Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengembalikan Ibukota Negara ke pusat Dinasti Sailendra

2 Mei 2019   16:38 Diperbarui: 5 Mei 2019   14:53 3222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kegiatan merontokkan bulir padi, yang dalam bahasa tae' disebut ma'tampa, ma'tambak atau ma'sambak. pada gambar dapat kita lihat bahwa pose kegiatan ini persis sama dengan pose seorang pandai besi ketika menempa besi. (sumber photo: lombokpost.net)

Wacana pemindahan ibukota Negara Republik Indonesia ke luar pulau Jawa kembali bergulir. Kali ini perkembangannya bisa dikatakan selangkah lebih maju, setelah dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019) Presiden Jokowi memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar pulau Jawa.

Pertimbangan bahwa lokasi pemindahan ibukota negara mestilah berada di tengah wilayah Indonesia, mengerucutkan opsi pilihan ke pulau kalimantan dan pulau Sulawesi saja. Adapun daerah yang muncul menjadi opsi sejauh ini adalah: Palangkaraya (di pulau Kalimantan), Makassar, Pare-Pare dan Mamuju (ketiganya merupakan kota di pulau Sulawesi).

Kota Palangkaraya yang pada dasarnya tidak tepat berada di tengah wilayah Indonesia, diuntungkan dengan pertimbangan lain, yaitu bahwa daerah tersebut relatif lebih aman dari bencana gempa jika dibandingkan dengan Mamuju, Pare-pare atau Makassar di pulau Sulawesi.

Wacana pemindahan ibukota ini sebaiknya tidaklah hanya mempertimbangkan aspek kebencanaan semata-mata. Aspek lain, misalnya kesejarahan, sebaiknya pula turut dipertimbangkan. Untuk itu, tulisan ini berusaha menyampaikan aspek kesejarahan yang kiranya dapat pula menjadi pertimbangan.


Asal Usul Penguasa Nusantara sejak zaman Dinasti Sailendra

Historiografi Indonesia sejauh ini memang belum secara jelas mengungkap dari mana sesungguhnya asal dari Dinasti Sailendra. Itu karena banyaknya perbedaan pendapat di antara para ahli sejarah di masa lalu yang bisa dikatakan adalah pionir penyusunan historiografi asia tenggara di era modern.

Misalnya, R. C. Majumdar beranggapan bahwa wangsa Sailendra di Indonesia, baik yang di Jawa maupun yang di Sriwijaya, berasal dari Kalingga di India Selatan. G. Coedes lebih condong kepada anggapan bahwa wangsa Sailendra di Indonesia itu berasal dari Fu-nan atau Kamboja. 

Menurut G. Coedes, ejaan Fu-nan dalam berita berita Cina itu berasal dari kata vnam atau bnam yang berarti gunung; dalam bahasa Khmer sekarang phnom. Raja-raja Fu-nan disebut parwatabhupala, yang berarti raja gunung sama dengan kata Sailendra. Setelah kerajaan Fu-nan itu runtuh sekitar tahun 620 M, ada anggota wangsa raja-raja Fu-nan itu yang menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di sini pada pertengahan abad VIII M, dengan menggunakan nama wangsa Sailendra. (Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II - Zaman Kuno, 2008. hlm. 114)

Menurut Przyluski istilah "wangsa Sailendra" itu menunjukkan bahwa raja-raja itu menganggap dirinya berasal dari Sailendra yang berarti raja gunung, dan merupakan sebutan bagi Siwa = Girisa. Dengan perkataan lain, raja-raja wangsa Sailendra di Jawa tentu menganggap leluhurnya ada di atas gunung. Hal ini merupakan petunjuk baginya [Przyluski] bahwa istilah Sailendra itu asli Indonesia. (J. Przyluski, "Cailendrawamca", JGIS, Vol. II. 1935, hlm. 25-36)

Nilakanta Sastri mengajukan pendapt bahwa Wangsa Sailendra di Jawa itu berasal dari daerah Pandaya di India Selatan. (K. A. Nilakanta Sastri, "Origin of the Cailendras", TBG, LXXV, 1935, hlm. 605-611).

J. G. de Casparis memunculkan pendapat yang kurang lebih sejalan dengan pendapat G. Coedes. Didasari atas istilah "waranaradhirajaraja" yang di temukannya di dalam prasasti candi Plaosan Lor, dan prasasti Kelurak. Ia mengidentifikasi "Waranara" itu dengan "Narawaranagara" yang kemudian ia kaitkan dengan toponim na-fu-na yang ada disebut dalam kronik Cina, yang kemudian ia asumsikan sebagai pusat kerajaan Fu-nan. 

Selepas titik ini, Hipotesis de Casparis selanjutnya mulai nampak sejalan dengan pendapat G. Coedes, karena ia mengatakan bahwa ada di antara raja-raja Na-fu-na itu yang pergi ke Jawa dan berhasil mengalahkan raja yang berkuasa di sana, yaitu Sanjaya dan keturunan-keturunannya. 

Pendapat de Casparis itu diilhami oleh F. H. van Naerssen, yang melihat bahwa di dalam prasasti Kalasan tahun 778 M, yang berbahasa Sanskerta ada dua pihak, yaitu pihak raja wangsa Sailendra, yang disebut  Sailendrawangsatilaka yang artinya "mustika keluarga Sailendra", dan Rakai Panangkaran - raja bawahan dari wangsa Sanjaya. (F. H. van Naerssen, "The Sailendra Interregnum", India Antiqua, 1947, hlm. 249-253)

Pendapat bahwa wangsa Sailendra itu berasal dari luar Indonesia (India atau Kamboja) ditentang oleh R.Ng. Poerbatjaraka. Ia merasa amat tersinggung membaca teori-teori tersebut, seolah-olah bangsa Indonesia ini sejak dahulu kala hanyalah mampu untuk diperintah oleh bangsa asing. (Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II - Zaman Kuno, 2008. hlm. 115)

Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia, yang semula menganut agama Siwa, tetapi sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut agama Buddha Mahayana.

Munculnya wangsa Sailendra bersamaan dengan perubahan sebutan negara She-po menjadi Ho-ling dalam kronik Cina. Jika berita berita Cina dari zaman  dinasti Sung Awal (420-470 M) menyebut utusan yang datang dari laut selatan (Nusantara) sebagai utusan dari negara She-po, maka dalam berita-berita Cina dari zaman dinasti Tang (618-906 M) disebut dari Negara Ho-ling, lalu kemudian berubah lagi menjadi She-po mulai tahun 820 M sampai tahun 856 M.

Pelliot mencatat pengiriman utusan dari Ho-ling ke Tiongkok terjadi pada tahun 640 sampai 648, 666, 767, 768, 813, sampai 815 dan 818. Selama masa itu, tidak ada penyebutan nama She-po.

Kronik Cina dari zaman dinasti Sung Awal (420-470 M) ada menyebut nama She-po, yang berarti muncul sebelum masa pencatatan Ho-ling, lalu muncul kembali pada tahun 820 sampai tahun 856 M, yakni setelah nama Ho-ling tidak disebutkan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa utusan Ho-ling ataupun She-po dianggap sama oleh orang-orang Cina.

Kesamaan antara She-po dan Ho-ling  pun pada dasarnya dengan jelas disebutkan dalam berita-berita dari zaman dinasti Tang.  Salah satu bunyi berita tersebut adalah: Ho-ling yang juga disebut She-po, terletak di laut selatan. Di sebelah timurnya terletak Po-li dan di sebelah baratnya terletak T0-po-teng. Di sebelah selatannya adalah lautan, sedang di sebelah utaranya terletak Chen-la. 

Identifikasi saya mengenai letak Ho-ling, telah saya bahas dalam beberapa judul tulisan, yaitu:

Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-ling Terletak di Sulawesi

"Batu Pasui" di Karatuan, Mitologisasi Batu Gnomon Peninggalan kerajaan Ho-ling

Hipotesis Letak Geografis Ho-ling di Sulawesi

Kesamaan masa munculnya wangsa Sailendra dengan masa kerajaan Ho-ling mendasari pendapat sebagian ahli sejarah bahwa kerajaan Ho-ling adalah merupakan cikal-bakal raja-raja wangsa Sailendra. Sehingga jika merujuk pada hipotesis saya sebelumnya bahwa Kerajaan Ho-ling terletak di pulau Sulawesi, maka bisa dikatakan wangsa Sailendra pun berasal dari pulau Sulawesi. 

Karena itu, saya sangat menyarankan para pembaca agar juga membaca hipotesis saya tentang letak Ho-ling di pulau Sulawesi, sehingga bisa mendapatkan pemahaman yang lebih jelas. Karena pada bagian selanjutnya dari tulisan ini saya hanya akan membahas hipotesis terkait jejak wangsa Sailendra di pulau Sulawesi.

Definisi nama Sailendra

Pada umumnya para ahli sepakat bahwa nama Sailendra berasal dari bahasa Sanskerta gabungan kata Saila= gunung, dan Indra=raja , yang berarti "Raja Gunung". Inilah yang mendasari pendapat G. Coedes bahwa dinasti Sailendra dianggapnya berasal dari Fu-nan (Kamboja). Karena menurutnya  Raja-raja Fu-nan disebut parwatabhupala yang berarti "raja gunung", sama dengan kata Sailendra. tetapi beberapa Ahli sejarah Kamboja telah mengabaikan ini. Mereka berpendapat bahwa tidak ada bukti historis untuk gelar-gelar semacam itu pada periode Funan. (Jacques 1979; Vickery Michael. Funan Reviewed : Deconstructing the Ancients. In: BEFEO, 2003. pp. 101-143)

Prasasti-prasasti yang dibuat wangsa Sailendra menggunakan tiga bahasa: Melayu kuno, Jawa Kuno, dan Sanskerta. Tapi Prasasti Sojomerto (ditemukan di Kabupaten Batang , Jawa Tengah. Diperkirakan berasal dari akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi) yang pertama kali menyebutkan nama "Dapunta Selendra", menggunakan bahasa Melayu kuno.

Sementara itu, Prasasti dengan penanggalan paling awal di Indonesia di mana jelas disebutkan nama "dinasti Sailendra" sebagai Sailendravamsatilaka muncul pada prasasti Kalasan (diperkirakan berasal dari tahun 778 M, menggunakan bahasa Sanskerta). 

 Jadi, jika di dalam Prasasti Sojomerto hanya menyebutkan "Dapunta Selendra", maka dalam prasasti kalasan telah dengan jelas disebutkan Sailendra sebagai suatu wangsa, dinasti, atau keluarga.

Sebutan "dapunta" dalam prasasti Sojomerto kemudian oleh para ahli dikaitkan dengan nama Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang ada disebutkan dalam prasasti kedukan bukit (prasasti ini ditemukan di Sumatera selatan, dan Dapunta Hyang Sri Jayanasa oleh para dianggap sebagai pendiri kerajaan Sriwijaya).

Fakta bahwa Prasasti Kedukan bukit dan Prasasti Sojomerto yang menggunakan bahasa melayu kuno dan belum menyebutkan Sailendra sebagai sebuah wangsa, berjarak puluhan tahun penanggalannya dengan prasasti kalasan yang menggunakan bahasa Sanskerta dan telah menyebutkan Sailendra sebagai sebuah wangsa, menunjukkan bahwa interval kurun waktu puluhan tahun tersebut adalah masa awal dimana keluarga Sailendra merintis perkembangan eksistensinya sehingga dapat jaya berkuasa dan menyebar pengaruhnya bukan hanya di Asia tenggara tapi hingga ke India dalam kurun waktu mencapai 2 abad lamanya.

Saya ingin mengatakan bahwa ini dapat menjadi fakta dan pembelajaran bagi kita semua bahwa: "tidak ada kesuksesan yang dapat diperoleh secara instant, semua pasti butuh proses panjang dan berliku", tapi saya tahu, membahas lebih jauh hal ini akan membuat kita jauh keluar dari konteks pembahasan, karena itu tidak akan saya lanjutkan.

Mencermati arti "Sailendra" dalam perspektif bahasa tae'

Suatu hal yang luput dari pencermatan para ahli sejarah terkait historiografi Asia tenggara adalah pencermatan isi prasasti (terutama yang selama ini disebut menggunakan bahasa melayu kuno) dalam perspektif bahasa tae' yang umum digunakan di Sulawesi selatan khususnya di Luwu dan Toraja.

Jika kita mengartikan nama "Sailendra" dalam perspektif bahasa tae', maka kita akan menemukan pemaknaan lain yang jika terus digali akan mengarahkan kita pada suatu bentuk pemahaman yang sangat-sangat kuno.

Melalui perspektif bahasa tae', saya melihat nama "Sailendra" sesungguhnya berasal dari kata: "sai" yang artinya "datang", dan "landra" atau "landa" yang artinya "tempa" atau "menempa."

kata "landra" bentuk bugisnya adalah "landro" atau "lanro" yang artinya tempa. Sementara aktifitas menempa besi dalam bahasa bugis disebut "malandro" atau "malanro".

Dalam kitab I La Galigo, dewata sang pencipta disebut "To Palanro" atau " To Palanroe" yang secara literal bermakna "pandai besi" sementara makna figuratifnya adalah " Dia yang menciptakan, membentuk dan menata".

jika kita mencermati berbagai mitologi yang ada di dunia, kita dapat melihat bahwa konsep "pandai besi" untuk dewa-dewa tertinggi umum digunakan. Dewa Mesir, Ptah, digambarkan sebagai sosok pencipta, pelindung pekerja logam dan pengrajin dalam budaya Mesir. Hephaestus dalam mitos Yunani yang menjadi Vulcan dalam sastra Latin, keduanya secara konsisten digambarkan dalam seni, membawa alat-alat mereka - palu dan penjepit pandai besi.

Sementara itu, Rajeshwari Ghose dalam bukunya Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period, mengungkap bahwa Batara Guru juga disebut sebagai "Goldsmith" atau "pandai emas" sementara anak-anaknya disebut "Blacksmiths" atau "pandai besi". Berikut kutipannya:

"In the Tantu Panggelaran, Bhattara Guru is described as the first of the long school of teachers or devagurus (divine teachers). He is represented as the teacher of speech and language. Mahadeva, however, is regarded as a goldsmith. ...The blacksmiths are regarded as children of Mahadeva." (R. Ghose. Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period. The University of Hong Kong Press, 1966. hlm. 129-131)

Kesamaan bentuk kata Lanra atau landra,  dengan kata lenra atau lendra (dalam nama Sai-lendra) dapat kita lihat dengan memperbandingkan makna dari kata tersebut,  yakni: tempa atau tampa. 

Dalam bahasa Indonesia kata "tempa" kita ketahui adalah kata kerja  untuk aktifitas "mengetuk" atau "memukul" yang umumnya digunakan pada kegiatan pandai besi. 

Sementara kata "tampa" dalam bahasa tae' adalah sebutan untuk kegiatan merontok bulir padi dengan cara memukul-mukul. varian lain dari kata tampa dalam bahasa tae' adalah "tambak" dan "sambak" - semua kata ini pada prinsipnya sinonim.

kegiatan merontokkan bulir padi, yang dalam bahasa tae' disebut ma'tampa, ma'tambak atau ma'sambak. pada gambar dapat kita lihat bahwa pose kegiatan ini persis sama dengan pose seorang pandai besi ketika menempa besi. (sumber photo: lombokpost.net)
kegiatan merontokkan bulir padi, yang dalam bahasa tae' disebut ma'tampa, ma'tambak atau ma'sambak. pada gambar dapat kita lihat bahwa pose kegiatan ini persis sama dengan pose seorang pandai besi ketika menempa besi. (sumber photo: lombokpost.net)

Jadi variasi bentuk kata "lanro", "lanra" dengan "lenra", atau "tampa" dengan "tempa" mungkin bisa kita asumsikan muncul karena adanya variasi aksen semata. 

Hal lain yang menarik adalah kata "landa" yang menunjukkan adanya kesamaan pula dengan kata "Lanro", "lanra" ataupun"lenra". 

Perubahan fonetis antara r dan d pada kata lanra dan landa, bisa dikatakan fenomena umum yang contohnya banyak dapat kita temukan. Misalnya Kdaton dengan kraton, padang dengan parang, datu dengan ratu, dan masih banyak lagi.

Jika kita mencermati makna kata "landa" dalam penggunaanya pada masa sekarang, kita dapat melihat jika kata "landa" umumnya digunakan pada bentuk kalimat yang menjelaskan situasi, seperti: ia dilanda rasa rindu; atau, badai melanda wilayah tersebut. Dari kedua kalimat ini, kata "dilanda" dan "melanda" bisa dikatakan juga bermakna "dihantam" ataupun "ditimpa" - yakni kata yang pada prinsipnya adalah situasi yang terjadi dalam kegiatan menempa besi.

Demikianlah, makna "Sailendra" jika ditinjau dalam perspektif bahasa tae', secara literal bermakna "datang menempa" (sai=datang; lendra=menempa), dan secara figuratif dapat dimaknai: "datang atau hadir membentuk" atau pun "datang atau hadir membangun".

Jika kata Lanra atau lanro digunakan dalam nama Sailendra, maka kata Tampa digunakan pada nama raja sesudah Simpurusiang (Ratu Sima), yaitu "Tampa Balusu", yang dalam kronik Cina disebut "tian pao".

Sebagaimana telah saya jelaskan pada tulisan lainnya bahwa tian pao ini adalah raja Ho-ling yang memindahkan pusat kerajaan lebih ke arah timur, yang dalam kronik Cina disebut ke daerah bernama "Po Lo Sia Ssu" yang saya identifikasi sebagai bentuk transkripsi dari nama daerah "balusu". (baca: Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-ling Terletak di Sulawesi)

Dengan demikian, nama "Tampa Balusu" dapat dipahami adalah merupakan nama gelar, yang dapat diartikan menjadi "menempa atau membentuk daerah Balusu" - suatu bentuk visi pembangunan yang kelihatan identik dengan visi dari dinasti Sailendra. Dari memahami hal ini, kita dapat mengetahui bahwa di masa itu sudah ada bentuk penerapan "slogan campaign." 

Penggunaan kata tampa dan lanra sebagai "slogan campaign" dimana kata lanra berasal dari nama "To Palanro" yakni sebutan untuk Sang Pencipta alam semesta dalam tradisi Luwu/ Bugis, dan bahwa To Palanro secara figuratif bermakna: Dia yang menciptakan/ membentuk/ dan menata, mengantarkan kita pada pemahaman bahwa betapa para pemimpin pendahulu kita jauh di masa lalu telah memperlihatkan bentuk pemikiran dan tindakan yang senantiasa menghadirkan sifat keilahian di dalamnya. 

Mereka senantiasa berupaya mengasosiasikan segala bentuk kehadirannya pada rakyat dan negerinya seperti perwakilan dari kehadiran Sang Pencipta dalam kehidupan manusia di dunia.

adapun pelanjut dari Tampa Balusu sebagai Datu Luwu menurut silsilah di Kedatuan Luwu adalah Tanra Balusu.  saya mencermati makna dari Tanra Balusu ini dapat diartikan sebagai berikut: tanra bentuk lainnya adalah tanda' yang dalam bahasa tae' berarti saring atau menapis. dan Balusu yakni nama wilayah. 

jadi, Tanra Balusu dapat dipahami sebagai sebuah gelar yang yang bermakna "menyaring atau menapis Balusu". sepintas lalu pemaknaan ini akan terasa janggal. tapi, kita akan dapat memahami maksudnya setelah melihat kembali gelar pendahulunya yaitu "Tampa balusu".  

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Kata Tampa merupakan aktifitas merontokkan padi dengan cara memukul-mukulkan pada sebuah landasan. 

Dari pemahaman ini saya menduga filosofi yang ingin dibangun dari penggunaan gelar tanra balusu setelah tampa balusu adalah seperti yang ada pada aktifitas panen padi. Yakni setelah merontokkan butir padi (ditampa) proses selanjutnya adalah memisahkan butir padi dari apapun yang masih bercampur dengannya, dengan cara menyaring (ditanda' atau ditanra').  Demikianlah, filosofi tersebut jelas dilandasi corak pertanian yang memang merupakan corak kehidupan masyarakat setempat hingga hari ini. 

Arti "Dapunta Sailendra" dalam perspektif bahasa tae'

kata "dapunta" besar kemungkinan terdiri dari: da (bentuk predikat, seperti de, the, atau la); dan, punta atau bunta' yang dalam bahasa tae' artinya mustika. salah satu daerah di Tana Luwu yang masih menggunakan kata ini adalah: Baebunta di Luwu utara yang artinya "mustika air" (bae=air, bunta=mustika). Jadi arti Dapunta Sailendra dalam bahasa tae' adalah: mustika sailendra. 

Dapunta Sailendra yang dalam bahasa tae' artinya "Mustika Sailendra" persis sama dengan yang diperlihatkan dalam prasasti Kalasan yang menuliskan "Sailendravamsatilaka" yang juga artinya "Mustika keluarga Sailendra".

Jadi, dalam prasasti yang berbahasa melayu kuno (seperti prasasti Sojomerto) kata "mustika" tertulis sebagai "punta", sementara dalam prasasti yang berbahasa Sanskerta (seperti prasasti Kalasan) kata "mustika" tertulis sebagai "tilaka".

Demikianlah, melalui peninjauan menggunakan bahasa tae', nama "Sailendra" dan "Dapunta" dapat kita ketahui makna sesungguhnya.

Hal ini pada sisi lain, dapat menjadi dasar kuat untuk hipotesis bahwa yang selama ini oleh para sejarawan disebut sebagai "bahasa melayu kuno" besar kemungkinannya adalah "bahasa tae".

Contoh lain, kata "Rakai" yang dalam banyak prasasti digunakan untuk menyebut penguasa daerah tertentu di masa keluarga Sailendra berkuasa, seperti Rakai Panangkaran, Rakai Warak, Rakai Watuhumalang, Rakai Garung, dan masih banyak lagi, - sesungguhnya terdapat pula dalam bahasa tae'. 

Dalam bahasa tae', "Rakai" yang merupakan bentuk kata dasar, biasanya digunakan dengan penambahan imbuhan ma- dan pa- menjadi ma'parakai yang artinya "memperbaiki atau membenahi"  (imbuhan ma' dalam bahasa tae sama fungsinya dengan imbuhan me dalam bahasa Indonesia, demikian pula dengan imbuhan pa- dalam bahasa tae sama fungsinya dengan imbuhan pe-dalam bahasa Indonesia).

Jadi makna jabatan "Rakai" jika ditinjau menggunakan bahasa tae adalah: seseorang yang bertugas menata (penata) daerah tertentu.

Dan masih banyak lagi kata dalam prasasti kuno yang jika ditinjau menggunakan bahasa tae' akan tampil dengan makna yang jelas. Hanya saja saya pikir beberapa contoh ini sudahlah cukup untuk jenis tulisan pendek (artikel).

Penutup

Mencermati keseluruh uraian di atas, adalah menjadi hal yang wajar jika kemudian Bapak H. Basmin Mattayang selaku bupati Luwu merespon wacana pemindahan ibukota negara dengan menawarkan lokasinya di kabupaten Luwu, dan menyatakan siap menyediakan lahan yang dibutuhkan.

Bupati Luwu, Bpk. Basmin Mattayang dalam wawancara dengan reporter kompas beberapa waktu yang lalu,merespon wacana pemindahan ibukota negara dengan menawarkan Luwu sebagai ibukota negara.(sumber: https://regional.kompas.com)
Bupati Luwu, Bpk. Basmin Mattayang dalam wawancara dengan reporter kompas beberapa waktu yang lalu,merespon wacana pemindahan ibukota negara dengan menawarkan Luwu sebagai ibukota negara.(sumber: https://regional.kompas.com)

Namun bagi saya pribadi, pemindahan ibukota negara di mana pun letaknya di pulau Sulawesi pada dasarnya sudah bermakna mengembalikan pusat pemerintahan Indonesia ke wilayah dimana Dinasti Sailendra pernah memulai visi misi penyatuan kawasan nusantara dalam kerangka negara kesatuan, dan itu berhasil bertahan hingga 2 abad lamanya, untuk kemudian mewariskan semangat tersebut ke kerajaan-kerajaan yang lahir berikutnya, seperti Kerajaan Majapahit, kerajaan Gowa, dan lainnya.

Tapi jika saya diminta menunjukkan dimana letak pasti asal muasal keluarga Sailendra, maka saya akan menunjuk lokasinya adalah di daerah Tabang, gunung Sinaji. Kronik lokal Sulawesi selatan pun pada umumnya menceritakan bahwa semua raja-raja baik di Luwu, Gowa, Bugis dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi selatan, turun dan menyebar dari titik ini. 

Kata "Tabang" saya prediksi adalah sinonim dengan kata "Tawang" yang dalam bahasa Jawa artinya "awang-awang" bisa juga berarti "langit". pemaknaan Tabang sebagai "langit" sejalan dengan keberadaan toponim desa langi' yang berada di dekatnya.

Di dekat wilayah Tabang ini pulalah ditemukan sumber air asin dengan kadar garam tinggi, yakni di wilayah Rante Balla. Hal ini sejalan dengan berita dalam kronik Cina yang mengungkap tanda khusus atau unik yang terdapat di kerajaan Ho-ling, yakni: ""Di pegunungan terdapat gua-gua, dan dari dalam gua mengalir garam. Penduduk negeri ini mengumpulkan garam itu dan memakannya." (O.W.  Wolters "Kebangkitan & Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII" hlm. 258 )

sumber air garam sebagai tanda khusus atau unik Kerajaan Ho-ling ini, oleh para Peneliti yang berpendapat jika Ho-ling berada di Jawa kemudian mengidentifikasikannya sebagai bledug kuwu di Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah, yang mana lumpur yang keluar dari kawah tersebut memang mengandung air garam, dan oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk dipakai sebagai bahan pembuat garam. 

Masalahnya, Desa Kuwu (tempat "bledug kuwu") berada di dataran rendah (40-50 meter dari permukaan laut), jadi bukan berada diketinggian pegunungan, sebagaimana yang disebutkan dalam kronik Cina. Sementara itu kawasan Desa Rante Balla yang berada di kaki pegunungan Latimojong berada di ketinggian yang bervariasi kisaran 500-1500 mdpl.

Jadi keberadaan sumber air garam di Rante Balla lebih menguatkan hipotesis She-po atau Ho-ling berada di Pulau Sulawesi, tepatnya disekitar kaki pegunungan Latimojong pada masa lalu. 

Sumber air garam yang berada di pegunungan memang suatu hal yang unik dan langka, sehingga tepat jika kronik Cina menjadikannya sebagai salah satu hal yang spesifik tentang negeri Ho-ling. Demikianlah, Keunikan sumber air garam di kaki pegunungan Latimojong tersebut dapat menjadi petunjuk yang jelas dan nyata untuk mengidentifikasi letak Ho-ling yang sesungguhnya.

pada peta terlihat jika Tabang/ Sinaji sebagai titik awal munculnya keluarga Sailendra cukup berdekatan letaknya dengan Rante Balla (tempat ditemukannya sumber air garam), Balusu (tempat dimana Ho-ling pernah berpusat), dan Walerang (yang disebutkan sebagai walaing dalam banyak prasasti di Jawa). (Dokpri)
pada peta terlihat jika Tabang/ Sinaji sebagai titik awal munculnya keluarga Sailendra cukup berdekatan letaknya dengan Rante Balla (tempat ditemukannya sumber air garam), Balusu (tempat dimana Ho-ling pernah berpusat), dan Walerang (yang disebutkan sebagai walaing dalam banyak prasasti di Jawa). (Dokpri)

Masa kebesaran kerajaan Ho-ling yang merupakan asal keluarga Sailendra adalah ketika pusat kerajaan berpindah ke Walenrang (yaitu setelah usai masa pemerintahan Tampa Balusu dan Tanra Balusu di daerah Balusu Toraja Utara hari ini).

Nama Walenrang inilah yang membuktikan ketepatan hipotesis L-C. Damais yang dengan pendekatan fonetis yang dapat dipertanggungjawabkan mengidentifikasi Ho-ling sebagai transkripsi dari bentuk "Walaing" atau "Walain" (L-C. Damais. La transcription chinoise Ho-ling comme designation de Java. Bulletin de l'Ecole francaise d'Extreme-Orient  Annee 1964  52-1  pp. 93-141 ). 

Walaing faktanya memang sering disebutkan sebagai nama tempat di dalam berbagai prasasti (Di dalam prasasti mana saja nama Walaing ditemukan dapat dilihat dalam karya Damais, "Repertoire Onomastique de I'Epigraphie Javanaise (jusqu'a Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmamotunggadewa)", BEFEO, tome LXVI, 1970, s.v. walaing).

Melanjutkan Hipotesis L-C. Damais ini, saya mengidentifikasi nama Walenrang terdiri dari bentuk: 

"walaing": walaing sangat mungkin bentuk lain dari wara, atau warana, atau barana, yang dalam bahasa tae bermakna sebagai "pusat/ tempat yang suci/ tempat yang dikeramatkan". Bentuk wara atau warana yang terdapat dalam prasasti Plaosan Lor yakni "Waranadhirajaraja" dan Narawaranagara" kemudian memunculkan spekulasi liar para ahli dengan mengaitkannya dengan toponim na-fu-na dalam kronik Cina yang kemudian disebut ada keterkaitan dengan Fu-nan (Kamboja). 

Jika ditinjau menggunakan bahasa tae' maka warana-dhiraja-raja bisa berarti "pusat atau tempat suci yang diagung-agungkan", sementara kata Nara-wara-nagara berarti "diambil (menjadi/ sebagai) pusat negara" - ("nara" bentuk lainnya dalam bahasa tae adalah "na ala" artinya: diambil).

"rang": rang adalah bentuk lain dari lang, ilan, ilam, elam dan hari ini kita temukan dalam bahasa inggris sebagai "land" - kesemuanya kurang lebih berarti "tanah atau negeri"). 

Jadi Walenrang bisa diartikan: "pusat Tanah", atau "tanah keramat", atau "tanah yang disucikan".

***

Demikianlah, wacana pemindahan ibukota negara selayaknya dicermati bukan saja dari aspek kebencanaan, tapi juga aspek kesejarahan. Mungkin saja dengan mengembalikan ibukota negara ke wilayah dimana Dinasti Sailendra berasal, akan mengembalikan kejayaan Indonesia (Nusantara) sebagaimana yang pernah dicapai Dinasti Sailendra pada masa lalu. Percaya atau tidak, faktor seperti ini pada kenyataannya sering terbukti.

Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat... salam.
Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Palopo 2 Mei 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun