Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bulukumba dan Reputasinya sebagai Pembuat Kapal Sejak Zaman Kuno

8 Februari 2020   18:10 Diperbarui: 8 Februari 2020   20:59 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembuatan kapal Phinisi di Bulukumba, Sulawesi Selatan (sumber: kompas.com)

Dalam beberapa pekan terakhir ramai diberitakan Kapal Padewakang, kapal kayu tidak menggunakan mesin dan hanya mengandalkan dorongan tenaga angin untuk berlayar, yang setelah berlayar selama 51 hari, terhitung sejak dilepas di Makassar, 8 Desember 2019, akhirnya tiba di Darwin Australia pada tanggal 28 Januari 2020.

Horst Liebner, antropolog maritim asal Jerman yang telah 30 tahun tinggal di Indonesia, menjadi pengarah pembuatan kapal jenis kapal Padewakang yang kemudian diberi nama "Nur Al Marege". Kapal ini dibangun oleh Haji Usman, seorang ahli pembuat kapal asal Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Adapun ekspedisi pelayaran kapal Padewakang ke Australia ini, bisa dikatakan menapaktilasi sejarah hubungan perdagangan antara pelaut Bugis Makassar dengan orang Aborigin (penduduk asli Australia) yang terjalin berabad-abad yang lalu, jauh sebelum masa kolonial.

Namun demikian, Menurut Muhammad Ridwan Alimuddin, peneliti maritim yang membantu Liebner, (yang dikutip dari laman tempo.co) tim-nya dihubungi oleh Institut Abu Hanifa di Sydney untuk membuat kapal demi keperluan film dokumenter.  

Untuk ekspedisi ini, theaustralian.com menaikkan pemberitaan bertajuk "Trading history for Islam connection", yang merefleksi hubungan perdagangan orang Yolngu (Aborigin) dengan pelaut muslim dari Sulawesi.

Informasi adanya hubungan perdagangan di masa lalu antara orang Sulawesi dengan orang Aborigin Australia ini sesungguhnya berasal dari catatan Thomas Stamford Raffles dalam buku "The History of Java", yang terbit pada tahun 1817.

Catatan inilah yang kemudian nampaknya dari waktu ke waktu menjadi rujukan para ahli sejarah dan antropologi dunia. Setidaknya, hingga saat saya belum menemukan catatan dari peneliti lain yang lebih awal dari "The History of Java", yang membahas hal yang sama. 

Mungkin saja Stamford Raffles mendapat informasi itu dari sejawatnya dari Inggris, James Cook atau John Crawfurd, tapi sejauh ini saya belum menemukan hal itu secara nyata dibahas mereka berdua dalam catatannya.

Dalam buku "The History of Java", terkait hubungan perdagangan di masa lalu antara orang Sulawesi dengan orang Aborigin Australia, Stamford Raffles mengurai informasinya sebagai berikut:

Beberapa perahu orang-orang Bugis dari Makasar yang berkunjung ke pesisir utara New Holland dan teluk Carpentaria dalam mencari teripang tahunan, dan kadang-kadang sejumlah kecil kelompok orang ditinggal dengan tujuan untuk mengumpulkan teripang untuk memperoleh persediaan ketika kedatangan perahu-perahu tersebut dalam tahun berikutnya.

Dan berikut ini, kutipan aslinya saya capture dari buku "The History of Java" hlm. xc

(dokpri)
(dokpri)

Makna nama Bulukumba

Makna nama Bulukumba yang beredar selama ini, menyebutkan bahwa Nama Bulukumba, konon berasal dari bahasa Bugis yaitu "Bulu-ku" artinya: gunungku (dari kata dasar bulu = gunung) - "Mupa" artinya: masih. Jadi, dalam bahasa Indonesia dapat berarti, "masih gunung milik saya" atau "tetap gunung milik saya". Pemaknaan ini dikatakan berasal dari mitos tentang Bulukumba yang muncul sekitar abad 17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. 

Namun,  secara pribadi, saya melihat makna nama Bulukumba yang sesungguhnya adalah "gunung perahu". Berasal dari kata "bulu" (bahasa Tae' / Bahasa Bugis kuno) yang artinya:gunung, dan "kumbha" (bahasa Sanskrit) yang artinya: perahu. 

Kata "Kumbha" dalam bahasa Sanskerta memang umumnya diartikan "kendi" atau "pot tembikar". Namun dalam aspek ritual Hindu, kata "kumbha" dapat bermakna sebagai "perahu kosmik", dalam artian, "Kumbha"  dimaknai sebagai kendaraan utama doa untuk kehadiran energi ilahi selama upacara api Veda. Penjelasannya lebih lengkapnya dapat dibaca dalam artikel yang berjudul "Kumbha, The Cosmic Vessel" di laman creative.sulekha.com 

Dengan catatan panjang yang dimiliki daerah Bulukumba sebagai daerah asal ahli pembuat kapal, yang dalam bahasa Bugis disebut "panrita lopi" (arti harfiahnya "pandita kapal", dimaknai sebagai "orang yang pandai membuat kapal"), maka, pemaknaan nama Bulukumba sebagai "gunung perahu" saya pikir lebih mengena.

Terkait juga dengan hal ini, di Sulawesi Selatan ada mitos bahwa kepandaian orang Bulukumba membuat kapal, berasal dari kepingan Kapal Nabi Nuh yang mereka temukan dan kemudian mereka pelajari.

Kaitan Bira dengan Bahasa Luwian

Di kabupaten bulukumba, Sulawesi Selatan, orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, terkenal sebagai rumah para pembuat perahu tradisional, yang secara turun temurun mewarisi tradisi dan keahlian tersebut dari nenek moyangnya.

Yang menarik, dalam literatur kesejarahan Asia kecil (Turki hari ini) dikenal Budaya Luwian yang berkembang di Zaman Perunggu Asia Kecil bagian barat. 

Hari ini, istilah "Luwian" sering digunakan untuk merujuk pada bangsa yang bermukim di ujung timur Mediterania selama abad ke 10 hingga abad ke-9 Sebelum Masehi. Namun, naskah hieroglif Luwian di barat dan selatan Asia Kecil juga menunjukkan dibuat pada awal 2000 SM, Oleh karena itu, istilah Luwian juga diterapkan pada masyarakat adat yang tinggal di Anatolia barat dan selatan - selain Hattians - sebelum kedatangan orang Het dan selama pemerintahan Het. 

Bangsa Luwian juga seringkali dikaitkan dengan "sea peoples" atau orang laut yang secara ganas menginvasi wilayah mesir kuno dan wilayah lain dari Mediterania Timur yang mengakibatkan peradaban Zaman Perunggu Akhir runtuh untuk selamanya (1200-900 SM). Tulisan di dinding kuil kamar mayat Ramses III di Thebes kuno (Mesir) berbicara tentang sebuah invasi dari yang disebut sebagai Bangsa Laut.

Adegan di dinding Medinet Habu, menggambarkan kampanye Mesir melawan
Adegan di dinding Medinet Habu, menggambarkan kampanye Mesir melawan "The Sea people", dikenal dengan sebutan pertempuan delta (sumber: wikipedia.org)

"The Sea Peoples" hingga saat ini tetap tidak teridentifikasi di mata kebanyakan sarjana modern, dan sumber hipotesis tentang asal usul mereka banyak bersifat spekulasi.

Memasuki era iron age, di sekitar abad 7 SM, bekas wilayah Luwian kemudian dikenal sebagai Lydia. kemudian menjadi wilayah turki untuk masa sekarang ini.

Bahasa Lydian adalah bahasa Indo-Eropa di keluarga bahasa Anatolia, terkait juga dengan Luwian dan juga bahasa "orang laut". Bahasa Lydian akhirnya punah pada abad 1 SM. Namun dari penerjemahan sebuah prasasti Lydian, berhasil diterjemahkan kata "Bira" yang berarti: rumah.

Dari semua informasi bangsa Luwian yang dikatakan terkait erat dengan "orang laut" (sea people), dan dengan mencermati bentuk penyebutan namanya, kuat dugaan saya bahwa bentuk dasar dari nama Luwian adalah "Luw" atau "Luwu".

Pertimbangan ini merujuk pada kelaziman orang-orang Eropa ketika menyebut "orang dengan negeri asalnya" dengan memberi akhiran --an dibelakang nama bangsa orang tersebut. Misalnya orang India akan disebut "Indian" atau orang Indonesia disebut "Indonesian". Jadi Luwian bisa jadi berarti "orang Luw" atau "orang Luwu".

Sementara itu, kosa kata "Bira" dalam bahasa Luwian yang berarti "rumah", mengarahkan dugaan saya pada pertimbangan bahwa ada kemungkinan kata tersebut keterkaitan dengan suatu daerah bernama Bira di ujung selatan pulau Sulawesi, yang merupakan pusat pembuatan perahu Phinisi. 

Pemikiran ini didasari fakta adanya keterkaitan yang erat antara Bangsa Luwian dengan Bangsa Laut "The Sea People", bahwa bisa jadi asal usul bangsa Luwian di Asia Kecil pada masa kuno berasal dari para Penjelajah Laut dari pulau Sulawesi yang kemudian menjadikan nama kampung halamannya sebagai sebutan untuk "rumah" dipemukiman baru mereka. 

Bentuk yang identik dengan hal ini, dimana sebutan negeri juga memiliki makna "rumah", dapat kita lihat pada kata "Banua" yang dalam bahasa tradisional di pulau Sulawesi bisa berarti "rumah", juga bisa berarti "kampung" ataupun "negeri".

Yang bergaris merah pada peta ini adalah wilayah
Yang bergaris merah pada peta ini adalah wilayah "ujung loe" di kabupaten Bulukumba, yang identik dengan bunyi penyebutan "luwu". (dokpri)

Gambar peta di atas adalah pesisir selatan pulau Sulawesi, tepatnya di Kabupaten Bulukumba, yang menunjukkan wilayah tanjung Bira dan wilayah ujung loe (bergaris merah) yang bisa dikatakan identik dengan bunyi penyebutan "Luwu".

Mengenai pembahasan Luwu di masa kuno dapat dibaca pada tulisan saya lainnya:

Demikianlah, Bangsa Luwian yang terkait erat dengan "sea people", yang menyebut rumah dengan sebutan "bira", lalu Phonecia (Bangsa pelaut ulung di masa kuno) yang juga identik dengan nama perahun phinisi, menyajikan benang merah keterkaitan antara kejayaan bangsa laut di kawasan mediterania pada masa kuno, dengan tradisi bahari di pulau Sulawesi yang juga telah berlangsung sejak masa kuno.

Sekian uraian ini, semoga bermanfaat. Salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare - Kediri, 8 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun