Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Swastika: Dari sebagai Metode Penentu Waktu, Menjadi Simbol Keagamaan, dan Akhirnya sebagai Ragam Hias

6 Februari 2019   06:32 Diperbarui: 6 Februari 2019   09:27 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief roda matahari yang berada pada kuil Matahari konark di India, yang menggambarkan pembagian waktu

Swastika. Kata kuno ini, berasal dari tiga akar bahasa Sansekerta "su" (baik), "asti" (ada, menjadi) dan "ka" (dibuat), yang kemudian diasumsikan berarti "membuat kebaikan" atau, "penanda kebaikan (Bruce M. Sullivan. The A to Z of Hinduism: 2001, Hlm. 216).

Pemaknaan ini sudah cukup baik untuk diterima, dan sepertinya ini pula yang dipercayai berbagai budaya di dunia, namun begitu, kami melihat ada bentuk pemaknaan lain yang sekiranya dapat dipertimbangkan, yaitu: "dibuat menjadi ada dengan baik". 

Pemaknaan ini bukan saja kami ambil dari tiga akar kata Sanskerta diatas, tetapi secara intuitif mengingatkan kami pada Ucapan Allah dalam Al-Quran : "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya" QS. At-Tin [95] : 4

Empat lengan pada swastika merepresentasi masing-masing empat unsur (angin, air, tanah dan api) yang menjadi unsur utama mikro kosmos manusia - yang di dalam tradisi Bugis, filosofi empat unsur ini dikenal dengan term  Sulapa Appa'. 

Yang menarik, adalah karena konsep 4 unsur mikro kosmos manusia ini, secara tersirat diungkap dalam ayat ke 4 surat At-Tin. Tentu ini bukanlah suatu kebetulan!

Pengembangan Swastika ke bentuk ragam hias yang tetap mengusung filosofi spiritualistik

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Pada gambar di atas kita dapat melihat bahwa dari swastika dilahirkan pula simbol "Endless Knot" (simpul tak berujung) atau "The eternal knot" (simpul keabadian), yang dalam tradisi Bugis kuno dikenal dengan istilah "Singkerru simulajaji".

Dalam perjalanannya kemudian, simpul tak berujung (endless knot) terus dikembangkan dan menghasilkan motif yang lebih rumit. Seperti yang terlihat dalam ragam hias bangsa Viking.

dokpri
dokpri
The Eternal Knot, atau simpul tak berujung, atau simpul keabadian; dalam Sanskrit dikenal dengan sebutan  rvatsa; dalam tradisi Tibet dikenal dengan sebutan dpal be'u; di Mongol dikenal dengan sebutan Ulzii, sementara dalam tradisi Luwu/Bugis dikenal dengan sebutan Singkerru Simulajaji yang dalam bahasa Indonesia dapat dipahami dengan sebutan "sengkarut mula jadi". 

Kata "sengkarut" dapat kita temukan Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dengan definisi: 1. berjalin-jalin, lilit-melilit (tentang akar, tali, dan sebagainya); 2. banyak seluk-beluknya; kait-berkait.

Dalam banyak tradisi, simbol keabadian dianggap sakral dan kadang terlihat digunakan sebagai jimat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun