Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Personifikasi Hawa di Masa Kuno

25 Desember 2019   14:35 Diperbarui: 25 Desember 2019   20:00 3331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tinjauan kata banuwa menurut aksara Cina (Dokpri)

Hal inilah yang saya interpretasikan bahwa setelah kembalinya Adam ke Sang Pencipta, ibu Hawa lalu menggantikan perannya dalam menyebarkan ilmu pengetahuan.

Yang menarik karena, dalam Rigveda kita mendapati pula fase di mana ibu Hawa saat telah menjadi seorang janda, yaitu pada hymne 1.48, yang berbunyi: "Dia yang memelihara/ merawat/ menjaga semua hal, layaknya seorang janda yang baik". 

Personifikasi Ibu Hawa lainnya (sebagai Dewi Ushas dalam Rigveda) tergambar pada hymne 1.92 di mana ia disebut "ibu dari sapi" dan "seorang yang suka sapi." Dalam hymne ini ia juga digambarkan sebagai "pemburu yang terampil." wujud Personifikasi sebagai Dewi Alam liar, binatang liar, ataupun Ibu Bumi inilah nantinya yang terus berlanjut eksistensinya hingga kepada peradaban bangsa Yunani, Romawi, dan peradaban bangsa Eropa lainnya.

Personifikasi ibu Hawa sebagai ibu bumi sesungguhnya dapat kita temukan dalam sebutan nama Benua yang berasal dari kata Banua.

Kuat dugaan saya jika kata Banua berasal dari kata Banuwa yang mana berasal dari bentuk nama "nuwa" (personifikasi ibu Hawa dalam mitologi cina).

Sebutan Ba-nuwa jika ditinjau menurut aksara Cina dapat bermakna "Anggap sebagai nuwa". Ba = Anggap sebagai (regard as); Nu = Perempuan (women) ; Wa = seorang dewi, saudara perempuan dan penerus dari sosok mitologis Fuxi (a goddess, the mythological sister and successor to Fuxi) 

Berikut ini tinjauan aksara Cinanya...

Tinjauan kata banuwa menurut aksara Cina (Dokpri)
Tinjauan kata banuwa menurut aksara Cina (Dokpri)
Personifikasi "langit dan bumi" sebagai gambaran maskulinitas dan feminitas bagi sosok Adam dan Hawa nampaknya merupakan hal yang umum dalam pandangan orang-orang di masa kuno. 

Seperti dalam kitab I La Galigo, Batara Guru (Adam) disebut "to manurung" (terminologi dewa dalam tradisi luwu / bugis) yang turun dari langit, sementara We Nyili Timo (Hawa) disebut "to manurung" yang muncul dari bawah tanah.

Konsep dualisme (maskulinitas dan feminitas) ini dapat pula kita temukan dalam tradisi bangsa Het (Hittites), yaitu orang Anatolia kuno (Turki kuno) yang membentuk sebuah kerajaan antara 1600-1180 SM. Dalam tradisinya, mereka menyembah dewi matahari bumi dan dewa matahari dari langit. 

Di wilayah dan di masa Anatolia kuno ini pula,terdapat bangsa Luwian yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia nama ini bisa bermakna "luwu". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun