Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hubungan Nusantara dan Tanah Punt

25 Oktober 2019   13:29 Diperbarui: 25 Oktober 2019   15:28 1449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Informasi dari penguasa Dinasti Pertama Mesir atau Horus-Kings, mengatakan bahwa Punt ( Ta netjer atau "Tanah Tuhan") merupakan tanah leluhur mereka. Sayangnya, letak tanah Punt hingga saat ini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Sejak pertengahan abad ke-19, telah banyak pendapat yang diajukan oleh para sarjana untuk menentukan letak Punt. Ada yang menyebut di Suriah, Sinai, Arabia Selatan, Sudan Timur, Ethiopia Utara, Somalia, Kenya, dan masih banyak lagi pendapat lainnya, namun sejauh ini nampaknya semua usulan pendapat tersebut terasa masih kurang meyakinkan.

Orang-orang Mesir kuno sebenarnya meninggalkan kita cukup banyak berita tentang Punt, namun, mereka tidak memberi kita peta, arah atau jarak, atau apa pun yang secara pasti menentukan lokasi Punt.

Catatan Mesir kuno tentang ekspedisi perdagangan ke Punt, menyebutkan Punt sebagai sebuah kerajaan kuno, Mitra dagang Mesir yang memproduksi dan mengekspor emas, resin aromatik, ebony, gading,  hewan liar, termasuk monyet dan babon. Misi perdagangan tersebut dimulai setidaknya dari Dinasti ke-5 (2494-2345 SM) dan seterusnya. (Ian Shaw & Paul Nicholson: The Dictionary of Ancient Egypt. London: British Museum Press, 1995. hlm. 231)

Tanah Punt ( Mesir: pwnt ; alternatif Egyptological pembacaan Pwene(t) diperkirakan mengacu pada "Opone," seperti yang dikenal oleh orang Yunani kuno: Oponi.  Punt juga disebut sebagai Ta netjer, "tanah para dewa" atau "Tanah Tuhan". (James Henry Breasted: Ancient Records of Egypt: Historical Documents from the Earliest Times to the Persian Conquest, collected, edited, and translated, with Commentary. The University of Chicago, 1906. hlm. 117, vol.1 )

Ekspedisi-ekspedisi Mesir kuno yang diorganisasi ke Punt sebagai bukti adanya hubungan yang erat antara Mesir Kuno dan Punt adalah sebagai berikut: 

  • Pada Dinasti ke-empat, seseorang yang diidentifikasi sebagai orang Punt muncul sebagai budak salah satu putra Raja Khufu, tercatat pula bahwa emas punt telah berada di Mesir di masa ini; 
  • pada dynasty Ke-lima, Raja Sahure mengirim sebuah ekspedisi ke sana dan Raja Isesi mengirim yang lain, yang membawa kembali seorang kerdil yang menari; 
  • Dinasti Ke-enam, seorang perwira Pepi II, bernama Enenkhet, dibunuh oleh penghuni Pasir di pantai, ketika membangun sebuah kapal untuk pelayaran Punt, dan ekspedisi lain ke sana di bawah raja yang sama dipimpin oleh asisten bendahara (Thety); 
  • di Dinasti Ke-sebelas, Henu, kepala bendahara Raja Senekhkere-Mentuhotep III, mengirim ekspedisi ke Punt, yang hanya menyertainya hingga ke pantai Laut Merah; 
  • di Dinasti Ke-duabelas, seorang perwira Amenemhet II, bernama Khentkhetwer, mencatat berita keselamatannya kembali dari Punt; 
  • dan akhirnya ada juga ekspedisi di bawah Sesostris II.

Pada abad ke-15 SM, Ratu Hatshepsut dari Dinasti ke-18, membangun armada Laut untuk memfasilitasi perdagangan. Ia secara pribadi membuat ekspedisi Mesir kuno paling terkenal yang berlayar ke Punt. 

Ekspedisinya ke Punt ini dianggap salah satu hal yang paling menonjol dari pemerintahannya di antara serangkaian misi perdagangan yang termasuk kunjungan ke Phoenicia untuk mengumpulkan kayu yang sangat dibutuhkan Mesir untuk membangun kapal-kapal, dan eksploitasi tambang tembaga dan turquoise di Sinai yang dibuktikan dengan stela dan prasasti di Wadi Maghara dan Serabit el-Khadim. 

Semua misi ini merupakan indikasi tolak ukur dari kesuksesan pemerintahannya, yang dianggap sebanding dengan eksploitasi firaun-firaun besar di masa lalu, dan dengan demikian dicatat dengan bangga di dinding kuil Speos Artemidos di Mesir tengah: Roshawet dan Iuu tidak terpendam bagi orang yang mulia, dan Pwenet (punt) melimpah-limpah bagi saya di ladang, pohon-pohonnya membawa mur segar. Jalan-jalan yang diblokir di kedua sisi (sekarang) diinjak. Pasukan saya, yang tidak diperlengkapi, telah menjadi pemilik kekayaan sejak saya bangkit sebagai raja (...) - isi prasasti selengkapnya dapat dibaca pada  The Journal Of Egyptian Archaeology Vol.32 -  Alan H. Gardiner: Davies's copy of the great Speos Artemidos Inscription (The Egypt Exploration Society, 1946) hlm. 45-48.

Oleh para peneliti Roshawet diidentifikasi sebagai Sinai, sementara Iuu masih belum teridentifikasi.

Saya menduga, Daerah Iuu yang belum teridentifikasi ini ada keterkaitan dengan Eoos, Eous, atau Eos yang dibahas Prof. Arysio Santos dalam bukunya Atlantis, The Lost Continental Finally Found : "..Sekedar Informasi, Eos atau Dawn (dalam bahasa Latin juga disebut Aurora -- dalam bahasa Indonesia, dawn dan Aurora berarti 'fajar') adalah wanita berkulit putih. Namanya juga sama artinya dengan 'orang Timur' atau 'Oriental', dan kerap digunakan sebagai sebutan untuk Indonesia (Eoos dalam bahasa Yunani, Eous dalam bahasa Latin)".

Prof. Santos juga mengatakan bahwa julukan ini mengarah kepada fakta bahwa Indonesia adalah situs surga tempat budaya dan peradaban pertama kali muncul di dunia, di permulaan zaman. 

Adapun dugaan saya bahwa Iuu ada keterkaitan dengan Eoos didasari oleh fakta bahwa kebanyakan pengucapan bahasa Yunani klasik memberi akhiran s di akhir kata, seperti: Barbar yang dalam Yunani klasik diucapkan [b a r - ba - ros], atau Nusa yang diucapkan [ne - sos / ni.sos]. 

Dalam bahasa Tae' sendiri, juga dikenal kata "Esso" yang berarti "hari". Saya pikir, kata Esso dalam bahasa Tae' ini juga ada keterkaitan dengan Eoos, sebagaimana yang diungkap oleh Prof. Santos bahwa Eoos, Eous, atau Eos, dalam bahasa Inggris disebut "dawn" sementara dalam bahasa Indonesia bermakna "fajar" -- yang dapat diartikan sebagai "awal hari" atau "pagi".

Jadi, dapat diperkirakan jika antara "Esso" dalam bahasa tae' dengan Eoos, Eous, atau Eos dalam bahasa yunani telah terjadi morfologi terutama perubahan pada struktur fonetisnya, namun makna kata tidak bergeser jauh.

Hal ini juga sangat terkait dengan makna "negeri sabah" yang berarti "negeri pagi". 

Dengan demikian, berlandaskan dari seluruh uraian ini, saya menduga bahwa daerah Iuu yang tidak teridentifikasi oleh para peneliti selama ini kemungkinan besarnya ada di wilayah Nusantara hari ini, yang merupakan kawasan negeri Sabah yakni zona pagi menurut pembagian wilayah di masa kuno. (untuk pembahasan ini baca tulisan saya lainnya: Pembagian Zona Waktu di Masa Kuno)

Saya juga ingin menegaskan bahwa keberadaan istilah Eoos, Eous, Eos, Iuu, atau dawn, yang secara spesifik merujuk pada wilayah dimana awal Matahari terbit (fajar) dalam literatur-literatur kuno dapatlah dianggap sebagai fakta yang menguatkan pendapat saya tentang adanya pembagian wilayah di masa kuno menurut posisi matahari di langit. Sekaligus juga ini menegaskan bahwa, disebutkannya nama Iuu (yang teridentifikasi sebagai negeri sabah) di dinding kuil Speos Artemidos membuktikan adanya hubungan antara Mesir kuno dengan Nusantara di masa kuno.

Tanah Punt yang eksotis dan misterius, yang disebut sebagai "tanah dewa" atau "Tanah Tuhan", telah dikenal sejak zaman Old Kingdom sebagai sumber komoditas yang diinginkan seperti mur, dupa, eboni, gading, emas dan bahkan penari orang kerdil, yang sangat berharga di istana Mesir, sebagaimana yang disebut dalam prasasti makam  Harkhuf. Kutipannya sebagai berikut:

...Anda mengatakan dalam pengiriman Anda bahwa Anda telah membeli orang kerdil penari tarian dewa ... seperti kurcaci yang dibawa oleh bendahara dewa Bawerded dari Punt pada masa Raja Isesi ... Datang ke utara ke kediaman sekaligus! Cepat, dan bawa orang kerdil ini ... Jika dia naik ke kapal bersamamu, pilih orang yang dapat dipercaya untuk berada di sampingnya di kedua sisi kapal sehingga dia tidak jatuh ke air. Jika dia berbaring untuk tidur di malam hari, pilih pria yang dapat dipercaya untuk berada di sampingn tendanya. Inspeksikan dia sepuluh kali sepanjang malam. Yang Mulia rindu untuk melihat kurcaci ini lebih dari rampasan dari negara pertambangan dan Punt.

Meskipun ekspedisi ke Punt telah menjadi fitur umum dari beberapa pemerintahan Mesir pada masa Middle Kingdom, seperti misi perdagangan Mentuhotep III, Senwosret I dan Amenemhat II yang kesemuanya berhasil menavigasi perjalanan mereka menuju dan kembali dari tanah Punt, namun Lokasi yang tepat dari Punt hingga sekarang tetap menjadi misteri.

Joyce Tyldesley (1996) mengatakan jika merujuk pada flora dan fauna yang digambarkan dalam relief, sangat dimungkinkan bahwa Punt adalah sebuah negara di Afrika, mungkin terletak di suatu tempat di sepanjang pantai Eritrea / Etiopia antara garis lintang 17 derajat LU dan 12 derajat LU. Dengan demikian, Punt dapat dicapai melalui pelabuhan Quseir Laut Merah yang terletak di ujung jalan yang sulit di sepanjang jalan gurun dari Coptos. Misi ke Punt berlanjut selama pemerintahan Tuthmosis III dan Amenhotep III. Tradisi berdagang dengan Punt mati selama Dinasti Kedua, dan pada akhir periode dinastik, Punt telah menjadi tanah mitos dan legenda yang tidak nyata dan menakjubkan. (Tyldesley: Hatchepsut, hal.145-146)

Dari tahun 1970-2000an telah dilakukan penelitian secara ekstensif terhadap berbagai hal yang terkait dengan kegiatan pelayaran Mesir ke tanah Punt. 

Pada tahun 1970an Abdel Monem Abdel Haleem Sayed dari Universitas Alexandria, Mesir, melakukan penggalian di situs Mersa / Wadi Gawasis yang dianggap sebagai titik awal pelayaran Mesir dalam melakukan ekspedisi perniagaan ke berbagai wilayah, termasuk ke Punt. 

Situs Mersa / Wadi Gawasis yang letaknya di Laut Merah kembali dieskavasi pada tahun 2004 oleh tim arkeologi yang dipimpin oleh ahli Mesir Kathryn Bard dan Rodolfo Fattovich. Mereka mengidentifikasi situs tersebut sebagai pelabuhan tua Saww, yang digunakan oleh orang Mesir kuno selama ekspedisi ke Punt.

Dalam artikel Kathryn A. Bard dan Rodolfo Fattovich berjudul "The Middle Kingdom Red Sea Harbor at Mersa/Wadi Gawasis" yang berisi data terkait penelitian mereka pada tahun 2004, menyatakan bahwa ditemukan bukti adanya aktifitas di pelabuhan kuno Mersa / Wadi Gawasis terkait kegiatan ekspedisi pelayaran menuju tanah Punt, yang mana membuktikan bahwa Tanah Punt bukanlah negeri mitos.

Berikut ini sebagai kutipan dari artikel tersebut:

Pada pertengahan tahun 1970-an Abdel Monem Abdel Haleem Sayed dari Universitas Alexandria, Mesir, melakukan penggalian tes di situs ini, dan menemukan poterherd dengan prasasti lukis (hieratikal) dan Stela yang bertuliskan rekaman ekspedisi ke Bia-Punt dari sebuah wilayah yang disebut Saww, dari pemerintahan Senusret I (sekitar 1956--1911 SM), Amenenhat II (sekitar 1911--1877 SM), Senusret II (ca. 1877--1870 SM) dan Senusret III (ca. 1870--1831 SM).

Bukti arkeologi dan tekstual memberikan kronologi untuk penggunaan situs Mersa / Wadi Gawasis sebagai pelabuhan di zaman fir'aun. Yang secara konsisten menunjukkan bahwa pelabuhan itu digunakan di Middle Kingdom (ca. 2055-1650 SM).  

Bukti epigrafik (pada stelae, kotak kayu dan ostraca), termasuk stelae yang dicatat oleh Sayed pada pertengahan tahun 1970-an, menegaskan bahwa pelabuhan digunakan di sebagian besar Dinasti Keduabelas, pada masa pemerintahan Senusret I, Senusret II, Senusret III, Amenemhat III (ca. 1831--1786 Bc), dan Amenemhat IV (ca. 1786--1777 SM).

Sebuah prasasti dari Bir Umm Al-Huwaytat merekam ekspedisi pelayaran selama pemerintahan Amenemhat II juga menyarankan penggunaan pelabuhan selama masa pemerintahan raja ini.

Sebagian besar catatan arkeologi di Mersa / Wadi Gawasis terdiri dari sisa-sisa kegiatan efemeral dari setelah ekspedisi ini, seperti perapian, dan artefak dan puing-puing yang ditinggalkan. Secara keseluruhan bukti ini memberikan lanskap budaya yang koheren karena penggunaan berulang dari wilayah yang sama untuk kegiatan tertentu.

Penggalian UNO / ISIAO dan BU di Mersa / Wadi Gawasis telah menunjukkan bahwa situs ini terkait dengan aktivitas maritim di Laut Merah selama Middle Kingdom. Penggalian di sektor barat dari situs di Wadi Gawasis, khususnya, mengungkapkan banyak bukti tentang ekspedisi pelayaran di Dinasti Kedua Belas: kayu kapal, jangkar, tali, kotak kargo, perangkat administratif, stela berlabel, ostraca, fragmen papirus, keramik, litik, dan sisa tumbuhan dan hewan.

Bukti arkeologis yang ditemukan juga secara jelas mengkonfirmasi Tanah Punt sebagai tanah leluhur orang-orang Mesir. Bahwa selain hal itu dinyatakan dalam epigrafik, juga dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah monument yang dibangun untuk mengenang setiap ekspedisi ke Tanah Punt, yakni sejumlah 16 buah yang diperkirakan merupakan jumlah total ekspedisi. 

Hal ini memberi gambaran kepada kita betapa orang Mesir kuno sangat menghargai setiap upaya pelayaran mereka ke tanah Punt sebagai tanah leluhur.

Sepuluh stela (digali oleh Sayed pada tahun 1970-an dan oleh ekspedisi UNO / IsIAO dan BU) masih menyimpan beberapa bukti dari prasasti asli. Beberapa dari stelae ini menyebutkan toponim Bia-Punt, Tanah Tuhan, dan / atau Punt, yang didedikasikan terutama untuk Min of Coptos.

Tidak diketahui berapa kali Mersa / Wadi Gawasis digunakan sebagai pelabuhan untuk ekspedisi pelayaran di Laut Merah selama Dinasti ke-12. Perkiraan sementara dapat disarankan berdasarkan bukti epigrafi dan jumlah monumen seremonial di situs.

Stelae, ostraca, dan dua kotak kargo mencatat dua belas atau tiga belas ekspedisi, yang diorganisasi selama pemerintahan Senusret I (Tahun 24), Amenemhat II (Tahun 28), Senusret II (Tahun 1 dan 2), Senusret III ( Tahun 5), Amenemhat III (Tahun 23 dan 41), dan Amenemhat IV (Tahun 8), serta di Tahun 4, 5, 6, 12, dan 16 dari pemerintahan raja-raja yang tidak dikenal. 

Ada kemungkinan lima ekspedisi lagi, jika kita memperhitungkan empat stelae dan satu ostracon tanpa tahun resmi yang dicatat untuk Senusret I (2 stelae) dan Amenemhat III (2 stelae dan 1 ostracon).

Jumlah monumen seremonial di sepanjang tepi teras karang di Mersa dan Wadi Gawasis mungkin sesuai dengan jumlah total ekspedisi --- enam belas, jika struktur ini dibangun sebagai semacam monumen peringatan setelah setiap ekspedisi.

Secara keseluruhan, Bukti epigrafi dan arkeologi tampaknya konsisten dalam hal jumlah ekspedisi, menunjukkan bahwa pelabuhan digunakan di Middle Kingdom untuk lima belas hingga dua puluh ekspedisi.

Sejak penemuan situs pelabuhan di pertengahan 1970-an para sarjana berasumsi bahwa Mersa / Wadi Gawasis dikaitkan dengan perdagangan maritim ke Punt, atas dasar bukti epigrafi. 

Penggunaan pelabuhan untuk ekspedisi pelayaran ke tanah Punt juga disarankan oleh dua stelae dari Bir Umm Al-Huwaytat sepanjang Wadi Gasus yang merekam "Tanah Tuhan" (kemungkinan besar terkait dengan Punt) dan Bia-Punt ("tambang" Punt), dan dari situs pelabuhan tiga rekaman stelae Bia-Punt dan satu rekaman stela Bia-Punt dan Punt, serta ostracon dengan nama Punt.

Bukti tekstual ini, bagaimanapun, adalah ambigu dan mungkin menunjukkan penggunaan utama pelabuhan untuk eksploitasi tambang di suatu daerah (Bia-Punt) di suatu tempat di sepanjang atau di dekat Laut Merah daripada perdagangan pelayaran reguler dengan Punt.

.........

Demikianlah sebagian kutipan dari artikel Kathryn A. Bard dan Rodolfo Fattovich.

Dari data yang ada, tanah Punt dan Bia-Punt telah kita ketahui nyata keberadaannya, hanya saja hingga saat ini lokasi keduanya belum dapat ditentukan secara pasti oleh para ilmuwan.

Hal yang menarik perhatian saya terhadap misteri tanah Punt ini -- sekaligus akan saya gunakan sebagai titik awal hipotesis saya untuk memecahkan misteri tersebut -- adalah keberadaan nama pelabuhan kuno tempat ekspedisi pelayaran dimulai, yakni: Saww (pengucapan: Sauu).

Saya melihat kata Saww ini memiliki keterkaitan dengan kata"Sauh" dalam bahasa Indonesia yang berarti "jangkar". 

Secara logika saya yakin pembaca bisa melihat keterkaitan antara kedua kata tersebut, yakni; "Saww" sebagai nama pelabuhan laut, dan "Sauh" yang berarti jangkar kapal. 

Selain keterkaitan terhadap kata "Sauh",  saya juga melihat "Saww" memiliki keterkaitan dengan kata "Sau" yang dalam bahasa Tae' berarti "melepas". 

Kaitan ketiga kata ini (Saww, sauh dan sau) dapat kita gambarkan dalam uraian sebagai berikut: Pelabuhan (Saww) -- adalah tempat melepas (Sau) -- jangkar (Sauh).

Fenomena bahasa, dimana satu kata memiliki makna yang berbeda  tergantung pada bentuk kalimat mana ia diletakkan, atau pun memiliki makna yang secara logis dapat dicermati memiliki keterkaitan satu sama lain, pada dasarnya umum terjadi. 

Demikianlah, kata 'Saww', 'sauh' dan 'sau', bisa jadi adalah satu kata yang sama, yang memiliki makna beragam -- bergantung pada bentuk kalimat mana ia digunakan. 

Jika pendapat ini dapat diterima, maka pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah: mengapa ada unsur bahasa Nusantara di wilayah Laut merah?

Sekian. Semoga bermanfaat... salam.

Kelanjutan analisa saya mengenai hubungan Mesir kuno dan Nusantara di masa kuno akan saya lanjutkan pembahasannya di artikel selanjutnya.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Belopa 25 Oktober 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun