Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Matematika Surgawi dan Budaya Astronomi

27 Februari 2019   13:02 Diperbarui: 4 Maret 2019   13:19 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Astronom Ottoman bekerja di sekitar Taqi al-Din di Istanbul Observatory (sumber ilustrasi: humboldt.edu)

Dapat diduga bahwa nilai sudut dari jam-jam tersebut adalah nilai sudut posisi Matahari di langit dilihat dari bumi. Inilah jam astronomi yang digunakan orang-orang di masa lalu. Jam merupakan satuan ukuran sudut yang bernilai 1/24 lingkaran atau 15 derajat.

Berdasarkan pembagian waktu menurut posisi matahari di langit inilah, sehingga Nusantara pada masa lalu disebut sebagai "negeri pagi," karena letak wilayahnya berada sekitar garis bujur 45 derajat (dengan titik nol derajat berada disekitar Tuvalu di pasifik). Sayangnya, saya melihat banyak pembaca tidak mampu mencermati tulisan saya sebelumnya dengan baik ("Negeri Pagi" sebagai Identitas Nusantara pada Masa Kuno).

Terkait perihal hubungan antara jam sebagai satuan ukuran sudut, adalah yang menarik untuk mencari tahu asal usul istilah “jam” yang kita gunakan di Indonesia. Berdasar pemahaman bahwa “jam” sebagai satuan unit ukuran sudut – saya menduga, bisa jadi kata “jam” berasal dari kata “jangka” (dalam hal ini, terjadi perubahan morfologi ng menjadi m). 

Beberapa orang-orang di Sulawesi selatan ada yang menyebut jam dengan jang ataupun  jang-a. Kata “jangka” pada kenyataannya, dalam beberapa hal, memang akrab sebagai kosakata yang terkait dengan waktu, Misalnya pada frase “jangka waktu” – yang sepertinya, seiring berjalannya waktu mengalami perubahan makna, menjadi lebih kepada makna “durasi” atau “tempo”.

Membayangkan kehidupan orang-orang di masa lalu dan kebutuhannya terhadap informasi waktu, akan mengarahkan imajinasi kita kepada pemahaman betapa dalam keseharian mereka sangat akrab dalam hal pencarian "sudut" - baik pada siang hari maupun pada malam hari. dengan kata lain, mereka akrab dengan ilmu yang pada hari ini kita kenal dengan nama trigonometri dan astronomi.

Demikianlah, sebagian dari pada hikmah dari perintah Sang Penguasa Alam Semesta bagi orang-orang di masa lalu untuk melakukan ibadah pada waktu-waktu tertentu (pada siang maupun malam hari) adalah agar mereka akrab dengan ilmu-ilmu penentuan waktu tersebut, dan terus mengembangkan dan menyempurnakannya untuk generasi-generasi selanjutnya. Ini setidaknya tersirat dengan jelas dalam Al-Quran, Surat Yasin, pada ayat ke 5: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat... salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun