Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Personifikasi Hawa di Masa Kuno

25 Desember 2019   14:35 Diperbarui: 25 Desember 2019   20:00 3331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tinjauan kata banuwa menurut aksara Cina (Dokpri)

Ibu Hawa bisa dikatakan sosok yang paling sedikit mendapat pembahasan dalam literatur sejarah manusia. Nampaknya, hal ini mungkin dikarenakan sosoknya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran profil Adam sebagai manusia pertama.

Namun demikian, pada kenyataannya, banyaknya jejak yang ia tinggalkan di dunia jauh melampaui jejak Nabi atau sosok penting manapun dalam sejarah manusia. 

Sosok personifikasinya hadir hampir dalam semua kebudayaan besar di masa kuno, dan tersebar di seluruh penjuru dunia. Untuk memahami fakta hal ini, mengenal bagaimana sosoknya dipersonifikasi adalah satu-satunya jalan.

Dalam banyak mitologi, Nabi Adam dan Ibu Hawa disimbolisasi dalam beragam nama dan karakter. Personifikasi tersebut merupakan wujud konsekuensi dari sudut pandang bangsa-bangsa kuno dalam memahami dan mengapresiasi eksistensi sosok mereka. 

Di titik ini, Hal terpenting yang mesti dipahami adalah bahwasanya masa hidup Nabi Adam, dan terutama Ibu Hawa, jika merujuk pada literatur yang ada, bisa jadi mencapai masa hidup lebih dari seribu tahun. 

Jika dalam tradisi berbagai agama, disebutkan masa hidup Nabi Adam hampir mencapai seribu tahun (sekitar 960 tahun), maka Ibu Hawa yang ditinggal pergi, tidak ada satupun catatan yang secara spesifik menyebut berapa lama masa hidupnya. 

Dari personifikasi sosoknyalah sebagai Dewi Ushas dalam Rigveda, yang memungkinkan kita bisa mendapat sedikit gambaran, bahwa bisa jadi ia hidup lebih lama setelah meninggalnya Nabi Adam. 

Hal tersebut dapat kita cermati tersirat Pada Rigveda, hymne 7.77 : "dia juga mengajukan petisi untuk diberikan umur panjang, karena dia konsisten mengingatkan orang-orang akan waktu yang terbatas di bumi". Tujuan permohonannya agar diberi umur panjang bisa dicermati pada hymne 1.48, yang berbunyi: "Dia yang memelihara/ merawat/ menjaga semua hal, layaknya seorang janda yang baik". 

Secara pribadi saya membayangkan bahwa setelah ditinggal pergi suaminya, Ibu Hawa menyadari makna penting dirinya sebagai seorang ibu. Dan nampaknya ia berjuang untuk itu, untuk memastikan masa depan yang baik bagi anak cucunya. (Pemahaman ini tentu merupakan hal yang mengharukan bukan? ... :) ... )

Fase-fase kehidupan Nabi Adam dan Ibu Hawa inilah yang kemudian termitologisasi dalam tradisi berbagai bangsa kuno. Ada mitologisasi yang menggambarkan kehadiran awal mereka di dunia, ada mitologisasi yang menggambarkan perjuangan mereka berdua, dan ada pula mitologisasi yang menggambarkan perjuangan ibu Hawa setelah ditinggal mati suaminya.

Karena itu, melalui pencermatan personifikasi mereka dalam mitologisasi tersebut, saya melihat bahwa kita sesungguhnya dapat merekonstruksi suatu gambaran besar kesejarahan berbagai bangsa kuno yang mengisi tiap stage-stage peradaban dunia dalam durasi waktu ribuan tahun di masa lalu. 

Hal Ini dapat dimungkinkan dengan mencermati fase kehidupan manakah dari Nabi Adam dan Ibu Hawa yang menjadi tema mitologisasi dari bangsa-bangsa kuno tersebut.

Dan berikut ini beberapa bentuk mitologisasi tersebut...

Batara Guru dan We Nyili Timo dalam Mitologi Luwu / Bugis Kuno

Dalam tradisi Bugis, Sosok Nabi Adam dan Ibu Hawa nampaknya tersimbolisasi sebagai Batara Guru dan Istrinya We Nyili Timo. Hal ini dapat kita jumpai dikisahkan dalam Kitab Sure I La Galigo.

Batara Guru diceritakan adalah anak dari Puang Patotoe (Dewata pencipta yang bersemayam di langit, dengan Istrinya, Datu Palinge). Batara Guru diperintahkan turun dan memerintah dunia tengah (bumi) yang masih kosong gelap gulita. 

Di dunia tengah, Batara Guru dinikahkan dengan We Nyili Timo putri dari penguasa dunia bawah (Guru Ri Selleng dan Istrinya Sinaungtoja yang merupakan adik kembar Sang Pencipta).

Berikut ini penggalan kisah Batara Guru / We Nyili Timo pada saat pertama kali dipertemukan di dunia tengah, yang diceritakan di dalam buku I La Galigo terjemahan R.A Kern. (R. A. Kern. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989 Hlm. 31-32) 

"...kenaikan We Nyili' Timo terkatung-katung di atas ombak di depan Batara Guru. Seorang inang pengasuh mendesaknya agar ia sendiri berenang ke padanya, akan tetapi apabila hal itu dilakukan oleh Batara Guru, kenaikan We Nyili Timo bagaikan diterbangkan pergi oleh angin; dengan terperanjat dan bingung Batara Guru kembali ke pantai. Ia memandang berkeliling, dilihatnya mempelainya di sebelah timur; ia berenang pula kepadanya, tiga kali We Nyili Timo selalu menghilang. 

Ketika Batara Guru kembali ke pantai, ia berganti pakaian; yang dipakainya kini ialah pusakanya dari Sang Pencipta. Diambilnya sekapur sirih dari dalam cenrananya, lalu diucapkannya suatu mantera. Seketika laut menjadi kering, lalu pergilah ia sendirian mendapatkan We Nyili Timo ke tempatnya bersemayam.

Akan tetapi sang putri menguraikan rambutnya yang panjang, lalu mengucapkan sebuah mantera. Maka seolah-olah kenaikannya ada yang menariknya pergi lalu tenggelam, orang tidak melihatnya lagi; akan tetapi dalam pada itu lautan pun bagaikan menyala dan We Nyili Timo seolah-olah seorang anak dewata yang turun ke bumi dalam usungannya. 

Orang-orang ware gemetar melihat api langit sedang mengamuk di tengah lautan. Batara Guru balik lagi dan menanti, dicampakkannya ikat kepalanya (yang berasal dari langit) ke dalam laut sambil mengucapkan suatu mantera hingga tiga kali. Api pun padamlah. 

Dengan suatu mantera We Nyili Timo menjadikan air naik kembali. Batara Guru berenang kepadanya, lalu duduk disampingnya. Kembali ia tak kelihatan pula, akan tetapi oleh mantera Batara Guru ia turun lagi seluruhnya dalam busana putih, rambutnya pun putih. 

Sang manurung bungkam keheran-heranan, akan tetapi dia ucapkan jua suatu mantera, sehingga wajah sang puteri berubah, kini bersinar penuh kecantikan, duduk disampingnya. Dengan suatu mantera yang baru We Nyili Timo mengubah dirinya menjadi seorang anak kecil. Batara Guru dari pihaknya membuka ikat rambutnya dan mengucapkan suatu mantera; We Nyili Timo pun menjadi cantik kembali.

Fuxi dan Nuwa dalam Mitologi Cina

Dalam teks klasik tiongkok "The Classic of Mountains and Seas" atau "Shan Hai Jing", dikenal sosok Fuxi, juga diromanisasi sebagai Fu-hsi, sebagai pahlawan budaya dalam legenda dan mitologi Cina , yang dikreditkan (bersama dengan saudara perempuannya Nuwa).

Pada salah satu kolom dari Kuil Fuxi di Provinsi Gansu, bait berikut ini menjelaskan pentingnya Fuxi: "Di antara tiga primitifitor peradaban Huaxia , Fu Xi di Negara Huaiyang menempati urutan pertama."(Ji Xiaoping. Worshiping the Three Sage Kings and Five Virtuous Emperors The Imperial Temple of Emperors of Successive Dynasties in Beijing : 2007)

Pada awalnya belum ada tatanan moral atau sosial. Manusia hanya mengenal ibu mereka, bukan ayah mereka. Saat lapar, mereka mencari makanan; ketika puas, mereka membuang sisa-sisanya. Mereka membungkus diri mereka dengan kulit dan cenderung terburu-buru dalam setiap tindakan. 

Kemudian datanglah Fuxi, melihat ke atas dan merenungkan gambaran di langit, melihat ke bawah dan merenungkan situasi di bumi. Dia kemudian menyatukan suami-istri agar manusia beranak pinak, mengatur lima tahap perubahan, dan menetapkan hukum-hukum kemanusiaan. Dia menyusun delapan trigram, untuk mendapatkan penguasaan atas dunia. Demikian gambaran singkat Fuxi dalam mitologi Cina.

Adapun narasi simbolik yang terpenting dari Fuxi dan Nuwa, dan bisa kita lihat ada kesamaan dengan kisah simbolik yang ada pada Batara Guru dan We Nyili Timo dalam naskah I La Galigo adalah sebagai berikut: 

Fuxi dan Nuwa awalnya adalah saudara. Suatu hari mereka mendirikan dua tumpukan api yang terpisah, dan api akhirnya menjadi satu. Di bawah api, mereka memutuskan untuk menjadi suami dan istri. 

Narasi tersebut identik dengan narasi simbolik Batara Guru dan We Nyili Timo pada bagian ini: 

...akan tetapi dalam pada itu lautan pun bagaikan menyala dan We Nyili Timo seolah-olah seorang anak dewata yang turun ke bumi dalam usungannya. 

Orang-orang ware gemetar melihat api langit sedang mengamuk di tengah lautan. Batara Guru balik lagi dan menanti, dicampakkannya ikat kepalanya (yang berasal dari langit) ke dalam laut sambil mengucapkan suatu mantera hingga tiga kali. Api pun padamlah. 

Telaah Kesamaan

Kesamaan kedua versi narasi simbolik di atas, dapat kita lihat pada bagian cerita yang menggambarkan adanya api yang menjulang ke langit. Secara intuitif saya melihat hal ini sebagai suatu wujud gambaran emosi. 

Jika pemahaman "gambaran emosi" tersebut dikaitkan dengan situasi pertemuan pertama kali Nabi Adam dan Hawa di bumi (setelah sempat terpisah beberapa lama saat diturunkan dari Surga), saya menduga bahwa pada saat pertama kali mereka bertemu kembali, sempat terjadi pertengkaran yang hebat antara keduanya. Saling melempar kesalahan tentang hal yang menyebabkan mereka terusir dari dalam Surga.

Saya menduga interpretasi dari kalimat: "mereka mendirikan dua tumpukan api yang terpisah", adalah wujud emosional/kemarahan keduanya. Dan lanjutan kalimat: "dan api akhirnya menjadi satu. Di bawah api, mereka memutuskan untuk menjadi suami dan istri" menggambarkan mereka berhasil menemukan titik temu.

Api sebagai simbol kemarahan umumnya kita dapat temukan dalam ilustrasi komik, seperti pada gambar berikut ini...

victoriajess.com
victoriajess.com
Pertemuan kembali Adam dan Hawa yang disimbolisasi melalui pertemuan Batara Guru dan We Nyili Timo dalam kitab I La Galigo, menggambarkan situasi emosional dimana Hawa terlihat lebih memainkan emosinya. Dalam kisah itu, setidaknya ada tiga momentum yang diciptakan We Nyili Timo (Hawa) yaitu:
  • Nyala api yang membumbung tinggi; wujud emosional/kemarahan We Nyili Timo (Hawa) yang dapat diredakan oleh Batara Guru (Nabi Adam) dengan mantera (ungkapan simbolik dari bujukan).
  • We Nyili Timo (Hawa) berubah memutih, dengan rambut pun juga putih; merupakan wujud kegamangan atau kelengangan emosi. Hal ini umum kita dapat lihat pada orang-orang yang baru saja selesai meluapkan kemarahan. Putih dalam beberapa hal biasanya merupakan simbol kekosongan (misalnya: seorang anak bayi, kadang diberi ungkapan lembaran putih kehidupan). Dalam situasi itu Batara Guru (Nabi Adam) tetap memberikan bujukannya.
  • We Nyili Timo (Hawa) berubah wujudnya menjadi anak kecil; merupakan gambaran perubahan psikologi We Nyili Timo (Hawa) yang malu-malu ingin dibujuk seperti layaknya anak kecil.

Terlepas dari tinjauan aspek emosional pertemuan Nabi Adam dan Ibu Hawa yang digambarkan di atas, ungkapan Fuxi dan Nuwa yang mengatakan "awalnya mereka merupakan saudara sebelum kemudian menjadi pasangan suami istri," identik dengan latar belakang Hawa yang dalam berbagai literatur kuno dikatakan diciptakan Allah dari tulang rusuk Nabi Adam (terkait hal itu, Adam dan Hawa dapatlah dianggap bersaudara pada awalnya). 

Dewa Surya dan Dewi Ushas dalam mitologi Hindu

Dalam tradisi Hindu, Nabi Adam nampaknya dipersonifikasi dalam sosok Dewa Surya, sementara Ibu Hawa dipersonifikasi dalam sosok Dewi Ushas.

Kehadiran keduanya yang dianalogikan "bagai matahari pagi yang hadir menghilangkan gelap malam" - dimana matahari sebagai simbolisasi ilmu pengetahuan, sementara gelap malam sebagai simbolisasi kebodohan, merupakan wujud illustrasi kehadiran Nabi Adam dan Hawa di masa awal peradaban manusia, yang datang membawa ilmu pengetahuan.

Dalam tradisi Hindu, sejauh ini saya belum menemukan illustrasi fase awal kehidupan Nabi Adam dan Hawa di bumi, sebagaimana yang digambarkan dalam mitologi Bugis ataupun dalam mitologi Cina.

Dalam Rigveda, personifikasi Nabi Adam dan Hawa terlihat lebih kepada penggambaran fase hidup mereka dalam perjuangannya membimbing umat manusia di masa awal peradaban. Keduanya dipersonifikasi sebagai dewa / dewi matahari yang setiap hari menggunakan kereta kuda melintasi langit menuju arah barat (sebagaimana pergerakan matahari terlihat dari bumi). 

Hal inilah yang saya interpretasikan bahwa setelah kembalinya Adam ke Sang Pencipta, ibu Hawa lalu menggantikan perannya dalam menyebarkan ilmu pengetahuan.

Yang menarik karena, dalam Rigveda kita mendapati pula fase di mana ibu Hawa saat telah menjadi seorang janda, yaitu pada hymne 1.48, yang berbunyi: "Dia yang memelihara/ merawat/ menjaga semua hal, layaknya seorang janda yang baik". 

Personifikasi Ibu Hawa lainnya (sebagai Dewi Ushas dalam Rigveda) tergambar pada hymne 1.92 di mana ia disebut "ibu dari sapi" dan "seorang yang suka sapi." Dalam hymne ini ia juga digambarkan sebagai "pemburu yang terampil." wujud Personifikasi sebagai Dewi Alam liar, binatang liar, ataupun Ibu Bumi inilah nantinya yang terus berlanjut eksistensinya hingga kepada peradaban bangsa Yunani, Romawi, dan peradaban bangsa Eropa lainnya.

Personifikasi ibu Hawa sebagai ibu bumi sesungguhnya dapat kita temukan dalam sebutan nama Benua yang berasal dari kata Banua.

Kuat dugaan saya jika kata Banua berasal dari kata Banuwa yang mana berasal dari bentuk nama "nuwa" (personifikasi ibu Hawa dalam mitologi cina).

Sebutan Ba-nuwa jika ditinjau menurut aksara Cina dapat bermakna "Anggap sebagai nuwa". Ba = Anggap sebagai (regard as); Nu = Perempuan (women) ; Wa = seorang dewi, saudara perempuan dan penerus dari sosok mitologis Fuxi (a goddess, the mythological sister and successor to Fuxi) 

Berikut ini tinjauan aksara Cinanya...

Tinjauan kata banuwa menurut aksara Cina (Dokpri)
Tinjauan kata banuwa menurut aksara Cina (Dokpri)
Personifikasi "langit dan bumi" sebagai gambaran maskulinitas dan feminitas bagi sosok Adam dan Hawa nampaknya merupakan hal yang umum dalam pandangan orang-orang di masa kuno. 

Seperti dalam kitab I La Galigo, Batara Guru (Adam) disebut "to manurung" (terminologi dewa dalam tradisi luwu / bugis) yang turun dari langit, sementara We Nyili Timo (Hawa) disebut "to manurung" yang muncul dari bawah tanah.

Konsep dualisme (maskulinitas dan feminitas) ini dapat pula kita temukan dalam tradisi bangsa Het (Hittites), yaitu orang Anatolia kuno (Turki kuno) yang membentuk sebuah kerajaan antara 1600-1180 SM. Dalam tradisinya, mereka menyembah dewi matahari bumi dan dewa matahari dari langit. 

Di wilayah dan di masa Anatolia kuno ini pula,terdapat bangsa Luwian yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia nama ini bisa bermakna "luwu". 

Yang lebih menarik karena disebelah barat wilayah Anatolia atau Turki hari ini, tepatnya di wilayah Yunani, terdapat nama semenanjung Peloponnese yang identik dengan nama Palopo (salah satu daerah tingkat II di bekas wilayah kedatuan Luwu, Sulawesi Selatan). Bisa dilihat dalam gambar berikut ini...

Sumber Photo: wikimedia.org/ - telah mengalami proses edit menurut kebutuhan.
Sumber Photo: wikimedia.org/ - telah mengalami proses edit menurut kebutuhan.
Historiografi Yunani mencatat jika nama semenanjung Peloponnese berasal dari kata Pelopo-nessos yang artinya "pulau Pelops". Namun akan lebih tepat jika sekiranya diartikan "pulau pelopo". Nama Pelops berasal dari nama raja Pelops yang berasal dari Anatolia.

Kembali pada pembahasan kita sebelumnya...

Demikianlah, sebutan benua atau pun banua yang kita kenal pada hari ini pada dasarnya berasal dari kata "nuwa" yang merupakan wujud personifikasi ibu Hawa sebagai dewi bumi.

Terkait personifikasi Hawa sebagai dewi kehidupan alam liar, dewi binatang liar, dewi pelindung rusa atau pun sapi, ataupun dewi perburuan, di pulau sulawesi ia dikenal dengan sebutan "nenemori", di tradisi Hindu dikenal dengan sebutan "dewi ushas" sementara di Yunani kuno ia dikenal sebagai "artemis". (baca pembahasan mengenai hal ini di artikel saya sebelumnya: Menyingkap Jejak Dewi Fajar di Pegunungan Latimojong)

Dari keseluruhan uraian personifikasi Adam dan Hawa di atas, kita bisa mendapat gambaran jika mitologi bugis dan Mitologi Cina yang mengilustrasikan kehidupan paling awal Adam dan Hawa di dunia menunjukkan jika di wilayah timur inilah mereka memulai eksistensinya. 

Personifikasi Adam dan Hawa dalam Mitologi India ataupun Yunani yang lebih pada penggambaran eksistensi mereka dalam perjuangannya menyebar ilmu pengetahuan di masa awal peradaban manusia, bisa dikatakan merupakan eksistensi tahap lanjutan dari mereka. 

Ini dengan sendiri menjadi gambaran besar bagi kita bahwa nampaknya memang Manusia pertama dan peradaban yang dimulainya, bermula dari timur untuk kemudian bergerak ke arah barat.

Sekian. Semoga bermanfaat. salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare 25 Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun