Joel Mlecko menyatakan, istilah sanskrit "guru" memiliki sekelompok makna dengan signifikansi melebihi terjemahan bahasa Inggris; teacher.Â
"Gu" berarti "ketidaktahuan" dan "Ru" berarti "penghilang." Sang Guru adalah penghalau ketidaktahuan, segala macam ketidaktahuan. dengan demikian, ada guru yang tidak hanya mengajarkan pengembangan spiritual khusus tetapi juga hal lain, seperti: menari, musik, gulat, dan keterampilan lainnya. (Joel Mlecko. Artikel jurnal: The Guru in Hindu Tradition, Numen Volume 29, Fasc. 1 . Leiden: Brill Academic Publishers, 1982, hlm. 33-61).
Upanishad menjelaskan kata "Guru" sebagai berikut: suku kata 'Gu' mengindikasikan kegelapan, suku kata 'Ru' berarti penghilang. Karena kualitas (kemampuannya) menghilangkan kegelapan, (maka) demikianlah sang Guru dimaknai. (Ayyangar, TR Srinivasa. The Yoga Upanishads. Adyar: The Adyar Library, 1938, hlm. 8)
Dewa Surya, Siwa dan Batara Guru sebagai wujud manifestasi hadirnya ilmu pengetahuan di muka Bumi.
Dalam Mitologi dari Sulawesi Selatan, kitab I La Galigo, pada bagian yang menceritakan saat Batara Guru diturunkan dari langit untuk mengisi kehidupan di bumi yang masih kosong. Ia ditugaskan untuk menjadi leluhur (cikal bakal) penguasa dunia dan sekaligus untuk meletakkan fondasi tatanan hidup bermasyarakat dan berbudaya. (Mattulada. Its Ethnicity and Way of Life, Southeast Asian Studies, Vol. 20. No. 1 June 1982)
Dalam buku Kedatuan Luwu, Edisi 2: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi, Budianto Hakim dan M. Irfan Mahmud mengungkap tradisi lisan terkait kisah I La Galigo sebagai berikut:
...Bermula dari turunnya Batara Guru dari langit melalui rumpun bambu kuning(?). To Manurun ditemui Oro Keling (orang hitam) pada sebuah tempat yang disebut Saleko, sekarang masuk dalam Dusun Benteng, Desa Benteng, Kecamatan Wotu.Â
Pada saat itu, To Manurun (Batara Guru) turun ke bumi mengajarkan orang berladang agar memperoleh hasil yang baik bagi kesejahteraan umat manusia. Ladang yang dimaksud legenda tersebut sekarang terletak di Mulataue disebut Bilassa Lamoa (dalam bahasa Wotu: kebun Dewata).Â
Dari sumber tutur diceritakan pula bahwa lama setelah Batara Guru kembali ke langit, keturunannya yang bernama Sawerigading datang mencari ladang tersebut.Â
Masuk melalui Teluk Bone, ia sampai ke Bilasa Lamoa dan kemudian membangun kampung pertama di Bulu Lampenae. Keturunannya kemudian melakukan perkawinan dan beranak-pinak yang menyebabkan kampung berkembang menjadi besar.Â
Di akhir Legenda, penduduk kampung berpindah ke kota Wotu sekarang.
Lebih lanjut, Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period (The University of Hong Kong Press, 1966, hlm. 129-131), mengatakan bahwa dalam kitab Jawa kuno, Tantu Panggelaran, Bhattara Guru digambarkan sebagai guru pertama kali dari sekolah yang paling awal (paling tua), ia dikatakan sebagai guru para dewa (divine teachers). Dia direpresentasikan sebagai guru berbicara (speech) dan guru bahasa (language). Berikut ini kutipan dari buku Rajeshwari ghose:Â
In one of the old javanese manuscripts named candakirana which deals with metrics, orthography etc. in its first part and gives the usual from indonesian Koas or lexicons in the second half gives several names of Siva, visnu, uma etc. the couplets dealing with iva runs as follows:
Siva Sarva Virupaksa mahadevo Mahesvarah
Srikanthah Sankaro Bhargah Somadhrn nilalohitah
Krsanuretah Kamarih Pinaki Vrsaketanah
Dhurjjatis Trayamba Bhimah Sarvajno Giriso Nrdah
Ugrah Pasupatih Suli Vamadevo Ganadhipah
Isa Isvara Isanah Kapali Paramesvarah
Vrsabhadhvajah Kratuh (Dhvamsi) Bhutesas Candrasekharah
Sambu Sarvo Bhavah Sthanuh Sulabhrt Somabhrd Dharah
This Kosa gives about forty two names of Siva, in which the popular name, of Bhattara Guru is conspicuously absent. This was probably an exact copy of some indian original, which has been lost in India or is the product of an orthodox school of Hinduism, which we have seen existed side by side with the more hetrodox school.
In the Tantu Panggelaran, Bhattara Guru is described as the first of the long school of teachers or devagurus (divine teachers). He is represented as the teacher of speech and language. Mahadeva, however, is regarded as a goldsmith. ...The blacksmiths are regarded as children of Mahadeva.
Pada data yang diungkap di atas terlihat bahwa etimologi "guru" dalam mitologi Hindu sangatlah selaras dengan citra Batara Guru yang dikisahkan dalam kitab I La Galigo, yang di sisi lain juga diidentifikasikan sebagai dewa Siwa (Martin Ramstedt. Hinduism in Modern Indonesia. Routledge, 2005, Hlm. 207). Dan satu hal yang menarik juga untuk dicermati terkait dengan Dewa Siwa adalah adanya sebutan Dewata Seuwae dalam kepercayaan Bugis kuno.
Dalam kitab I La Galigo sendiri disebutkan bahwa Batara Guru diturunkan di Luwu. Orang Luwu menyebut Batara Guru sebagai to Manurun. Yang pemahaman umumnya, yang beredar di Sulawesi Selatan selama ini yaitu manusia yang diturunkan dari langit. Tinjauan etimologinya kemungkinan adalah sebagai berikut: "to" atau "tau" artinya "Orang", sedangkan "manurun" berasal dari kata "turun".
Yang menjadi kejanggalan adalah karena dalam bahasa tae, bahasa bugis atau pun bahasa tradisional lainnya yang ada di Sulawesi tidak ada kata 'turun' untuk menyebutkan proses gerak  sesuatu dari atas ke bawah. Yang ada adalah: Lao (artinya turun dalam bahasa tae), ronno' (artinya jatuh dalam bahasa tae), naung (artinya turun dalam bahasa bugis/Makassar). Â
Karena itu saya menduga makna to manurung pastilah memiliki arti lain, selain pemaknaan "orang yang diturunkan" yang telah terlanjur umum dipahami masyarakat Sulawesi Selatan.
Dan jawaban dari tanda Tanya itu adalah saya menduga kata "manurun" berasal dari kata "nur" yang artinya cahaya atau kadang juga diartikan matahari. Dugaan ini lagi-lagi akan mengaitkan Batara guru dengan Dewa Siwa serta konsep mitologi Dewa Matahari lainnya.