Pembagian waktu menurut posisi matahari di langit sebagai petunjuk waktu ibadah, yang pada masa sekarang umum terlihat pada pengikut Nabi Muhammad, pada dasarnya telah terdapat pula dalam tradisi keagamaan umat nabi-nabi terdahulu.
Telah banyak penelitian yang dilakukan para ahli untuk mengetahui pola siklus ibadah harian umat Yahudi dan Kristiani di masa-masa awal millennium pertama.
Seperti yang dilakukan oleh Paul F. Bradshaw misalnya. Ia adalah profesor Liturgi di Universitas Notre Dame di Amerika Serikat, dari tahun 1985 hingga 2013, dan telah banyak mendapatkan penghargaan. Salah satunya adalah dianugerahi berakah Award oleh Akademi Luturgi Amerika Utara -suatu penghargaan yang diberikan setiap tahun kepada seorang liturgis terkemuka "sebagai pengakuan atas kontribusi terhormat untuk pekerjaan liturgi profesional."
Dalam buku The Book of Acts in Its First Ceuntury Setting vol. 4, diungkap pendapat Bradshaw yang mengusulkan bahwa umat Kristiani paling awal mewarisi siklus doa harian Yahudi; pagi, siang dan malam, ditambah tengah malam, (...) Awalnya dipengaruhi oleh gerakan matahari, kemudian dihubungkan dengan pengorbanan bait suci.
Dia kemudian merevisi pandangannya atas dasar karya mahasiswa doktoralnya L.E. Phillips (1989), yang setuju bahwa pola doa harian Kristen yang paling awal adalah pagi, siang, sore dan malam.
Dalam praktik Christianity, jam kanonik, yaitu jadwal tradisional siklus monastik doa harian - terbagi dalam beberapa pembagian waktu, yaitu; Prime, Terce, Sexte, None, Vespers, and Compline.
Setiap jam ini mengacu pada waktu di mana periode doa dimulai, dan ke ruang waktu dari jam itu ke jam berikutnya; dengan demikian, "Prime" bisa berarti jam 6 pagi, atau periode dari jam 6 pagi sampai jam 9 pagi.
Berikut ini selengkapnya: Matins (Tengah Malam); Lauds (sekitar 3 AM); Prime: 6-9 AM (matahari terbit dan pagi hari); Underne (Terce): 9-12 AM (pagi); Sexte: 12-3 PM (siang); None: 3-6 PM (sore); Vesper (Senja/Maghrib): 6-9 PM (malam); Compline: 9 PM. (Jeffrey L. Forgeng. Will McLean. Daily Life in Chaucer's England, 2009)
Dari uraian singkat di atas, dapat kita lihat bahwa pembagian waktu-waktu ibadah yang terdapat dalam tradisi keagamaan Yahudi dan Kristiani - nampak nyaris tidak ada bedanya dengan waktu-waktu shalat harian dalam tradisi Islam.
Pembagian waktu-waktu tersebut berinterval waktu 3 jam. Dimulai pada jam 6.00 (terbit matahari) - jam 9.00 (pagi) - jam 12.00 (siang) - jam 15.00 (sore) - jam 18.00 (terbenam matahari). Hanya saja dalam tradisi Islam, terdapat pelaksanaan waktu shalat malam yang dilakukan beberapa jam setelah matahari tenggelam (dimulai sekitar jam 7 atau jam 8 malam) yang hukumnya wajib, yakni waktu Isya. Bisa dikatakan ini sama dengan waktu ibadah Compline (9 PM) dalam tradisi kristiani.
Interval waktu 3 jam ini, dalam pembagian garis bujur bernilai 45 derajat. Jadi nilai masing-masing waktu tersebut adalah: jam 6.00 = 0 derajat; jam 9.00 = 45 derajat; jam 12.00 = 90 derajat; jam 15.00 = 135 derajat; jam 18.00 = 180 derajat.
Dapat diduga bahwa nilai sudut dari jam-jam tersebut adalah nilai sudut posisi Matahari di langit dilihat dari bumi. Inilah jam astronomi yang digunakan orang-orang di masa lalu. Jam merupakan satuan ukuran sudut yang bernilai 1/24 lingkaran atau 15 derajat.
Berdasarkan pembagian waktu menurut posisi matahari di langit inilah, sehingga Nusantara pada masa lalu disebut sebagai "negeri pagi," karena letak wilayahnya berada sekitar garis bujur 45 derajat (dengan titik nol derajat berada disekitar Tuvalu di pasifik). Sayangnya, saya melihat banyak pembaca tidak mampu mencermati tulisan saya sebelumnya dengan baik ("Negeri Pagi" sebagai Identitas Nusantara pada Masa Kuno).
Terkait perihal hubungan antara jam sebagai satuan ukuran sudut, adalah yang menarik untuk mencari tahu asal usul istilah “jam” yang kita gunakan di Indonesia. Berdasar pemahaman bahwa “jam” sebagai satuan unit ukuran sudut – saya menduga, bisa jadi kata “jam” berasal dari kata “jangka” (dalam hal ini, terjadi perubahan morfologi ng menjadi m).
Beberapa orang-orang di Sulawesi selatan ada yang menyebut jam dengan jang ataupun jang-a. Kata “jangka” pada kenyataannya, dalam beberapa hal, memang akrab sebagai kosakata yang terkait dengan waktu, Misalnya pada frase “jangka waktu” – yang sepertinya, seiring berjalannya waktu mengalami perubahan makna, menjadi lebih kepada makna “durasi” atau “tempo”.
Membayangkan kehidupan orang-orang di masa lalu dan kebutuhannya terhadap informasi waktu, akan mengarahkan imajinasi kita kepada pemahaman betapa dalam keseharian mereka sangat akrab dalam hal pencarian "sudut" - baik pada siang hari maupun pada malam hari. dengan kata lain, mereka akrab dengan ilmu yang pada hari ini kita kenal dengan nama trigonometri dan astronomi.
Demikianlah, sebagian dari pada hikmah dari perintah Sang Penguasa Alam Semesta bagi orang-orang di masa lalu untuk melakukan ibadah pada waktu-waktu tertentu (pada siang maupun malam hari) adalah agar mereka akrab dengan ilmu-ilmu penentuan waktu tersebut, dan terus mengembangkan dan menyempurnakannya untuk generasi-generasi selanjutnya. Ini setidaknya tersirat dengan jelas dalam Al-Quran, Surat Yasin, pada ayat ke 5: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat... salam.
Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H