang). Para lelaki menghiasi diri mereka dengan songko gala, yakni topi yang terbuat dari kulit monyet atau rotan yang dikepang, tempat dua tanduk kuningan terpasang.Â
Setelah malam ketiga berakhir, di pagi hari(sekitar jam empat subuh),  pongkalu turun dari rumah tobara. Dia kembali mengikat kulit cuscus di punggungnya dan sekeranjang nasi tumbuk di tangannya.Â
Kali ini ia diikuti oleh wanita-wanita yang berpakaian terbaik. Ia menaburkan kerbau yang akan disembelih dengan nasi tumbuk dan kemudian kembali ke rumah, diikuti oleh para wanita. Kerbau disembelih dan tandasang terikat pada saat yang sama.Â
Ketika jamuan makan sudah siap, semua orang makan, dan lagu-lagu juga dilantunkan. Setelah makan, karena sudah terikat, tandasang dituntun keluar... lalu ditabrakkan kepalanya ke balok tiang pada lumbung padi atau dengan menghantamnya dengan balok pemukul. Setelah disiksa sedemikian rupa hingga sekarat, tandasang akhirnya dikembalikan ke rumah tobara.Â
Di sini tandasang ditempatkan di atas teras duduk di samping tangga. Semua orang di lantai bawah dipersenjatai dengan tongkat. Tobara lalu berbicara kepada tandasang dengan kalimat: "Jangan salahkan saya karena saya membunuhmu. Saya juga seorang manusia seperti Anda, tetapi saya telah membeli Anda dengan kerbau saya."Â
Kemudian Tobara mendorong tandasang hingga jatuh ke tanah yang kemudian lalu dibantai oleh orang-orang yang telah menunggu.Â
Setelah tandasang terbunuh, kepalanya lalu dipenggal, lalu dipanggang di atas api sampai bersih, yaitu, bagian rambut telah hilang atau dapat dengan mudah dihapus. Ketika telah siap, kepala lalu digantung bersama dengan tanduk kerbau yang disembelih.Â
Keesokan harinya, pongkalu mengambil tengkorak tua, yaitu tengkorak orang-orang yang telah dikorbankan pada ritual-ritual sebelumnya, bersama dengan tengkorak tandasang yang baru, Pongkalu membawa tengkorak-tengkorak tersebut ke sebuah gunung dekat desa.Â
Di sini Pongkalu melakukan prosesi berkorban ke dehata (dewata), setelah usai, tengkorak-tengkorak tersebut kembali dibawa ke rumah tobara, tempat asal dimana tengkorak-tengkorak tersebut di simpan. Prosesi ini disebut ma'palapa boea artinya "menutup boea".
Demikianlah, prosesi ritual Ma'Bua yang pernah berlangsung di wilayah Seko (Kabupaten Luwu Utara hari ini). Di masa lalu, prosesi ini nampaknya umum dilaksanakan di berbagai suku di pulau Sulawesi.
Setelah pengislaman yang gencar dilakukan, dimulai  di awal abad ke 17, yang didasari perintah kerajaan (kedatuan) dan karenanya dilaksanakan dengan kekuatan militer kerajaan, maka, perlahan-lahan ritual mengerikan tersebut hilang, terutama di bagian pesisir pulau Sulawesi.
Tersisa di wilayah pegunungan saja, yang nampaknya masih dilakukan hingga masa kolonial, seperti yang masih dapat dijumpai Kruyt dalam ekspedisinya di tengah pulau Sulawesi di akhir abad ke-19.
Keindahan Alam Seko
Walaupun memiliki ritual yang mengerikan pada masa lalu, Seko adalah wilayah dataran tinggi dengan panorama alam yang menakjubkan. Buktinya, keindahan alam wilayah ini telah banyak diliput berbagai TV nasional. Salah satunya adalah Kompas TV, untuk Program "Explore Indonesia".
Perjalanan Tim peliput Kompas TV ke daerah yang berada di ketinggian 1800 mdpl ini, dimuat dalam artikel kompas.com dengan judul "Naik Ojek Termahal di Indonesia Menuju Seko".
Dalam artikel tersebut, Tim peliput Kompas TV melaporkan jika ongkos ojek yang mereka gunakan dari Masamba (ibukota kabupaten Luwu Utara) menuju Seko berkisar kurang lebih 1 juta.
Hal ini terutama dikarenakan selain jaraknya yang cukup jauh juga karena kondisi jalan yang sangat buruk. Lama jarak tempuh umumnya berkisar antara 3 hari hingga kadang bisa seminggu jika kondisi cuaca memburuk.
Sulitnya akses jalan menuju Seko, membuat wilayah ini terisolir sekian lama. Barulah di tahun 2019 kemarin, pembangunan jalan secara serius dilaksanakan untuk membuka akses ke Seko.
Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah, yang berkomitmen untuk menyelesaikan pembangunan jalan ke Seko di masa jabatannya, 31 Desember lalu menyempatkan diri merayakan pergantian tahun di Seko.
Saat ini, sepanjang 120 kilometer jalan menuju Seko, telah sekitar 60 kilometer yang teraspal, yakni dari kecamatan Sabbang hingga kecamatan Rongkong. (Sumber di sini)
Namun demikian, Nurdin Abdullah berkomitmen bahwa jalan yang selama 74 tahun Indonesia merdeka terus terisolir, di tahun 2020 ini ditargetkan akan dapat dirampungkan pengaspalannya. (Sumber di sini)
Demikianlah, Kita doakan saja semoga di tahun 2020 ini pembangunan jalan ke Seko tidak mengalami kendala, sehingga dapat selesai sesuai waktu yang ditargetkan.
Sekian uraian ini, semoga bermanfaat. Salam.
Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare - Kediri, 11 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H