Semua bermula dari kehadiran sosok seorang guru yang mengajari sekelompok manusia primitif di sebuah pulau, di ujung timur bumi, kemampuan bahasa dan berbicara, tatanan pranata, bercocok tanam hingga berbagai keahlian lainnya.
Demikian berjasanya sosok tersebut, sehingga setelah kepergiannya, ia dikenang dan dianalogikan sebagai "Matahari terbit di pagi hari yang menghilangkan gelap malam", untuk melukiskan betapa ilmu yang telah ia ajarkan bagaikan cahaya matahari pagi yang hadir menghilangkan gelap malam (kebodohan).
Berabad-abad kemudian, manusia di pulau itu telah tumbuh berkembang menjadi bangsa yang berbudi pekerti luhur, menguasai ilmu pengetahuan tinggi, dan hidup dalam kemakmuran dan kedamaian.Â
Mereka menamakan dirinya "Bangsa Matahari" karena segala hal dalam kehidupan mereka mengacu pada filosofi Matahari.
Sebagaimana Matahari yang bergerak ke arah barat membawa cahayanya, maka mereka pun melakukan hal yang sama, dengan bergerak ke barat menyebarkan peradabannya.
Untuk mewujudkan misi kampanye penyebaran peradaban ke barat, mereka mengembangkan kemampuan navigasi pelayaran untuk mengarungi lautan, dan mengembangkan teknologi kereta kuda sebagai alat transportasi darat.
Begitu bermakna dan dianggap sakralnya kegiatan pelayaran dalam misi penyebaran peradaban tersebut, sehingga kemudian, hal itu terekam dalam mitologi Mesir dengan ilustrasi Dewa Ra (Dewa Matahari Mesir) setiap hari berlayar dengan "perahu siang" melintasi perairan langit, dan pada malam hari berpindah ke "perahu malam" untuk berlayar melewati Duat (wilayah misterius yang terkait dengan kematian dan kelahiran kembali).
Helios dianggap setara dengan Sol dalam mitologi Romawi, yang dalam bahasa Proto Indo-Eropa disebut "Sehuel". Dari nama "Sol" atau "Sehuel" inilah sebutan paparan sahul di wilayah Papua dan Australia berasal. Sementara itu, nama samudera Pasifik berasal dari nama putri Helios, yakni "Pasiphae".
Untuk mengorganisir sekaligus menjaga keberlangsungan misi penyebaran peradaban, Bangsa Matahari mendirikan koloni-koloni di titik-titik yang dianggap strategis dari wilayah timur hingga ke wilayah barat.
Pelayanan kebutuhan daerah-daerah koloni yang dilakukan melalui pelayaran laut maupun kereta kuda, seiring berjalannya waktu melahirkan kegiatan transaksi pertukaran barang di antara koloni-koloni tersebut.
Sementara itu, untuk menjaga ketentraman hidup komunitas masyarakat yang semakin kompleks, diterapkanlah pranata sosial di  masing-masing koloni, dan untuk itu ditunjuk seseorang berdarah biru yang dianggap mampu mengontrol dan menjalankan aturan-aturan tersebut. Jadi, selain penyebaran peradaban, mereka juga melakukan penyebaran keturunan darah biru mereka ke berbagai wilayah.
Demikianlah bagaimana Bangsa Matahari ini menyebar dan merintis peradaban di muka bumi - menjalani takdirnya sebagai yang terawal mendapatkan "cahaya".
Hari ini, bangsa Matahari telah terlupakan. Tapi jejaknya masih tetap ada bagi yang ingin mencari.
Dalam buku Atlantis, the Antediluvian World, Ignatius Donnelly (1882) mengindikasikan bahwa sebagian besar bangsa di dunia kuno memuja Matahari. Dan ungkapan  Ignatius Donnelly ada benarnya.
Kita dapat melihat lewat mitologinya, jika Yunani kuno memuja Matahari. Peninggalan Bangsa Maya pun menunjukkan bahwa mereka memuja Matahari.
Mesir terkenal dengan Ra sang dewa Matahari, sementara orang-orang Polinesia pun juga mengenal Ra. India dengan dewa Surya. Trinitas Babylonia terdiri dari Idea, Anu, dan Bel. Bel mewakili matahari, dan merupakan dewa favorit. Lalu, Bangsa Phoenicians pun tak diragukan juga berjiwa matahari.
Dapat dikatakan, bahwa jika ingin menelusuri sejarah dari dunia kuno maka menelusuri jejak bangsa Matahari adalah jalur pencarian yang benar.
Demikian ulasan ini, semoga bermanfaat... salam.
Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H